Tidak hanya sebagai tempat untuk berbagi konten serta media interaksi secara daring, media sosial juga telah mengalami peralihan fungsi yang merambah ke dunia politik, terlebih di dalam era digital seperti sekarang ini.Â
Perubahan yang terjadi di era digital adalah mengenai komunikasi politik. Sebagaimana Vowe & Henn (2014) yang menyatakan bahwa era digital membawa perubahan paradigma dalam studi dan praktik komunikasi politik. Era digital telah membawa setidaknya enam perubahan.Â
Pertama, konteks ruang publik. Di masa lalu, ruang publik dalam komunikasi politik secara jelas dibagi menjadi tiga kategori, yaitu komunikasi politik publik, pemerintah, dan privat.Â
Pada era digital, komunikasi politik tidak mengalami batasan pemisahan yang setajam sebelumnya. Komunikasi politik pribadi, semi publik, publik, dan pemerintah saling berbaur, terutama dalam penggunaan media online dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, dimensi sosial. Di era pra-digital, aktor saling berhubungan dalam hubungan komunikasi politik dan massa. Setiap aktor memiliki peran yang jelas. Politisi bertindak sebagai informan, jurnalis bertindak sebagai pembawa pesan, dan warga negara bertindak sebagai penerima.Â
Di era digital, karakteristik tersebut kian membaur. Masyarakat tidak hanya bertindak sebagai penerima, tetapi juga sebagai sumber dan perantara.Â
Organisasi politik dapat menjadi perantara atau penerima. Serta  organisasi politik dan masyarakat dapat berkomunikasi secara langsung melalui media sosial.
Ketiga, dimensi isi. Di era sebelumnya, komunikasi politik menyangkut perihal tema-tema yang menjadi kepentingan publik serta topik perdebatan publik.Â
Sementara itu di era digital, topik komunikasi politik sangat luas di mana didasarkan pada kriteria kelompok tertentu untuk ditonjolkan.Â
Pesan-pesan komunikasi politik tidak hanya bisa ditemukan dalam berita politik, tetapi juga terselip dalam humor, komedi, atau peristiwa sehari-hari.Â
Keempat, dimensi temporal. Dalam era pra-digital, penyelarasan konten dalam media politik adalah kunci dari proses komunikasi.Â
Seluruh tahapan komunikasi mulai dari produksi hingga distribusi diatur untuk memelihara sinkronisasi penerimaan informasi. Pada era digital, tidak ada sinkronisitas dalam memproduksi maupun distribusi pesan tersebut.Â
Masyarakat atau publik mempunyai banyak saluran komunikasi politik dan dapat memilih media yang sesuai dengan pilihan politiknya.Â
Kelima, dimensi ruang. Pada era pra-digital, ruang komunikasi politik didefinisikan dan dibatasi tegas pada batas-batas negara. Pembatasan ini berfokus pada ruang nasional, yang dicakup oleh sistem media masing-masing negara. Sistem media dibentuk oleh peraturan dalam bentuk legislasi nasional.Â
Di era digital, ruang-ruang yang tegas dalam bentuk sistem politik negara tertentu tidak digunakan lagi. Melalui media sosial, masyarakat dapat saling terhubung satu sama lain dengan negara dengan sistem politik yang berbeda.Â
Pun dengan individu di era digital yang juga menempati posisi sebagai aktor yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan negara.Â
Keenam, dimensi teknis. Pada era lama, teknologi penyiaran adalah teknologi komunikasi yang dominan. Pesan-pesan politik terutam disebarkan melalui televisi atau radio. Sementara pada era digital, internet menjadi teknologi media terdepan.
Dalam perspektif pembangunan politik, di sini jelas bahwa media sosial dalam perannya telah mengalami sejumlah perkembangan, dalam konteks sebagai media komunikasi publik hingga menuju ranah perpolitikan. Lingkungan media baru ini menawarkan potensi yang sangat besar untuk aktor-aktor politik.Â
Area teknologi informasi dan komunikasi yang sebelumnya terpisah menjadi terintegrasi membentuk lingkungan media baru. Dalam konteks komunikasi politik ini bisa didapati dalam kontestasi pemilu, baik di ranah lokal hingga level nasional. Â
Media sosial mengambil peran di sini dalam segi kampanye yang dilakukan oleh sejumlah aktor politik yang memanfaatkan platform media sosial sebagai sarana promosi diri hingga pada fungsi sosialisasi politik.Â
Dalam hal ini media sosial menjadi kekuatan dominan di dalam proses kampanye pemilu, mengingat pengguna media sosial di Indonesia sendiri cukup banyak, menurut data tahun 2021 pengguna media sosial di Indonesia mencapai 170 juta pengguna dari total 274,9 juta jumlah penduduk, atau sekitar 61,8%.
Selain menggunakan data jumlah pengguna media sosial, penulis juga mengutip pengalaman negara Amerika Serikat terkait dengan kekuatan media sosial dalam politik.Â
Kemenangan Barack Obama pada Pemilu di Amerika tahun 2008 dan 2012 tidak bisa dilepaskan dari kemampuan Obama dalam memanfaatkan dan mendayagunakan internet dan media sosial.Â
Selain di negara Amerika Serikat, di Indonesia juga terjadi fenomena yang sama dalam hal pemanfaatan media sosial dalam politik, secara spesifik pemilu.Â
Kekuatan media sosial terbukti dalam kemenangan Joko Widodo pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 dan Ridwal Kamil pada Pilkada Kota Bandung tahun 2013. Jokowi memenangkan pertarungan di media sosial dan unggul atas Fauzi Bowo.Â
Jokowi lebih banyak diperbincangkan dengan angka sebanyak 55,43% sementara Fauzi Bowo hanya diperbincangkan oleh pengguna media sosial sebanyak 44,57%. Selain itu juga kemenangan Ridwal Kamil pada Pilkada Kota Bandung tahun 2013. Ridwan Kamil melakukan kampanye dengan memanfaatkan media sosial secara kreatif.Â
Ridwan Kamil ditampilkan sebagai anak muda yang memberi harapan khususnya kepada pemilih pemula. Dengan akun Facebook Ridwan Kamil yang diikuti oleh 58 ribu pengikut sementara akun Twitter diikuti oleh 185 ribu pengikut, ia terbilang berhasil mendapatkan dukungan suara anak muda pada saat itu, dan bahkan hingga saat ini pun Ridwan Kamil dikenal dengan sosok pemimpin milenial yang dekat dengan masyarakat melalui media sosial.
Dengan menggunakan contoh kasus Pemilu Amerika, Pilkada DKI Jakarta dan Bandung, penulis berkesimpulan media sosial akan memainkan peranan penting pada Pemilu dan komunikasi politik di masa mendatang. Bahkan media sosial menjadi pilar kekuatan demokrasi kelima yang perlu diperhatikan.Â
Melalui media sosial, masyarakat bisa bersuara secara bebas serta terlibat dengan isu-isu politik. Jika sebelumnya pembicaraan politik hanya didominasi oleh elit, melalui media sosial warga bisa ikut terlibat dalam membicarakan isu-isu politik.Â
Namun demikian, terkait dengan kebebasan berpendapat di media sosial, perlu adanya upaya untuk mempertahankan nilai-nilai demokrasi, dalam hal ini perlu adanya pertimbangan kembali terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dinilai telah membahayakan demokrasi.Â
Pasal-pasal yang dimuat di dalamnya terkesan mengekang kebebasan berpendapat di media sosial di mana itu sangat jauh sekali dari prinsip-prinsip demokrasi. Karena peran media sosial dalam politik tidak hanya seputar komunikasi politik saja, akan tetapi kebebasan bersuara masyarakat di media sosial juga sangat penting dalam hal controlling terhadap pemerintah ataupun rezim yang sedang berkuasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H