Mohon tunggu...
Muhamad Iqbalnur Fikri
Muhamad Iqbalnur Fikri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Daigakusei

Logika, Etika, Estetika

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Si Pencari Fakta

1 Agustus 2024   23:13 Diperbarui: 1 Agustus 2024   23:28 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam pun tiba dengan tak terasa. Pardi sudah melewati hari setelah bangun paginya dengan tidur sepanjang siang hingga sore, dan terbangun saat malam karena lapar. Di kamarnya yang gelap dan berantakan itu, ia menyantap makanan sambil salah satu tangan mengetik lihai layar ponsel. Hingga makanannya habis itu pun ia masih berkutat dengan ponsel, kali ini lebih bebas.

Kegiatan dengan ponselnya malam ini dan setiap malam adalah bermain media sosial, spesifik X (dulu twitter). Ia menulis berutas-utas opini, disertai gambar yang ia comot dari pengadunya di pesan tulisan. Topik yang dia bawa dalam tulisannya adalah seputar grup idola, dan selalu membahas hal-hal yang berhubungan dengan sekandal, bahkan ia menyebut dirinya sebagai si pencari fakta. Berbekal pengalaman dari kuliah jurusan Ilmu Komunikasi yang hanya bertahan 4 semester, ia lihai menggiring opini pengguna dunia maya dengan tulisannya yang tak seberapa.

"Aneh banget liat fans jaman sekarang, padahal udah jelas doi kena skandal dengan ngelanggar rules, masih aja dibela... malahan disambut pula ketika comeback." tulisnya.

"Gw dapet ini dari beberapa info yang bilang si Z pacaran, padahal masih keitung member... kalian fans goblok pasti pada mbelain idol kalian yang udah ga pantes jadi idol lagi itu."

"Dasar bodoh, idol itu milik fans... jika mereka tidak bertindak selayaknya yang diinginkan, harus pergi..." ucapnya disela-sela tawa.

Ditengah asiknya berkutat dengan ponsel, kopi yang hendak ia tenggak sudah tak tersisa didalam gelas, Pardi mengumpat kecil. Dengan malas, ia keluar dari kamarnya sambil membawa gelas yang hanya tersisa ampas hitam itu ke dapur. Suasana rumah sudah sepi, Pardi kaget setelah mengetahui bahwa sekarang sudah berada di pukul 00.00, tak terasa pikirnya.

Begitu sampai di dapur dan hendak menyalakan kompor untuk memasak air panas, ia harus menghadapi kenyataan bahwa persediaan kopi bubuknya habis, Pardi kembali mengumpat kecil. Ia merogoh saku celana, uang tadi tersisa lima ribu rupiah, setidaknya cukup untuk dua bungkus kopi pikirnya. Pria itu, lalu berjalan keluar rumah menuju warung terdekat.

Bunyi notifikasi selama perjalanan sulit ia abaikan, alhasil ditengah langkahnya, ia sibuk kembali berkutat dengan pesan dan komentar, keasikan barusan kembali. Pardi bahkan sampai tersenyum sendiri sambil terus memainkan ponsel, membuat sisa orang yang berpapasan dengannya mulai berpikir :

"Sejak kapan orang gila punya gawai?"

Ditengah keasikan itu, tanpa ia sadari sebuah truk melaju kencang di jalanan. Bersamaan dengan Pardi--sambil fokus dengan ponselnya, menyebrang. Naas, tabrakan tak terelakan, ia terlempar, begitu pula sang gawai. Anehnya, keadaan jalanan yang ia lewati itu adalah area sepi, dan ini justru menjadi kesempatan bagi sang supir untuk tetap melaju seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu.

Pardi dengan darah bercucuran membasahi badan, menatap langit malam dengan susah payah, mulutnya terbuka seakan ingin mengucapkan sesuatu, namun ajal nampak tak memberi ia kesempatan untuk meromantisasi sakaratul mautnya, pria itu mati begitu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun