Mohon tunggu...
R Andi
R Andi Mohon Tunggu... -

.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

The Golden Circle, Kenapa Saya Islam?

2 Agustus 2011   11:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:09 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam memahami, menilai sampai akhirnya mempercayai sesuatu kita pada umumnya akan melewati proses dimana kita harus menemukan jawaban atas pertanyaan What (Apa), How (Bagaimana) dan Why (Kenapa). Dalam ilmu Filosofi dikenal dengan Teori Nilai (Value Theory). Juga, Plato dalam Socratic Dialogue mengenalkan kita tentang Metode Socratis (Socratic Method, oleh Socrates, yang dianggap cikal bakal ilmu pengetahuan modern) yang menjabarkan bahwa untuk memecahkan suatu masalah, seseorang perlu mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan secara bertahap sampai akhirnya ditemukan jawaban yang dicari. Pada umumnya, alaminya,  urutan proses tersebut akan dimulai dengan menjawab pertanyaan Apa, lalu Bagaimana dan pada akhirnya kita akan dibawa ke ultimate-question, pertanyaan paripurna Kenapa. Pikiran saya yang sederhana mendefinisikan Apa itu sebagai pertanyaan yang memberikan jawaban atas pengetahuan/wawasan, Bagaimana memberikan jawaban untuk kreativitas dan pada akhirnya Kenapa akan memberikan jawaban filosofis. Tahapan alami dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah dimulai dari Apa, Bagaimana dan Kenapa. Contohnya seorang pelukis akan bertanya-tanya lukisan Apa yang akan dia buat, setelah mendapat jawabannya ia akan masuk ke tahap Bagaimana ia akan melukisnya dan pada akhirnya ia harus bisa meyakinkan orang Kenapa lukisannya layak dihargai atau dimiliki. Seringkali orang sudah bisa menjawab pertanyaan Apa dan Bagaimana, tapi pada akhirnya menjadi tidak produktif, bingung dan bahkan gagal karena tidak mampu menjawab pertanyaan Kenapa (melakukan hal ybs.) Seorang jenius, yang memang biasanya berbeda dari kebanyakan, bisa jadi akan memulai dari pertanyaan Kenapa. Karena dengan kekayaan pikirannya ia akan bisa langsung masuk ke inti permasalahan. Simon Sinek mengenalkan proses ini sebagai "The Golden Circle", -Start with Why- dimana Why ada di lingkaran paling dalam. Seperti contohnya perusahaan Apple, mereka mampu menguasai pasar tablet karena dipandang mampu menawarkan jawaban atas Kenapa orang harus memiliki produknya (Ipad), tidak sekedar bisa menawarkan Apa produk yang mereka punya atau Bagaimana produknya yang canggih, processor yang cepat dsb. mampu melakukan sesuatu seperti halnya yang dilakukan kompetitornya. Inovasi mereka diawali dari Kenapa mereka harus masuk ke pasar tablet (membuat produk Ipad) sampai pada akhirnya bisa meyakinkan orang untuk setuju bahwa mereka memerlukan tablet (Ipad) dalam kehidupan sehari-hari.

Video Simon Sinek : How great leaders inspire action

http://www.youtube.com/watch?v=qp0HIF3SfI4

Apakah "The Golden Circle" ini juga berlaku atas permasalahan kepercayaan (Agama) ?

Beberapa tahun belakangan ini, mungkin seperti halnya juga Anda dan orang-orang pada umumnya yang mulai mulai menginjak 'tua' dan mulai bertanya tentang hidup, saya dihantui oleh pertanyaan Kenapa saya ber-Islam ? Kenapa tidak Kristen, Hindu atau agama lainnya ? Apakah karena orang tua saya Islam ?  Lalu bagaimana seandainya orang tua saya bukan Muslim ?  Sampai kepada turunannya, misalnya kenapa saya membaca Al-Quran (tadarus) meskipun tidak mengerti bahasa Arab ?

Wajar bahwa setiap pemeluk Agama diajarkan bahwa Agama masing-masing lah yang paling benar.  Tapi pada tahap ini, saya tidak puas dengan jawaban normatif, pertanyaan yang muncul lebih berupa self-question, pertanyaan untuk diri sendiri dan butuh jawaban yang jujur dari diri sendiri.

Saya adalah orang Jawa, kedua orang tua saya juga Jawa, saya dilahirkan (kata orang tua saya) dan dibesarkan di Klaten (tentu saja di Jawa, Jawa Tengah). Klaten, berada di antara Yogyakarta dan Surakarta yang tentu saja termasuk wilayah pusat peradaban Hindu (Dinasti Sanjaya, Mataram Kuno) dan Islam (Mataram Islam) pada masa kejayaan masing-masing.

Saya berasal dari golongan petani (peasant, wong cilik), orang tua saya adalah generasi pertama yang mampu mengentaskan diri. Otomatis, sampai dengan generasi kakek-nenek saya seperti halnya wong cilik lainnya adalah penganut Islam Kejawen, sudah melakukan beberapa ajaran Islam tapi juga masih mempertahankan kebiasaan dari peninggalan ajaran Hindu (atau bahkan Animisme). Bahkan kakek saya termasuk yang masih kuat Kejawen-nya, karena beliau adalah salah satu yang mempunyai keahlian untuk merawat benda-benda pusaka (milik keluarga dan juga orang lain). Pada bulan Suro biasanya orang datang membawa pusaka keluarga masing-masing untuk 'dirawat'. Saya masih ingat sewaktu kecil sering membantu beliau menyiapkan 'ramuan' untuk mencuci benda-benda pusaka tersebut.

Alaminya, saya juga dibesarkan dalam ajaran Islam Kejawen. Namun, karena kedua orang tua saya adalah golongan pegawai yang tentunya lebih berpendidikan, saya mendapatkan lebih dari yang didapatkan anak-anak lainnya termasuk dalam masalah Agama. Pada saat pertama kali muncul keingintahuan saya tentang agama (karena di SD ada pelajaran agama, dan otomatis saya harus memilih ikut yang mana), orang tua saya bisa memberi jawaban bahwa saya Islam. Mereka juga mengajarkan saya bagaimana berdoa, sholat lima waktu dan puasa. Saya ingat pernah bertanya kenapa saya Islam, tapi sudah puas dengan jawaban bahwa karena Bapak dan Ibu juga Islam, dan Islam adalah yang paling benar. Walaupun pada saat itu kedua orang tua saya belum memiliki pengetahuan Islam yang cukup, mereka sudah punya pandangan bahwa anaknya harus berpengetahuan lebih dari mereka. Selain pagi hari harus bersekolah di SD Negeri, sore harinya saya didaftarkan untuk masuk MI (Madrasah Ibtidaiyah). Di MI inilah saya merasa landasan saya berislam dibentuk.

Dalam proses perkembangan hidup saya, saya 'beruntung' pernah terlibat dan mengenal berbagai dinamika kehidupan Islam. Dari latar belakang keluarga saya yang Kejawen, tinggal di kampung yang tokoh agamanya berlatar belakang NU, mengenyam pendidikan yang dikelola Muhammadiyah, sempat ikut aktivitas dakwah Jamaah Tabligh saat SMA (walaupun lebih karena rasa keingintahuan dan didorong semangat untuk bertualang mengunjungi tempat-tempat baru), dan sempat masuk aktivitas keagamaan di kampus yang bisa dibilang banyak mengadopsi sistem Ikhwanul Muslimin.

Dari semua pengalaman itu paling tidak saya bisa mendapat jawaban tentang apa itu Islam dan bagaimana mengamalkan ajarannya. Tetapi, saya merasa belum mendapatkan jawaban yang jujur atas pertanyaan Kenapa saya Islam. Memang seringkali saya merasa menemukan jawabannya, yang akhirnya bermuara pada masalah Iman. Terus terang saja saya tidak pernah puas atas jawaban seperti misalnya bahwa menurut penelitan sholat baik untuk kesehatan (seperti halnya yoga katanya), dan lainnya yang empiris semacam itu. Menurut saya itu hanya turunannya saja dan lebih cenderung kepada pembenaran. Tetapi, Iman bisa menjawab pertanyaan kenapa saya melakukan sholat atau puasa. Jangan bertanya kepada saya Kenapa harus beriman, menurut saya pertanyaan tersebut sama halnya dengan pertanyaan kenapa kita hidup. Pertanyaan abadi yang akan selalu menemani kita sampai mati. (Ada yang menjawab agar kita dimasukkan ke surga, tapi percaya bahwa surga itu ada adalah sebagian dari Iman itu sendiri).

Berdasarkan sejarah saya menyadari bahwa secara tidak langsung keluarga saya memeluk Islam karena peradaban terakhir yang dominan di daerah saya adalah peradaban Islam (Kira-kira pada abad ke 15, masyarakat Jawa mulai memeluk Islam secara massal dan peradaban Hindu tergeser ke arah Timur [Tengger dan Bali misalnya]). Tapi saya percaya bahwa saya dilahirkan dalam keluarga yang memeluk Islam adalah anugerah dari Allah dan saya harus bersyukur untuk itu.

Namun disisi lain muncul pertanyaan lain, bagaimana seandainya orang tua saya bukan Muslim, Kristen misalnya? Akankah saya akan seperti saat ini (dan semoga sampai akhir hayat nanti) seorang Muslim? Percakapan saya dengan teman saya yang seorang atheis (dia mengakui sendiri) turut memunculkan kembali pertanyaan itu. Dalam sebuah obrolan terkait agama, teman tersebut bilang bahwa dia menghargai saya memeluk agama, tapi yang penting adalah bahwa saya mempunyai alasan kenapa, bukan hanya ikut-ikutan.  Perlu diingat orang atheis bukan lalu berarti mereka tidak tahu atau bahkan ignorant (tidak mau tahu), banyak diantara mereka yang sudah juga mempelajari agama tapi pada akhirnya tidak menemukan jawaban atas pertanyaan Kenapa tadi. Juga, seringkali kita akan menemui bahwa seseorang yang atheis yang akhirnya memeluk agama karena mampu menemukan jawaban Kenapa tadi, entah karena proses pencarian (pembelajaran) atau anugerah Yang Maha Pencipta (hidayah) akan bisa menjadi pemeluk yang taat (bahkan lebih taat dari orang yang memeluk agama tersebut sedari kecil).  Seperti halnya kasus kesuksesan perusahaan Apple diatas. Karena mereka percaya!.

Tapi bagaimana dengan anak-anak saya nanti, bagaimana mendidik mereka ? Apa yang harus saya jawab ketika anak saya bertanya kenapa harus Islam ? Saya sering diliputi kekhawatiran jika anak-anak saya nanti (dan bahkan saya sendiri) memeluk Islam hanya karena kedua orang tuanya Islam.

Dalam pandangan pendidikan Barat, anak harus diberi kebebasan untuk memilih, termasuk dalam masalah Agama. Ada benarnya juga, akan menjadi percuma jika anak-anak kita nanti mengaku beragama Islam tetapi hanya karena diajarkannya begitu, karena orang tuanya juga Islam. Seperti banyak yang terjadi pada generasi kedua imigran Muslim di negara-negara Barat. Banyak di antara mereka yang mengaku masih Muslim tetapi tidak lagi menjalankan Islam (non-practising Muslim), tidak menjalankan sholat dan mengkonsumsi makanan yang haram menurut Islam (daging babi dan alkohol misalnya).

Apakah bisa membalik prosesnya dengan mengajarkan yang filosofis dulu, agar bisa menjawab pertanyaan Kenapa?.

Niscaya adalah sebuah kemustahilan untuk mengajarkan anak-anak tentang kenapa harus beriman, kenapa harus beragama Islam (misalnya). Kecuali si anak jenius, biasanya hal yang pertama kali mengusik pemikiran anak-anak adalah pertanyaan Apa (Itu apa? Apa itu Ma ? Apa itu Pa ? ). Nabi Ibrahim saja membutuhkan proses yang panjang dan harus menemukan jawaban dari banyak pertanyaan sebelum akhirnya menemukan siapa Tuhannya Yang Maha Pencipta.

Tapi lantas bukan berarti pula langsung diberikan pilihan, bebas memilih apa saja. Akan ada terlalu banyak faktor eksternal yang mempengaruhi pemikiran anak-anak kita. Kita sebagai orang tua mempunyai kewajiban untuk mengajarkan hal yang baik. Dari kebaikan yang bernilai universal (semua orang setuju) sampai kebaikan yang bersumber dari idealisme atau ajaran yang kita pegang (tidak mungkin semuanya kebaikan universal, kita hidup pasti mempunyai nilai-nilai tertentu yang kita pegang dan belum tentu orang lain sependapat).

Saya masih percaya bahwa untuk mendidik anak masalah Agama kita harus tetap menggunakan pendekatan "The Golden Circle" yang alami (Bukan dengan Start with Whay-nya Simon Sinek), dimulai dari Apa lalu Bagaimana. Sedikit demi sedikit Insya Allah pada akhirnya nanti, saat akal mereka mulai bertanya dan bisa mencerna mereka akan bisa menemukan jawaban Kenapa. Pilihan apa yang akan mereka ambil nanti ?  Wallahu'alam.

Kenapa saya Islam ? Insya Allah karena saya beriman bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.

Kenapa saya beriman ???

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun