Golongan yang tidak setuju ini pada akhirnya secara terus menerus menentang dan melawan melalui berbagai pemberontakan dan senantiasa membisikkan alternatif pilihan ideologi lain yang dianggapnya tepat.
Pancasila pada fase berikutnya mengalami masa pertumbuhan (growth) yang luar biasa, bak sosok muda yang tampan dan gagah dalam menghadapi segala ujian kehidupan dari ancaman pemberontakan serta berhasil mempersatukan bangsa ini dari Sabang hingga Merauke. Bung Karno sendiri mengatakan bahwa bangsa-bangsa lain kagum terhadap Pancasila.
Ketika memasuki usia dewasa (maturity), Pancasila semakin menghadapi ujian yang sangat berat. Pada fase ini Pancasila dianggap "Sakti", bahkan bidannya sendiri dicampakkan, tidak diakui lagi, bahkan pada akhirnya meninggal dalam kondisi terpenjara. Pada fase ini rupanya perlakuan terhadap Pancasila terlalu diagungkan, terlalu didewa-dewakan, terlalu dikeramatkan.Â
Sehingga jika terjadi perbedaan pendapat dianggap melawan Pancasila, dituduh ekstrim kiri, dituduh ekstrim kanan, bahkan dituduh komunis. Akhirnya penjara menjadi penuh dengan tahanan politik.
 Wajah Pancasila yang dahulu tampan berubah menjadi beringas, sangat ditakuti. Penampilannya berubah-ubah, kadang terlihat bersepatu lars, berbaju loreng, kadang jadi Raja, kadang jadi Dewa, kadang jadi kyai, kadang jadi ulama, bahkan kadang jadi preman jalanan.
Perlakuan terhadap Pancasila yang terlalu berlebihan inilah yang mengakibatkan terjadinya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Sehingga Pancasila tidak mampu menghadapi krisis perekonomian bangsa, maka meletuslah peristiwa Reformasi Mahasiswa tahun 1998.Â
Pada fase ini Pancasila mengalami masa penurunan (decline) dan tua, Pancasila mengalami ketidak-percayaan, Pancasila sudah kehilangan lagi wibawanya, bahkan Pancasila terusir dalam proses awal Reformasi sehingga UUD 45 pun mengalami proses amandemen berkali-kali dan semakin jauh dari Pancasila.
Masa tua Pancasila sungguh sangat memprihatinkan, wajahnya sudah tidak semulus dahulu, terlalu banyak keriput dan tidak menarik lagi, wajahnya berganti-ganti topeng untuk menutupi keriput yang ada, wajahnya berubah-ubah, jalannya tak lagi tegap namun bungkuk, tatapannya tak tajam, rabun dekat dan rabun jauh, tangannya memegang tongkat dan tak tahu lagi kemana harus melangkah, kebingungan, dan kehilangan jati diri. Pada fase ini Pancasila dengan begitu seenaknya mereka mencaci maki, mengacuhkan, menuduhnya sebagai thogut (berhala), dan tuduhan lainnya yang sangat tidak beradab.
Saudara-saudara, sebagai bangsa yang memiliki rasa perikemanusiaan tentu kita prihatin melihat kondisi seperti ini, apalagi kelompok-kelompok yang anti terhadap kelahiran Pancasila dari awal terus-menerus melancarkan perlawanan dan merasuki pikiran negatif terhadap generasi milenial. Mereka ingin mengganti Pancasila dengan Ideologi lainnya dengan memberikan janji-janji dan harapan yang lebih baik.
Berbicara Indonesia adalah berbicara Pancasila, berbicara Pancasila adalah berbicara Indonesia. Keduanya saling berkaitan satu dengan yang lainnya dan tidak dapat dipisahkan.Â
Marilah kita bersama-sama, bergotong-royong untuk Me-muda-kan Pancasila (Rejuvenation Pancasila), Meregenerasikan kembali Pancasila dan Mewariskan kembali Pancasila kepada generasi muda sehingga Pancasila menjadi tumbuh dan tetap muda buat selama-lamanya. Amiiin...