Pemerintah harus mengingat bahwa kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan adalah kunci utama. Jika Tax Amnesty terus digelar tanpa disertai langkah tegas untuk meningkatkan penegakan hukum dan transparansi perpajakan, masyarakat bisa kehilangan keyakinan terhadap integritas kebijakan ini. Wajib pajak yang patuh mungkin merasa dirugikan, sementara pelanggar pajak justru mendapat keuntungan.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu memastikan bahwa kebutuhan penerimaan negara tidak hanya terpaku pada kebijakan jangka pendek seperti Tax Amnesty. Reformasi struktural yang berfokus pada pengawasan, teknologi perpajakan, dan penegakan hukum yang konsisten harus menjadi prioritas utama.
Akankah Berhasil?
Tax Amnesty Jilid III bisa jadi peluang, tapi juga ancaman. Peluang untuk mendongkrak penerimaan pajak dan memperbaiki basis data pajak bisa terwujud jika kebijakan ini dirancang dengan baik dan dilaksanakan secara transparan. Namun, ancaman berupa kerusakan fondasi kepatuhan pajak tidak bisa diabaikan. Pemerintah perlu meyakinkan publik bahwa program ini adalah langkah terakhir, bukan kebijakan yang akan terus berulang. Jika tidak, tax morale masyarakat akan semakin tergerus, dan pengampunan pajak akan kehilangan legitimasi sebagai kebijakan yang kredibel.
Pada akhirnya, tujuan utama sistem perpajakan bukanlah sekadar mengejar angka penerimaan sesaat, melainkan menciptakan masyarakat yang taat pajak demi keberlanjutan pembangunan nasional. Maka, sebelum meluncurkan Tax Amnesty Jilid III, pemerintah dan DPR perlu menjawab satu pertanyaan besar: Apakah kebijakan ini benar-benar menjadi solusi, atau sekadar pereda masalah jangka pendek?
Tulisan ini bukan produk jurnalistik, murni opini pribadi penulisÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI