Barangkali kita bisa menyebut setiap nama manusia yang memiliki kehidupan lebih menyenangkan daripada kita dan juga segala aspek menyenangkan pula yang mereka miliki. Gak peduli seberapa besar atau sepelenya aspek kebahagiaan itu, kamu tahu, mereka bahagia. Dan jika kamu membaca saat ini sekarang, barangkali kamu sering bertanya mengenai hal serupa.
apakah aku pernah bahagia? apakah aku bisa sebahagia mereka? apakah ada kemungkinan, suatu saat nanti aku merasa bahagia?
Kamu tahu? Sejalannya dengan waktu, lambat laun pertanyaan berulang ini mulai terdengar agak bodoh dan kurang realistis ternyata.
Well, setidaknya begitu ditelingaku.
Dengan kondisi kehidupan seorang manusia---kehidupanmu dan kehidupanku, jika hanya menafsirkan/menilai hidup melalui pertanyaan apakah aku pernah bahagia saja itu menjadi kurang adil. Tentunya untuk hidupmu juga pandangan terhadap hidup orang lain.
Aku dan kamu, kita pun tahu semua orang itu menderita setidaknya 20 kali, dan ya.. Mungkin agak lelah kalau terus-terusan menguatkan diri dengan kata-kata "Kamu gak lebih menderita daripada orang lain." Namun, aku juga ingin kamu dan orang-orang lainnya yang kurang bahagia, mengetahui beberapa hal..
Pertama, emosimu bukanlah sesuatu yang stagnan
Kamu bisa tersenyum, sedih, tertawa, bosan, berduka, kesal ataupun benci untuk beberapa saat, namun tidak untuk waktu yang lama. Tepatnya tidak selamanya. Begitu juga dengan kebahagiaan. Kamu tidak bisa memilih atau berdiam dalam kondisi bahagia untuk selamanya. Kalo aku harus menyebutkan beberapa hal mustahil dalam dunia ini. Itulah salah satunya. Manusia tidak pernah bisa dalam ambang kebahagiaan disepanjang hidupnya.
Sebaliknya, bahagia merupakan pilihan
Oke, saat ini mungkin kamu ingin berdalih fakta mengenai emosi barusan. Karena kenyataannya ada beberapa orang yang seumur hidupnya menghabiskan waktu untuk benci kepada hal-hal yang ada pada dunia. Dendam atau juga menyimpan kemarahan dalam diri. Namun, itulah sebuah pilihan dalam emosi.
Kita selalu memiliki pilihan dalam merasakan emosi dan lalu mempertahankannya, bukannya alih-alih berpikir emosi itu bersifat stagnan (tidak berubah-ubah).
Benci tidak datang dalam satu waktu, tapi ada ketika kita dihadang pilihan pada sebuah peristiwa, dan gak peduli peristiwa tersebut datang dari dirimu atau dari luar. Jika kamu memilih untuk tetap merasa bermusuhan dengan 'hal' tersebut, sesuatu yang dinamakan benci ini lah muncul.
Contoh lainnya, sebagaimana dengan kita juga yang mempertahankan rasa hampa, sesuatu yang dipanggil depresi ini hadir.