Mohon tunggu...
Kiswah Fadhilah
Kiswah Fadhilah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Tidak ada lift untuk mencapai kesuksesan. Kamu harus menaiki tangga.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Pelakor" Mengapa Bias terhadap Perempuan?

9 April 2021   21:29 Diperbarui: 10 April 2021   09:20 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Kiswah Fadhilah

Kehadiran media sosial saat ini yang disebut sebagai media alternatif untuk membangun hubungan dan penyebaran informasi, tidak sedikit orang yang merespons secara cepat terhadap informasi yang sedang beredar saat itu. 

Apalagi jika orang tersebut adalah pengguna aktif dari media sosial. Dalam beberapa penelitian sebelumya disebutkan bahwa media sosial telah berhasil membentuk persepsi penggunanya terhadap sebuah informasi yang diterimanya. 

Penggunaan media sosial yang begitu aktif, dapat membentuk persepsi penggunanya dalam memandang sebuah fenomena tertentu, salah satunya fenomena “Pelakor”, istilah tersebut saat ini menjadi semakin akrab dikenal oleh warganet. 

Kata “Pelakor” yang merupakan akronim dari perebut laki orang, menjadi salah satu fenomena yang menarik akhir – akhir ini di media sosial khususnya dalam kasus perselingkuhan. 

Kalau dilihat dari faktor budaya massa, seseorang cenderung akan cepat memberi komentar atau menyebarkan informasi dan juga mudah meniru tindakan yang ramai dilakukan oleh orang lain . 

Saat istilah pelakor banyak digunakan dan dipopulerkan, orang lain pun ikut menyebarkan, berkomentar bahkan menggunakannya di kehidupan nyata.

Dalam kasus perselingkuhan, rupanya masyarakat Indonesia masih menerapkan perlakuan bias gender. Saat perselingkuhan terjadi, media dan masyarakat cenderung melihat perselingkuhan sebagai persoalan pihak dua perempuan yang melakukan kesalahan, baik itu perempuan yang berperan sebagai korban atau bisa dibilang istri yang dikhianati dan seringkali dianggap "gagal" dalam mengurus suami atau kepada perempuan lain, yang sering dianggap merebut suami dari istri tersebut. 

Penggunaan istilah “pelakor” mengasumsikan si perempuan sebagai pihak yang paling bersalah dan membuang peran si pria. Istilah ini digunakan untuk menyalahkan dan menyudutkan perempuan dan sama sekali tidak menyalahkan pria yang melakukan perselingkuhan tersebut. 

Beberapa kasus perselingkuhan yang sering kita temui di media sosial, cenderung menyalahkan pihak perempuan yang menjadi orang ketiga itu. Mereka dihujat habis - habisan oleh netizen. Sementara si pria relatif sepi dari hujatan. 

Seakan - akan tindakan tersebut menjadi hukuman yang pantas bagi perempuan yang menjadi orang ketiga dalam hubungan itu, padahal seharusnya hukuman tersebut tidak perlu terlalu diekspos dan dipopulerkan di media sosial. Padahal, bukankah hubungan perselingkuhan dilakukan oleh komitmen kedua belah pihak?

Seperti beberapa bulan kebelakang tengah ramai diperbincangkan kasus - kasus perselingkuhan di media sosial. Salah satunya perselingkuhan yang dilakukan oleh Nissa Sabyan dengan Keyboardisnya Ahmad Fairus atau Ayus. 

Seorang perempuan yang dengan sadar menjalin hubungan romantis dengan laki-laki yang sudah memiliki istri tentu saja tidak perlu kita bela atas alasan apa pun. 

Tetapi, mari kita sepakati kecenderungan melabeli Nissa Sabyan dan perempuan lainnya sebagai “Pelakor” juga tak perlu di populerkan. Penggunaan kata tersebut juga dapat dianggap sebagai salah satu bentuk kekerasan verbal terhadap perempuan di media sosial. 

Dengan kata lain, saat kita mengekspresikan kebencian dengan berteriak pelakor tanpa menyebut - nyebut sang lelaki, hal itu menggambarkan kekerasan terhadap perempuan dan membentuk persepsi yang buruk terhadap perempuan. Mirisnya lagi, perundungan tersebut kerap dilakukan oleh sesama perempuan juga.

Menurut Peneliti linguistik Nelly Martin-Anatias, dalam artikel yang dirilis di situs The Conversation.com, menurutnya penggunaan istilah “Pelakor” tanpa istilah yang sepadan untuk laki - laki adalah Seksis.

“Secara kebahasaan istilah ini meminggirkan perempuan. Lebih dari itu istilah ini menunjukkan fenomena sosial-budaya yang lebih besar. Kerapnya istilah ini digunakan dalam cerita di media sosial dan dalam pemberitaan tanpa didampingi istilah yang sepadan untuk pelaku laki-laki, menunjukkan bahwa istilah ini seksis.”

Seksisme adalah prasangka yang didasarkan pada gender. Seksisme seringkali ditujukan pada wanita, sehingga yang dimaksud disini adalah adanya penilaian negatif terhadap seseorang karena seseorang tersebut adalah wanita. 

Seksisme dalam bentuk kata bisa dihindari dengan menggeser makna menjadi lebih positif dan netral. Seperti merubah penggunaan kata “Pelakor” yang terkesan merendahkan wanita sekali dengan “Letise” (Lelaki Tidak Setia). 

Selain itu zaman dulu, perempuan pihak ketiga dalam sebuah hubungan disebut sebagai WIL (Wanita Idaman Lain). Penggunaan istilah WIL terasa lebih netral karena laki - laki dan perempuan dianggap setara dalam perselingkuhan bukannya berat sebelah karena keduanya juga sama-sama salah.

 Istilah WIL juga tidak terkesan menggambarkan perempuan lain dalam hubungan sebagai pihak yang agresif. Kalau masih perlu melabeli seorang wanita sebagai orang ketiga maka menggunakan istilah WIL adalah pilihan yang lebih baik.

Fenomena pelakor sudah sangat populer saat ini, saking terkenalnya sampai-sampai hal ini sudah bukan fenomena, tapi yang patut diubah persepsinya adalah soal pandangan bahwa wanita selalu salah, padahal pihak laki - laki memiliki perilaku yang membuka kesempatan untuk selingkuh. Kesadaran semacam ini patut diterapkan, agar kedepannya tidak ada perempuan yang di cap sebagai Pelakor.

Sesama wanita mari sebaiknya kita untuk saling menjaga perasaan satu sama lain, walaupun wanita itu telah melakukan kesalahan seperti perselingkuhan, hukuman yang pantas baginya bukanlah sebuah cacian atau hujatan ataupun melabeli perempuan dengan istilah “Pelakor”, karena itu akan menimbulkan trauma yang sangat mendalam bagi wanita tersebut. 

Bicarakanlah baik – baik dengan wanita selingkuhan tersebut dan apabila sang istri ingin menghukum wanita itu maka suami juga harus dihukum juga. Karena perselingkuhan dilakukan oleh dua pihak, bukan hanya pihak perempuan saja.

DAFTAR PUSTAKA

Panuju., R. (2018). Pengantar Studi (Ilmu) Komunikasi: Komunikasi sebagai Kegiatan Komunikasi sebagai Ilmu . Kencana.

Janitra, P. A., & Dewi, R. (2018). JURNAL HUMANISMA : Journal of Gender Studies. Persepsi Perempuan Terhadap Konsep "Pelakor" di Media Sosial, 2. https://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/psga/article/download/816/pdf

Martin-Anatias, N. (2018, 23 Februari). Apa kata ahli linguistik soal 'pelakor'.The Conversation. https://theconversation.com/apa-kata-ahli-linguistik-soal-pelakor-92288

Rakhmawati, E. N. (2018). PEREBUT LAKI ORANG (PELAKOR) DALAM PERNIKAHAN PRESPEKTIF MAQASID AL-SHARI‘AH DI SURABAYA (Master's thesis, UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL, Surabaya, Indonesia). Retrieved from http://digilib.uinsby.ac.id/31468/3/Elok%20Ningtiyas%20Rakhmawati_F12916328.pdf 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun