Mohon tunggu...
Kiraman Kamapisa
Kiraman Kamapisa Mohon Tunggu... -

Memperjuangkan Ketauhidan dan Kemanusiaan merupakan perjuangan yang tidak pernah pupus dalam kehidupan manusia.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia dan Politik

6 Maret 2012   12:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:26 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini, kita telah dipuaskan oleh media massa dengan berbagai berita yang seakan-akan ingin melumpuhkan optimisme kita dalam melihat masa depan Bangsa kita yang tercinta ini. Sebagaimana, kita pahami bahwa rasa optimisme kita melihat kekayaan bangsa ini, sangat berapi-api dan antusias untuk menjemputnya segera. Apalagi, di masa sebelumnya, Bangsa kita ini pernah menyadang predikat “Gemah Ripah Loh Jinawi” (negara yang kaya akan sumber daya alamnya). Namun predikat itu, harus selalu ada dalam pantauan kita sebagai anak bangsa, yang memiliki jiwa keindonesiaan dan kebangsaan. Bahwa, bangsa ini adalah murni miliki kita, bahwa tanah tumpah darah ini adalah hasil perjuangan dari pendahulu kita (founding father) yang telah berkorban sampai titik darah terakhir, dan boleh dikatakan menjadi tumbal sejarah untuk merebut Indonesia ini dari para kaum penjajah.

Kesadaran akan nilai Kebangsaaan dan Keindonesiaan ini, semestinya sudah menjadi harga mati bagi kita sebagai pewaris sah bangsa ini, tentunya kita tidak akan berpangku tangan, ketika dihadapan kita, terjadi eksploitasi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia kita secara terang-terangan dan kemudian dijadikan sebagai komoditas yang menguntungkan oleh pihak asing (kapitalis). Pemihakan kita akan nilai-nilai tersebut, semestinya sudah tersemai dalam diri kita dan menginternalisasi sehingga bisa menjadi sarana objektifikasi untuk melihat kekurangan dan kebutuhan bangsa ini.

Sebenarnya, jika kita melihat kembali  realitas Indonesia secara historis, geografis, dan sosiologis bangsa ini, selayaknya sudah berjaya 20 tahun yang lalu, namun, realitas empirik telah mendistorsi semua itu. Nafsu yang diselimuti nilai pragmatis telah menghalangi perjalanannya dalam mencapai harapan baru tersebut. Yang tentunya dalam hal ini, sangat berkaitan dengan praktek-praktek politik yang bekembang saat ini yang bercorak pragmatis.

Praktek Politik

Tak bisa disangkal lagi bahwa, kenyataan praktek politik di Indonesia telah sedikit banyak mempengaruhi stabilitas kehidupan masyarakat Indonesia. Berbagai dimensi telah dirasuki sehingga, disadari ataupun tidak, bahwa terjadinya disparitas dalam kehidupan masyarakat baik yang bersifat cultural sampai pada wilayah structural selalu didalangi oleh praktek “politik”.

Secara historis, bangsa ini telah direbut melalui praktek politik, namun, hal yang perlu diperhatikan bahwa, dalam praktek politik yang digunakan dalam perebutan kemerdekaan Indonesia memiliki muatan dasar yang menurut Kuntowijoyo “adalah ranah politik untuk diimplementasikan” (Politik Posistif). Namun, kenyataan realitas bangsa sekarang ini, malah praktek politik menjadi sesuatu instrumen untuk melakukan sesuatu hal yang bersifat “fragmatis”, yang puncaknya menjadi komsumsi elit untuk merebut kekuasaan yang lebih mementingkan pada kelompok dan individu.

Jika sedikit kita menoleh ke belakang, salah seorang pemikir yang lahir dari rahim ibu pertiwi ini telah memperingatkan dan menjelaskan secara gamblang bahwa kesenjangan akan  terjadi dalam masyarakat ketika “praktek politik” tidak proporsional. Demikian apa yang telah digambarkan oleh Kuntowijoyo dalam buku “Identitas Politik Umat Islam” (Bandung,Mizan,1997). Kuntowijoyo ingin mengatakan bahwa terjadinya kesenjangan baik bersifat alamiah (Natural) ataupun bersifat struktural karena, disebabkan penempatan praktek politik yang tidak tepat. Misalnya, ia mengatakan bahwa kesenjangan alamiah (Natural) terjadi karena adanya praktek politik positif yang menyusupinya, padahal, wilayah ini merupakan wilayah grassroot (masyarakat)yang didalamnya terdapat unsur agama, budaya, adat, ras dan adat. Kemudian kesenjangan struktural ini terjadi, karena adanya praktek politik negatif yang semestinya digunakan pada wilayah kultural, namun, terimplementasi pada wilayah struktural yang tentunya akan melumpuhkan dimensi-dimensi primer bangsa ini. Hal inilah kemudian yang harus menjadi pengetahuan sekaligus pemahaman bagi rakyat Indonesia.

Bangsa ini akan dikatakan maju, ketika, elemen-elemen bangsa ini mampu memformulasi sebuah gerakan pengetahuan yang berbasis pada nilai etis, dari nilai etis tersebut selanjutnya menjadi karakter elemen bangsa ini (proses internalisasi), yang tentunya dimulai dari kaum elit bangsa sampai pada grassrootnya (masyarakat), dan kemudian keluar (Passsing over) untuk melihat realitas yang terjadi diluar dan melihat apa yang mereka inginkan dan usaha apa yang mereka lakukan untuk mencapai keinginannya tersebut, kemudian kembali lagi untuk mengecek dan mengoreksi gerakan yang telah disiapkan (­come back). Dan itulah yang kemudian ingin dikatakan oleh Kuntowijoyo dengan Objektifikasinya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun