Dua tahun sebelum meninggal, Budhe Rangga sempat bercerita kisah hidupnya kepada saya. Mungkin hanya kepada saya kisah ini diungkapkan kepada saya. “Ngger, itulah kisah Budhe, abadikan agar kelak berguna bagi siapa saja, agar kalu jadi seorang istri tetap teguh, mengabdikan diri kepada suami, dan keluarganya” pungkasnya, setelah panjang lebar bercerita kepada saya.
Sepeninggal Mbah Ronggo, budhe terasa terpukul yang sangat beratnya hidupnya. Dua anak yang ditinggalkan Mbah Ronggo, masih kecil-kecil semuanya. Mau diapakan, dan mau dikemanakan. Dulu nikahnya memang masih kecil, masih berumur 8 tahun waktu itu. Bahkan tetangga-tetanggaku menyebutnya lebih pantas, kalau kedua anakku itu adalah ‘adik-adikku’. Sangking umurku masih belia saat itu.
Satu tahun sepeninggal Mbah Ronggo umurku menginjak usia 21 tahun. Ibarat bunga, maka aku adalah sekuntum yang tengah mekar dan semerbak harum mewangi. Banyak kumbang yang menari-nari di sekelilingku. Ada yang biasa-biasa. Ada yang menggebu-gebu, ada yang terus terang. Juga ada yang malu-malu kucing terhadapku. Aku menjadi serba salah menanggapi ulahnya. Aku harus menyambutnya dengan santun, tidak membeda-bedakan, seperti ajaran Mbah Ronggo ketika masih hidup dulu. Dan saya memang tidak ada yang menarik bagiku. Saya tetap dingin-dingin saja. Hingga suatu hari, datanglah Pak Carik Sutris datang menghampiri saya.
“Nyi, kita ngobrol saja di dalam?” pintanya dengan nada yang mencurigakan
“Pangapunten Mas Carik, perempuan yang sudah berkeluarga seperti saya ini, saru, nggak baik kalau menerima tamu laki-laki di dalam rumah? Maaf ya?”
“Ayolah dimas?”
“Apa?, dimas??... saya itu masih istri almarhum Pak Ronggo atasan panjenengan lo, mbok ya kalau panggil ‘Bu’ saja ta? Nuwun sewu lo Pak Carik?... monggo, kita bicara di teras saja… Krak!!!.... Yu Cikrak!!, ini buatkan unjukan Pak Carik, letak di teras sana?”
“Injih Bu…” jawab pembantuku sopan
“Bu Ronggo, aku mau terus terang padamu ya?”
“Monggo Pak Carik, tentang apa ta?”
“Aku itu kasihan lo sama dirimu?”
“Kaisihan bagaimana ta. Wong saya biasa saja kok. Toh Pak Ronggo masih berikan uang pension yang cukup buat anak-anakku. Demikian kakak-kakakku di Gesing juga perhatian kepada saya kok…”
“Tapi sampeyan kan kesepian ta kalau malam?”
“Setiap malam Puruhita, dan Endang anakku, menghiburku kok?”
“Tapi yang lainnya kan gak bisa kamu dapatkan ta?”
“Masud Pak Carik?”
“Ah, awakmu ini kok pura-pura nggak paham ta. Sudah begini saja, … aku ini sudah lama ingin jadikan kamu sebagai istriku lo?!”
Tiba-tiba emosiku menjadi memuncak. Wajahku memerah. Itu hanya beberapa saat. Aku sebagai wanita jawa yang menjunjung tinggi adat ketimuran, mencoba sabar, dan tidak memerlihatkan corak yang tidak baik. Aku harus tetap hormati tamuku. Aku harus bertutur kata yang baik dan lembut.
“Pak Carik, mohon maaf ya, panjenengan kan masih punya istri ta. Anak-anak panjenengan juga masih kecil-kecil, kasihanilah mereka…”
“Alaaah… itu soal yang gampang… wong aku bisa kok ceraikan dia kok. Apalagi dia sekarang dingin kepada saya kok. Nggak pinter ngopeni saya. Boros. Berapapapun hasil yang saya berikan, tiba-tiba ludes!!”
“Nuwun sewu njih Pak Carik, saya itu ternyata lebih boros, dan lebih jelek dari pada istri panjenengan. Lihat Pak Ronggo meninggal itu juga karena sikap saya yang jelek itu…. Untuk itu, mohon maaf ya Pak Carik, nggak baik ini panjenengan utarakan. Ini pembantu-pembantu mendengarkan omongan panjenengan lo?, nanti pasti ada yang lapor kepada istri sampeyan lo?”
Mendengar ucapan seperti itu, wajah Pak Carik merah padam. Dia sepertinya malu. Dia bakalan ketahuan hasrat jeleknya terbongkar istri dan keluarganya “Asem, ternyata pembicaraanku didengar oleh banyak orang banyak di sini” , batin Pak Carik malu dan kuwatir
“Ah, biarkan masyarakat tahu. Pokoknya aku ingin nikah denganmu. Titik!”
“Maaf Pak Carik, ini sudah jadi sumpahku, bahwa saya tidak akan menikah dengan lelaki lain, hingga anak saya nanti besar dan menikah…”
“Baiklah… kamu jangan sebut saya Carik kalau saya tidak bisa buat kamu menyesal!!”
“Ah, nuwun sewu lo, panjenengan jangan mengancam saya?”
“Habis, kamu menolak cinta saya kok??”
“Pak Carik!!” tiba-tiba pembantuku mendekatiku
“Ada apa yu Cikrak?”
“Nuwun sewu Pak Carik, panjenengan pulang sajalah, sebentar lagi penduduk bakal datang ke sini…”
“Iya Bu Rangga, tunggulah… bakal ada apa besuk denganmu??” potong Pak Carik mengancam. BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H