Mohon tunggu...
Ki Pangkas
Ki Pangkas Mohon Tunggu... -

toto sing neng jero ati kuwi, awasono atimu dewe-dewe karo lan waspodo...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Cinta, Persaudaraan, dan Simpati

23 April 2013   09:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:45 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

kuwas ini punya tuan?

menelisik dunia tak selebar daun kelor…
ujar yang dulu dalam uji balistik setangkai pelor…
menggugah layangan karya malu, tertutup sanggah “tjap kesohor”..
diseret rodi waktu, laksana jangkar kata dihantam bertubi hingga jontor..
tanpa disadari pesan dalam botol, dibuatkan pabrik tjap kelapa kopyor…

berkokok bahasa yang beragam, terpandang ala konfigurasi awan…
kicauan lisan terpahat berlempeng lempung bergerak tertawan…
suka logika yang bertutur kata, ini gerangan milik tuan?
sedih aryati tertegun seribu satu malam yang terluka ditangan…

basa-basi rentetan nada puisi, untuk apa gelitik makna perlu dilalu…
kecap kecup linea lagu, guna apa kaca laku-membaca rasa menghantu…
mulut bermonyong ria bagai paruh merpati patuk mencacah batu…
percik air ciprat muka siapa, segar ingatan akan majikan yang satu…

kuwas ini punya tuan? kata hati menanyakan judul jadul ini…
sementara disana sini, riuh ramai memperebutkan tjap gono gini…
sentak jabat “hei” jangan dekati!!!, lagu ini punya agama ini…
komat kamit mantra teori, pembesar sempit dada berhaha hihi…

tuan yang besar sudah tak lagi dianggap cinta yang besar…
tertutup debu rentetan gelar manusia berarak hormat menggelegar….
tuan yang tinggi sudah tak lagi dianggap persaudaraan yang tinggi…
terbungkus paket ego penguasa serakah memiliki itu ini….
tuan yang agung sudah tak lagi dianggap kasih sayang yang agung…
terjerat perkataan jagung, pengikut buta mata hatinya tertenung…

mereka-reka apakah mulia manusia bila memaksa indentitas dipunggungnya…
sementara bagaimana menjadi lupa, apakah dua terhitung tak perlu ada satunya…
sementara menghirup gratis tebaran udara, tak ada tjap petir yang menyertanya…
lantas mengapa berjajar tatap dunia, berlaku hukum manusia punya siapanya…
ah…kuwas ini punya tuan? oh kuwasa ini punya tuan katanya….
[268][9:16][10:16]

catatan benak kaki:
amar ma'ruf nahi munkar itu diterjemahkan para pendahulu dalam pepatah "dunia tak selebar daun kelor"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun