Sangat kontradiktif jika dibandingkan dengan metode yang diusung oleh Wali Songo yang sangat menjunjung tinggi akhlak mulia Nabi dengan mengusung semangat dakwah yang damai, lemah lembut dan toleran.
Selain itu juga akomodatif melalui asimilasi budaya yang diwarnai dengan ajaran tauhid. Sehingga Islam secara perlahan bisa membumi dan diterima oleh semua lapisan masyarakat tanpa kekerasan, sumpah serapah, apalagi pertumpahan darah.
Bukankah Islam mengajarkan umatnya untuk menebarkan keselamatan dan kedamaian?
Mereka memaksakan pemikiran eksklusifnya yang hanya mewakili sebatas kelompoknya saja, namun kerap dinarasikan seolah-olah menyuarakan mayoritas umat Islam seluruhnya. Sebagaimana aksi bela Islam, seakan menjadi upaya jihad seluruh muslim Indonesia sebagai perang suci, meskipun faktanya adalah gerakan politik dalam kemasan agama.
Sikap reaksioner dan militan mereka mafhum dijadikan tunggangan oleh elit politik yang haus kekuasaan, tentunya ada simbiosis mutualisme disana.
Sebagai minoritas mereka termasuk yang paling berisik, meskipun dari segi jumlah tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan jamaah NU dan Muhammadiyah yang sejak dari kandungan sudah menjunjung nilai-nilai kebhinekaan.
Jika mereka mengaku Habib namun sama sekali tidak mencerminkan akhlak mulia Rasullullah, maka gelar itu tak ubahnya sebuah label keangkuhan belaka dan kemuliaan yang melekat akan gugur dengan sendirinya.
Memang benar, mencintai Ahli Bait atau Dzuriyah (keturunan) Nabi itu bagian dari ajaran Islam. Sehingga menjadi penting, dalam menentukan apakah seorang Habib layak dijadikan panutan atau tidak.
Berpedomanlah pada habaib yang dicintai dan mencintai, sekaligus menebarkan cinta dalam setiap dakwah dan perilakunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H