Ramadan yang paling kami tunggu-tunggu selain datangnya kumandang azan magrib sembari menunggu takjil di pelataran masjid kampung kami.
Sebagai anak manusia yang terlahir di akhir 80-an, pada masa internet of things masih berwujud angan-angan. Patrol adalah momenTidak hanya sholat, patrol juga dilakukan secara berjamaah. Karena hal yang baik memang idealnya dilakukan secara berjamaah. Dalam membangunkan orang sahur terdapat pahala dan keutamaan, serta sebagai wujud semangat gotong royong.
Dalam menggelar patrol, tidak diperlukan alat musik dan skill khusus, apapun yang bisa kami pegang adalah alat musik, asal mampu menimbulkan keributan suara. Dan setiap peserta patrol adalah seniman orkestra yang handal, tidak ada sedikit pun keraguan!
Setiap peserta patrol adalah Johann Sebastian Bach atas alat musik yang dikuasainya, meskipun Johann nggak pernah ikut patrol.
Namun ada satu pengecualian, absennya Kentongan adalah suatu hal yang mendekati haram, harus ada! Tidak boleh tidak! Kehadiran Kentongan merupakan esensi dari semua alat musik patrol. Tidak ada subtitusi untuk absennya alat musik dari bambu tersebut.
Kentongan adalah sebuah karya masterpiece yang menjadi simbol kecerdasan dan teknologi komunikasi yang paling mutakhir pada masanya. Ketukan-ketukan Kentongan layaknya kode morse yang memiliki makna tertentu dan hanya dipahami oleh masyarakat Indonesia. Pun sudah ada sejak berabad-abad silam.
Selain sabagai alat berkomunikasi untuk mengajak warga berkumpul dan sebagai tanda jika ada maling, Kentongan juga memainkan peranan vital sebagai early warning system dengan kearifan lokal tentu saja.
Mempertimbangkan faktor historis dan peranannya di tengah masyarakat (jaman dahulu), sudah selayaknya Kentongan disandingkan dengan Wayang, Keris, Batik, dan Angklung sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh UNESCO.
Dua sejoli dandang dan panci pun kerap tak mampu lolos dari jangkauan pasukan patrol. Karena pada dasarnya-ya-itu-tadi-setiap benda yang bisa dilihat dan dijangkau tangan adalah alat musik dengan kearifan lokal. Karena alat musik patrol lebih bersifat ritmis, tanpa peralatan diatonik.
Tak heran, karena budaya Jawa adalah budaya yang sangat menjunjung tinggi kreatifitas dan fleksibilitas. Tak sebatas dari segi alat musik yang dipakai, fleksibilitas itu juga berlaku untuk sarung. Bahkan bagi kami, sarung merupakan piranti yang hukumnya sanna-yasunnu-sunnatan, harus ada. Karena kalau nggak ada, susah.
Kami biasa memulai patrol pada jam 1-2 dini hari dan terlebih dahulu berkumpul serta menginap di salah satu rumah teman kami. Sarung-lah yang menjadi selimut penghangat kami.