Mohon tunggu...
kisno umbar
kisno umbar Mohon Tunggu... -

saya adalah pemuda kelahiran tanah melayu. tapi sebagian hidup saya di tawah jawa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pergeseran Pemahaman “Hari Ibu”

22 Desember 2015   05:06 Diperbarui: 22 Desember 2015   07:20 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menilik sejarah, Hari Ibu itu diresmikan oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden nomer 316 tahun 1959, bertepatan pada tanggal 22 Desember 1928. Tanggal tersebut bersamaan dengan kongres Perempuan Pertama kali di Indonesia yang digelar di Yogyakarta dan dihadiri 30 organisasi wanita dari 12 kota di Jawa dan Sumatra. Hakikat Hari Ibu ini lahir atas inspirasi jasa perjuangan para perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan, seperti Kartini, Martha Cristina Tiahahu, Cut Nyak Meutia, Maria Walanda Maramis, Dewi Sasrtika, Resuna Said, Nyai Ahmad Dahlan dan sebagainya.

Sejarah mengatakan untuk menghargai jasa para perempuan yang telah berjuang dalam memperjuangkan kemerdekaan, namun istilah penghargaan yang diberikan adalah “Hari Ibu” bukan “Hari Perempuan”. Di sini terdapat kejanggalan sekilas. Istilah perempuan berlaku bagi mereka yang mempunyai alat reproduksi berupa rahim dan payudara, berbeda dengan ibu yang dibatasi pada seseorang yang sudah melahirkan anak, atau mengadopsi anak.

Apakah penyematan istilah tersebut salah? Penyematan tersebut adalah bentuk penghargaan yang luar biasa kepada para perempuan yang telah mengabdikan dirinya untuk negeri ini. Informasi tersebut diperoleh dari beberapa definisi yang terdapat dalam KBBI. Lihat saja, sebutan-sebutan untuk wilayah yang luas, bahkan sebutan Ibu Pertiwi untuk tanah air kita.

Dengan demikian, seharusnya Hari Ibu adalah sebuah refleksi kita untuk mengenang kembali perjuangan perempuan masa lalu. Bagaimana kita dapat menauladani mereka dengan semangat kemerdekaan yang mereka kobarkan di masa lalu. Dan hal tersebut tidak harus direfleksikan oleh perempuan saja, bahkan laki-laki. Karena dua-duanya memiliki peran andil yang sangat besar dalam mengantarkan Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan.

Dewasa ini, peringatan hari Ibu sudah mulai beralih pemahaman. Ibu sebagai penghargaan terhadap pahlawan perempuan di masa lalu, telah disematkan kepada semua ibu yang sudah melahirkan anak atau mengadopsi anak. Hal tersebut, tidak salah karen definisi dalam KBBI juga mengatakan demikian. Namun landasan ontologis yang telah ditetapkan sudah mulai bergesar, atau bahkan definisi tersbut sudah masuk pada gejala perluasan bahasa.

Dampaknya, hari ibu hanya dipahami sekilas sebagai hari kasih sayang terhadap ibu oleh sebagian besar penduduk indonesia sekarang ini. Dan nilai-nilai sejarah serta refleksi perjuangan perempuan perlahan menghilang.

Hari ibu sudah menjadi euforia berskala internasional, walaupun landasan ontologisnya mungkin berbeda-beda dan penetapan tanggalnya tidak sama. Namun hampir semua mengungkapkan kasih sayang terhadap ibu mereka. Hal tersebut menimbulkan dampak negatif, karena kepahaman yang tidak utuh dan menjadikan kesenjangan antara Ibu dan Ayah. Dampaknya di Indonesia kemudian dimunculkan hari ayah 12 November tanpa landasan ontologis dan epistimologis yang jelas menurut saya.

Dari sini dapat diambil kesimpulan sementara, bahwasanya kesalahan pemahaman terhadap peringatan hari Ibu, telah menimbulkan hari ayah.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun