Mohon tunggu...
Kirana Kusuma
Kirana Kusuma Mohon Tunggu... Seniman - Pelajar

Seorang perupa asal Kota Bandung yang menyukai menulis sebagai bentuk ekspresi dari pikirannya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"Apakah Aku Pernah Bahagia?"

26 Juli 2023   07:00 Diperbarui: 26 Juli 2023   19:55 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Kamu tahu kalau kamu bisa mempertahankan kebahagiaanmu? Cara dan prosesnya mungkin hampir-hampir serupa dengan perasaan benci dan hampa.

Salah satu yang paling sederhana, membiarkan diri sendiri lenyap kedalam perasaan itu. Biarkan diri kamu untuk bahagia terlebih dulu, ga terlalu penting seberapa besar atau kecilnya kebahagiaan itu. Jadilah bahagia walaupun sedikit. Tersenyum terlebih dahulu.

Kapasitas untuk bahagia

Sebenarnya bagian dari kebahagiaan terletak hanya sampai situ. Sampai pada pilihan dan membiarkan diri untuk merasa bahagia.

Dasarnya, memang sesederhana itu. Tapi, jika kamu masih berpikir kebahagiaan bukanlah sesuatu yang sesepele itu, barangkali yang sebenarnya kamu cari adalah "Apakah aku telah damai?", bukannya bahagia.

Damai bisa dikatakan sebagai kotak yang memberi kapasitas seseorang untuk bahagia. Damai ini yang memberi kompas untuk keadaan merasakan bahagia yang sesungguhnya.

Kamu tahu jelas bagaimana damai yang dimaksud bukan? Karena damai pun tercipta dari sebuah pilihan. Pilihan untuk gak menggubris suatu hal, untuk tidak memusuhi aspek-aspek kehidupan yang gak disukai, untuk tidak mengontrol hal-hal yang memang gak bisa dikendalikan, untuk mencintai dirimu sendiri, dan masih banyak untuk-untuk lainnya.

Kebahagiaan yang paling fragile

Oke, mungkin untuk memiliki kapasitas kebahagiaan itu agak terlalu sulit dan jelas-jelas membutuhkan proses yang lebih panjang dari hanya 'bahagia sesaat.'

Sebelumnya, aku bilang bahwa menanyakan 'apakah aku sudah bahagia' pelan-pelan menjadi tidak realistis bukan?

Tidak realistis karena kita telah menciptakan asumsi atas bahagia. Asumsi bahwa kebahagiaan itu konkret berasal dari sesuatu. Dan inilah yang menjadi kebahagiaan paling rentan.

Kita sering kali menempatkan kebahagiaan pada satu tempat, satu keadaan, satu sosok, sebuah harapan, pada sesuatu yang bersifat materialistis dan juga bisa berubah-ubah.

Berharap menjadi orang kaya, menjadi terkenal, memiliki jabatan, memiliki kendaraan mahal, gadget merek high end, memiliki banyak teman, lifestyle yang keren, atau barangkali berharap pada seseorang untuk mengikuti perkataanmu (berkerja sama, memberikan effort yang lebih, menjadi lebih baik, menjadi orang baik, tidak melawan) dan berasumsi kalau telah mendapatkan hal itu kamu akan bahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun