Mohon tunggu...
Ki Setyo Handono
Ki Setyo Handono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Musuh satu kebanyakan, kawan seribu kurang. Untuk apa saling membenci, damai lebih banyak manfaatnya. Untuk apa berceraiberai, bersatu lebih banyak manfaatnya. Untuk apa bertengkar, hidup guyub rukun lebih banyak manfaatnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Nikah Demi Orangtuaku

23 April 2014   23:23 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:17 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

INSPIRASI DARI KISAH NYATA

Hujan baru saja reda. Baju seragam sekolahku masih teronggok di sudut ranjang kamarku. Sore ini baru saja aku menghadiri perpisahan kelas tiga SMA di Ponorogo tempatku mencari ilmu. Aku baringkan tubuhku, aku buka camera hp ku. Aku ingin lihat foto-foto perpisahan dengan bapak ibu guru, dan adik-adik kelas tadi. Senang bercampur haru. Senang karena saya sudah lulus dan sebentar lagi aku kuliah di keperawatan . Haru karena aku bakal meninggalkan sekolah SMA tercinta, dan sejuta kenangan indah.

“Nduk! Sudah makan siang ta? Makan dulu ta?, nanti perutmu sakit lagi lho?” kata ibuku mengagetkan keasyikanku melihat foto-foto perpisahan tadi

“Injih Bu, tadi Reni dapat makan di acara perpisahan tadi kok…”

“oo begitu ta. Kamudi dalam ngapain? Kok aku denger kamu tertawa sendirian?”

“Iya, ini lho Bu, foto perpisahan tadi lucu-lucu. Ibu pingin melihat?” tanyaku sambil membuka kamar dan menemui ibuku yang lagi menyiapkan makanan untukku

“Mana ta? Ibu kok penasaran…”

Aku mendekat sambil tunjukkan foto-foto. Ibu tersenyum dingin saja dengan foto yang aku perlihatkan

“Ibu kok nggak semangat sih?”

“Iya. Habis ibu tadi ada tamu yang datang ke rumah. Mereka tetangga jauh yang punya niat baik kepada kita?”

“Siapa mereka?”

“Pak Danu yang punya anak jejaka yang kerja di pemda itu lho. Tapi anaknya itu masih sukwan. Tenaga honorer. Anaknya cakep kok…”

“Maksud Ibu??”

“Mereka ingin melamar kamu”

“Ha..ha…ha… kok lucu ta. Aku ini kan masih kecil ta ibu? Aku belum ingin menikah. Aku ingin kuliah dulu…”

“Tapi dia ingin menikahimu, dan membiayai kuliahmu di Akper nanti. Ayolah terima lamarannya. Nduk, ini kesempatan yang berharga. Rezqi yang bagus buat kita semua. Kebetulan bapak dan ibu kan lagi kesulitan ekonomi ta sekarang. Terima saja ya nduk, lamarannya…” pinta Ibuku iba. Ibu mendekat ingin memeluk tubuhku. Air matanya tampak meleleh di pipinya yang kelihat berkerut. Wajahnya kelihatan menghitam terkena cuaca panas ketika Ibu mengurus tanaman di sawahnya.

“Ibu… sudahlah kita tenang saja menghadapi semuanya. Aku sebagai anakmu selalu tegar. Saya nurut saja dengan permintaan orangtua. Kalau Ibu menginginkan saya segera menikah, maka bolehlah saya menikah. Aku ingin Bapak dan ibu serlalu bahagia karenaku…”

“Betul anakku… ibu terharu Nduk….” Ibu memelukku penuh dengan perasaan haru dancinta yang dalam

“Kalau begitu, nanti akan Ibu sampaikan kepada ayahmu. Biar ayah menghubungi Pak Danu. Oh iya ini lho foto anaknya”

“Ya bu. Aku sudah kenal dengan anaknya. Cakep pacarnya berganti-ganti..” jawabku ketus

“Ya mudah-mudahan setelah jadi suamimu, dia berubah. Sayang sama kamu. Bertanggungjawab berikan nafkah lahar batin kepadamu…”

***

Akhirnya aku menikah dengan Ferry. Awalnya rumah tanggaku tenang-tenang saja. Memasuki minggu kedua aku menagih janji tentang biaya pendaftaran kuliah di perguruan tinggi swasta di tempatku.

“Ah, kamu kan tahu bahwa gajiku itu hanya 300.000; saja ta? Jadi, mana mungkin bisa untuk membiayai kamu kuliah. Wong kita makan saj masih ikut ayah ibu kok?” jawab Ferry ketus.

“Janjimu dulu kalau aku mau nikah dengan kamu, aku kamu biyai kuliah? Sekarang mana janjimu?”

“Itu kan hanya janji. Tapi kan kenyataanya, gajiku kan nggak cukup!!”

“Ternyata sampeyan hanya memepermaikan saya!. Nggak konsekuen dengan janji-janji manis sampeyan. Bagus sih bagus tampang sampeyan. Makanya aku tertarik dengan sampeyan. Tapi sayang, perkawinan tidak cukup dengan tampang ganteng saja. Seorang suami harus mampu berikan perlindungan, bertanggungjawab, berikan nafkah lahir dan batin kepada istrinya. Sampeyan hanya berikan kepuasan biologis saja. Sampeyan telah gagal menjadi suami yang bertanggunjawab!!!” nadaku meninggi, jengkel, dan kecewa berat

“Pelan-pelan ta kalau bicara. Nanti bapak dan ibuku dengar?” sahut Ferry memberikan kode perlahan

“Haaaalllaaah, aku gak peduli dengan bapak dan ibumu. Semuanya telah menjebak saya dengan janji manismu!”

“Ya jangan begitu ta…”

“Kamu itu sepertinya anak kecil yang nggak bisa berargumentasi. Masak didakwa begitu tadi hanya linglung dengan jawaban sekenanya. Mbok jawabanmu dewasa, bisa berargumen yang ilmiyah, masuk akal, sehingga jawabanmu itu bisa aku maklumi. Saya jadi percaya diri bahwa kamu itu layak jadi suamiku yang pantas lahir dan batin. Suami yang dewasa, cekatan, pinter, terampil, bertanggunjawab kepada istri dan keluarganya kelak. Tapi nyatanya? Preet!!” aku pancing agar dia emosi

“Sudah begini saja!!” , Ferry sepertinya kehabisan diplomasi

“Kenapa kok diam?”cecarku lagi

“Aku usul bagaimana kalau kuliahmu masih dibiayai oleh orangtuamu?”

“Inilah buktinya bahwa kamu memang bukan suami yang bertanggungjawab. Bukan type suami ideal. Lari dari tanggungjawab. Kamu bersam orangtuamu telah melakukan kebohongan public. Kamu dan orangtuamu telah bercerita di depan keluargaku kalau kuliahku nanti akan kamu biyai semuanya… mana buktinya sekarang? Kau pembohong… penipu… berlagak kaya, tapi nyatanya miskin gak punya apa-apa. Sudah saya mau pulang saja!!!”

“Ya terserah kalau begitu….” Ferry bingung bagaimana memutuskan masalah rumahtangganya tersebut. Ia bagaikan anak kecil yang nggak punya solusi ketika ada masalah terjadi. Akhirnya Reni ambil koper meninggalkan Ferry di rumah sendirian. Reni pulang ke rumah orang tuanya.

****

Sudah tiga bulan Reni berpisah dengan Ferry. Rumahtangganya sudah tidak bisa dilanjutkan lagi. Akhirnya perceraian tak bisa dihindarkan lagi. Reni sekarang bestatus janda kembang. Ia menempuh kuliah di keperawatan di perguruan tinggi ternama di kota itu. Semua biaya dibiayai orangtuanya yang sekarang usahanya di bidang perkayuan tengah bangkrut Sehingga banyak hutangnya di tempat pengusaha kayu ternama dikecamatan tempat dia tinggal.Pak Hardi pengusaha ternama itu.

“Bapak, bulan depan Reni akan praktek keperawatan di RSU Syaiful Anwar Malang lo. Mahasiswa harus membayar…”

Tiba-tiba bapak terdiam. Ibu segera mendekatiku. Mereka kelihatan panic dan bingung.

“Ren?...”

“Ada apa bapak??”

“Maafkan bapak ya. Akhir-akhir ini bapak nggak bisa makan dan tidur karena harus mengadapi persoalan yang pelik dan berat. Bapak itu punya hutang ke Pak Hardi ratusan juta rupiah. Sedangkan jaminannya adalah tanah dan rumah yang kita tempati ini. Jatuh temponya besok pagi. Pak Hardi akan datang menyita rumah kita…..”

Bapak dan ibu kelihtan panic dan menangis iba. Sementara hati dan jantungku brdegup kencang. Aku hampir jatuh pingsan mendengar cerita yang tragis tersebut.Aku ingin bunuh diri saja sepertinya. Tapi berontaknya hati karena bujukan iblis itu segera aku tepis dengan bacaan istighfar. Aku besarkan hati bapak dan ibu untuk sabar dan tabah. “Kita terima, kita syukuri, dan kita jalani dengan sabar dan ikhlas, insyaallah bakal ada jalan…” pintaku pada mereka yakin

Akhirnya esok paginya Pak Hardi yang sudah punya anak istri itu datang ke rumah. Dia datang sendirian menaiki mobil pick up yang biasa digunakan menghantar kayu ke tempat konsumen. Setelah beliau duduk, bapak menumuinya terlihat panic dan terdengar suaranya terbata-bata seperti ketakutan. Sementara ibu aku temani buatkan minuman sambil membaca doa agar diberi perlindungan dari Allah SWT.

“Ini suguhan dan kopi ini dianter ke depan Nduk!”

“Iya Bu” aku angkat beki dekil itu ke ruang tamu

“Monggo Pak diunjuk!?” kataku sesampai di ruang tamu menyilakan untuk diminum

“Wah kok repot ta Mbak” sapa Pak Hardi basa-basi

“Nggak kok Pak. Adanya Cuma kopi desa.. monggo diunjuk”

“Nggih Pak. Itu tadi putrinya??”

“Betul Pak. Itu anak saya”

“Yang kuliah di keperawatan itu lho Pak”

“Lho, kabarnya sudah dinikahkan? Mana suaminya?”

“Betul pak (bapakku terlihat berkaca-kaca matanya), dia sudah cerai…”

“Wong belum lama menikah kok cerai???”

“Suaminya ternyata hanya pegawai honorer, gajinya tidak cukup untuk makan dan biaya kuliah.Dulu mereka berjanji kalau sudah jadi istrinya bakal dikuliahkan sampai selesai. Tapi nyatanya dia nggak sanggup memenuhi janjinya….”

“Sudah semester berapa Pak”

“Semester tiga. Sebentar lagi akan menempuh ujian praktik. Dan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Kami pusing dan stress Pak. Darimana biaya itu kami dapatkan. Belum lagi rumah dan tanah bakal sampeyan sita…. Aku kasihan anak saya Pak Hardi…”

Pak Hardi bagaikan mimpi di siang bolong. Dalam hati dia jatuh hati begitu melihat kecantikan anak Pak Parman tersebut. “Pasti mereka bakal ngikut saya jika aku ingin menikahi anaknya. Nanti aku tawarkan keputusan yang menggiurkan. Ah soal istriku yang tinggal di Trenggalek bisa aku atur semuanya. Yang penting aku tetap perhatikan mereka. Wong selama ini, rumah, mobil, dan nafkah lahir batin selalu saya berikan kok. Besok akan aku nego agar aku diizinkan menikah lagi dengan anak Pak Parman yang janda kembang tersebut…” renung Pak Hardi

“Kalau begitu begini saja Pak Parman, niat saya untuk menyita rumah dan tanah sampeyan bakal saya batalkan, tapi ada persyaratannya!?”

“Betul Pak???. Kemudian syaratnya apa Pak??”

“Anak Bapak akan saya nikahi. Semua biaya kuliah bakal saya tanggung semuanya. Rumah ini mau saya beli untuk Reni anak sampeyan. Bapak dan Ibu boleh tinggal lagi di sini…”

Wajah Pak Parman beserta istrinya terlihat sedikit ceria. Yang membuat belum seratus persen gembira adalah pesyaratan menikahi anaknya. “Begini Pak, keputusan ini tergantung dengan anak saya. Mau enggak menikah dengan Pak Hardi… coba saya panggilnya” pinta bapak memanggilku

“Bagaimana Nduk? Apakah kamu mau menikah dengan Pak Hardi?”

Bapak bercerita apa adanya tentang keputusan Pak Hardi terhadap keberadaan keluarganya tersebut. Aku sempat merenung dalam-dalam. Dan akhirnya…”Ya Pak, Reni terima lamaran Pak Hardi”

Selang beberapa hari berikutnya akhirnya aku menikah dengan Pak Hardi. Niatku hanya mencari ridho Allah. Semua persyaratan yang aku minta kepada Pak Hardi sudah dipenuhinya. Di hari pernikahanku istrinya juga hadir. Sekarang aku resmi jadi istri kedua Pak Hardi. Aku sekarang resmi jadi Bu Hardi yang kelola usaha kayu di Ponorogo. Sedangkan ekonomiku dan kuliahku tidak ada masalah.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun