Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengampunan Pajak telah masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2025. Rancangan ini menjadi sinyal dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa program Tax Amnesty Jilid III akan segera digelar. Kebijakan ini mengundang banyak perhatian, mulai dari pengusaha, ekonom, hingga masyarakat umum. Namun, di balik peluang yang ditawarkan, ada juga sederet pertanyaan yang perlu dijawab: Apakah kebijakan ini akan efektif? Ataukah sekadar mengulang polemik lama?
Apa Itu Tax Amnesty?
Tax Amnesty adalah kebijakan yang memberikan penghapusan atau pengurangan sanksi pajak kepada wajib pajak yang selama ini belum melaporkan hartanya secara lengkap. Tujuannya sederhana: mendorong wajib pajak untuk lebih patuh sekaligus meningkatkan penerimaan negara. Menyelisik dari sejarahnya, Indonesia telah beberapa kali menjalankan program pengampunan pajak dengan berbagai macam skema yaitu pada tahun 1964, 1984, 2008, 2016, dan 2022. Dari banyaknya skema pengampunan pajak yang telah dijalankan, lantas apakah membuat pengampunan pajak ini sesuai dengan tujuan awal ditetapkannya, yaitu meningkatkan penerimaan negara?
Tax Amnesty Jilid I dan II Tidak Efektif?
Pada pelaksanaan Tax Amnesty Jilid I (2016) yang dilaksanakan selama sembilan bulan pelaksanaan, pemerintah mengantongi uang tebusan sebesar Rp114 triliun. Jumlah ini memang menjadi tambahan signifikan bagi penerimaan negara, namun tetap ada catatan dibalik limpahan data ribuan triliun tersebut. Seperti pada tingkat partisipasi, jumlah wajib pajak yang mengikuti pengampunan pajak jilid satu ini hanya 973.426 wajib pajak atau 2,4% dari wajib pajak yang terdaftar pada tahun 2017 yakni pada angka 39,1 juta. Selain itu, realisasi angka Rp114,5 triliun itu belum sampai pada ekspektasi pemerintah yang sebelumnya berada pada angka Rp165 triliun. Lalu dilanjut pada Tax Amnesty Jilid II (2022) yang dilaksanakan 6 tahun dari Jilid I, hanya menerima uang tebusan sebesar RP61 triliun dan dinilai tidak meningkatkan partisipasi wajib pajak dalam program pengampunan pajak ini. Selain itu, tingkat kepatuhan wajib pajak juga tidak melonjak signifikan dan kontribusi yang dihasilkan tidak lebih dari 1% dari total penerimaan pajak negara.Â
Tax Amnesty Berlapis-lapis
Rincian kebijakan dari Tax Amnesty memang belum dapat diprediksi saat ini, tapi secara umum model yang akan diterapkan nampaknya akan mirip dengan yang banyak digunakan oleh otoritas pajak di taraf internasional yaitu Voluntary Disclosure Programme (VDP) dimana wajib pajak memiliki kesempatan untuk mengungkapkan harta dan penghasilannya secara sukarela, tetapi dalam garis ketentuan umum kepatuhan dan penegakan hukum di bidang perpajakan. Menurut Direktur Pengembangan Big Data Indef Eko Listiyanto, tidak ada urgensi dalam menerapkan tax amnesty jilid III, terlebih lagi kebijakan ini dilakukan tidak lama dari jilid II, hanya berjarak sekitar 3 tahun. Ini seperti mengulang kisah lama ketika pemerintah Indonesia menegaskan bahwa pengampunan pajak hanya akan dilakukan sekali dalam sejarah dan tidak akan ada lagi program serupa di masa depan. Namun, kenyataannya, tetap diadakan lagi dengan nama Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dengan substansi yang sama. Jika hal ini diteruskan, Tax Amnesty hanya akan merusak fondasi kepatuhan pajak. Wajib pajak akan merasa malas membayar pajak secara reguler karena tau pemerintah akan memberlakukan kembali pengampunan pajak. Selain itu, pengamat hukum dan pegiat antikorupsi, Hardujo Wiwoho mengkritik DPR RI yang lebih mementingkan pengampunan pajak dibanding RUU Perampasan Aset. "Langkah ini menuai pertanyaan mengapa kebijakan yang berpotensi membebaskan pelanggar pajak dari tanggung jawab masa lalu menjadi prioritas, sementara RUU Perampasan Aset, yang memiliki dampak besar dalam pemberantasan korupsi, justru diabaikan?" tutur Hardjuno dikutip Antara.
Hasrat Sesaat?
Dilihat dari peserta pelaksanaan tax amnesty jilid II yang jauh lebih sedikit dibanding jilid I, Eko Listiyanto mengatakan bahwa sudah banyak konglomerat yang melaporkan kekayaannya yang belum terungkap, sehingga menurutnya tax amnesty jilid III ini tidak bertujuan untuk mendata para orang kaya yang belum mengungkap hartanya. Eko pun meyakini pemerintah hanya ingin mendapatkan dana segar jumbo secara instan lewat uang tebusan pengampunan pajak. "Ini kan saking terpaksanya pemerintah harus nambah penerimaan sehingga hal-hal yang secara teoritis sebetulnya tidak bisa dilakukan dalam kurun waktu jangka menengah ini terpaksa dilakukan," jelasnya usai acara Seminar Nasional Proyeksi Ekonomi Indonesia 2025 di Jakarta Pusat, Kamis (21/11/2024).
Perlu Pemikiran yang MatangÂ
Melihat sejarah pengampunan pajak yang berulang, pertanyaan mendasar adalah: Apakah pemerintah sedang membangun sistem perpajakan yang kuat, atau hanya mengandalkan solusi sesaat untuk menambal kekurangan anggaran? Kebijakan seperti Tax Amnesty Jilid III tentu memerlukan kajian yang matang, termasuk analisis risiko jangka panjang terhadap kepatuhan pajak masyarakat.