Mohon tunggu...
Kintan Rosita Ristiani
Kintan Rosita Ristiani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Bachelor of International Relations

I love to disccus about gender equality, woman issues and politics.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Isu Gender dan Keterkaitannya dengan Keamanan Manusia

20 Juni 2021   14:00 Diperbarui: 23 April 2024   13:07 998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Keamanan manusia tidak hanya menekankan pada keamanan negara yang telah dikonseptualisasikan oleh keamanan nasional. Namun, keamanan manusia menganjurkan suatu negara harus benar-benar memperhatikan keamanan rakyatnya, dengan menitikberatkan terhadap keamanan individu dan khususnya yang disebut sebagai kaum minoritas, seperti perempuan, etnis minoritas dan agama minoritas, serta yang lainnya. Dikarenakan adanya ancaman ekonomi, lingkungan bahkan sosial budaya menyebabkan kaum minoritas atau dengan kata lain kaum yang tidak setara akan mendapatkan dampak yang lebih buruk. Dengan demikian, konsep keamanan manusia menyatakan bahwa perlu adanya perlindungan yang lebih terhadap kaum minoritas, terutama terhadap perempuan. Dengan mengkaitkan gender dan keamanan manusia, kita dapat menangkap dan mengidentifikasi suatu dimensi sosial budaya dari konsep keamanan manusia dan hubungan antara gender dan keamanan manusia. 

Isu gender merupakan salah satu aspek yang dipelajari dalam keamanan manusia. Gender atau sistem seks adalah suatu struktur budaya yang tersusun dari suatu struktur sosial. Sistem gender di semua masyarakat ini muncul dalam bentuk yang berbeda dan dipengaruhi oleh berbagai jenis ideologi negara dan rezim politik, rumah tangga dan pembagian kerja gender di tingkat makro. Dinamika ini merupakan sumber signifikan dari posisi perempuan yang kurang beruntung dan stabilitas sistem gender dan sumber yuridis dan ideologis. Dalam kekuasaan politik, laki-laki dan perempuan memiliki akses yang tidak setara. Tidak hanya dalam kekuatan politik, tetapi juga dalam sumber daya ekonomi dan citra budaya, representasi perempuan secara fundamental berbeda dari laki-laki, meskipun dalam masyarakat secara formal berkomitmen pada kesetaraan gender. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan berarti perlakuan dan kesempatan yang sama secara hukum.

Isu gender yang seringkali muncul di lingkup masyarakat nasional bahkan hingga internasional adalah kekerasan terhadap perempuan, perdagangan dan perbudakan seks terhadap perempuan. Saat ini, kita hidup dalam situasi dimana banyak terjadi kasus kekerasan yang menyebabkan perempuan menjadi korban. Padahal, seharusnya tindak kekerasan ini sudah dihapuskan, karena secara komparatif, perempuan lebih mungkin menjadi korban kekerasan pribadi atau rumah tangga daripada laki-laki. Perempuan yang berada di Kawasan Eropa Tengah dan Timur serta Asia dan Afrika mungkin saja tidak tertarik dengan perkembangan ekonomi Barat, tetapi mereka membutuhkan kebebasan dari kekerasan dalam rumah tangga dan dominasi yang sangat kuat dari laki-laki.

Banyak negara yang tidak berhasil dalam memerangi perdagangan manusia sebagai akibat dari tantangan dalm kebijakan dan Undang-Undang. Padahal sudah banyak pihak yang memberikan perhatian kepada para korban perdagangan dan perbudakan seks terhadap perempuan. Adanya ketidaksetaraan gender mungkin menjadi faktor penentu dari perdagangan dan perbudakan seks terhadap perempuan karena mereka sangat rentan menjadi sasaran bagi para pelaku perdagangan dan perbudakan. Hal ini telah menyebabkan kurangnya kebebasan bagi perempuan dan meningkatkan resiko eksploitasi di mana perdagangan dan perbudakan dipandang sebagai kejahatan yang sangat kejam bagi perempuan.

Salah satu contoh kasus yaitu terjadi di Rwanda. Laki-laki memiliki kekuasaan mayoritas dan control atas keluarga. Kekerasan berbasis gender yang mencakup perdagangan dan perbudakan terhadap perempuan telah menjadi salah satu bukti laki-laki memanfaatkan superioritas gender mereka. Hal ini disebabkan karen masyarakat Rwanda cenderung masih menganut paham patriarki. Never Again Rwanda (NAR) muncul pada tahun 2002 di Kigali sebagai tanggapan atas genosida Tutsi tahun 1994. LSM yang awalnya bertujuan untuk membangun lingkungan yang aman bagi kaum muda memperluas cakupannya untuk menangani pilar-pilar intinya saat ini menjadi LSM pembangunan perdamaian, tata kelola & hak, penelitian & advokasi, mata pencaharian berkelanjutan, pendidikan dan keterlibatan pemuda. Organisasi ini bekerja sama dengan USAID, Global Fund for Children, E.U. dan organisasi pendamping lainnya. Penelitian terbaru yang dilakukan organisasi tersebut menunjukkan bahwa sekitar 77,67% korban perdagangan manusia di Rwanda adalah perempuan. Meskipun pekerjaan di kalangan perempuan lebih tinggi daripada laki-laki di Rwanda, perempuan masih lebih mungkin menjadi sasaran karena tingkat pendidikan yang lebih rendah di antara mereka dan permintaan akan perbudakan seksual.

Selain di Rwanda, misalnya di Afrika, perempuan dipandang lebih rendah daripada laki-laki. Disana, laki-laki telah mendominasi segala aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi dan bisnis. Bahkan, laki-laki juga banyak telah memegang beberapa jabatan di pemerintahan. Pendidikan bagi perempuan pun disana masih sangat diasingkan. Adanya fenomena kemiskinan di Afrika, menyebabkan meningkatnya perdagangan perempuan. Kehidupan perempuan sangat dikontrol, sedangkan laki-laki memliki kebebebasan yang mendorong mereka dapat melakukan apapun sesuai kehendak mereka. 

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak mungkin berbicara tentang gender tanpa mengaitkan dengan keamanan manusia. Karena kedua hal ini memang saling terkait. Konsep keamanan manusia hadir sebagai suatu konsep yang tidak hanya berfokus pada satu titik, yaitu negara, melainkan juga berfokus pada setiap individu yang hidup dan berada di dalam sebuah negara. Di masyarakat manapun, ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dapat terjadi. Seperti yang kita tahu, dari masa kecil hingga dewasa, perempuan sering kali mengalami kekerasan. Hal ini disebebkan karena adanya padangan yang menganggap bahwa perempuan itu makhluk yang lemah. Selain itu, penyebab lain yaitu adanya perbedaan gender dan sikap dominan yang dimiliki oleh laki-laki.

Dari ketujuh komponen kemanan manusia menurut laporan United Nations Development Program (UNDP) 1994, kasus kekerasan, perdagangan dan perbudakan seks terhadap perempuan dapat menjadi suatu ancaman bagi keamanan personal. Keamanan personal yaitu suatu hal yang menimbulkan rasa terancam dan takut bagi seorang individu. Keamanan personal mensyaratkan bahwa setiap individu harus terbebas dari adanya perasaan takut akan suatu ancaman, baik itu kekerasan fisik, perdagangan dan perbudakan seks.

Untuk mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, seperti kekerasan, perdagangan dan perbudakan seks terhadap wanita, pertama, perlunya dilakukan pemberdayaan wanita dalam segala aspek kehidupan, seperti diadakannya pelatihan oleh Lembaga-Lembaga yang berwenang. Dalam hal pekerjaan pun, perempuan juga harus dibekali oleh keterampilan dan pengetahuan yang luas agar dapat bersaing di dunia kerja.  Kedua, harus mengubah pandangan masyarakat yang menganggap bahwa perempuan merupakan pihak minoritas, seperti penghapusan pandangan bahwa perempuan hanya dapat menghasilkan anak dan hanya bisa mengurusi pekerjaan rumah tangga. Padahal, seorang perempuan juga dapat melakukan aktivitas yang tentunya lebih bermanfaat bagi dirinya bahkan bagi orang lain. Perempuan juga bisa memperjuangkan mimpi dan karirnya agar dapat mencapai kesetaraan gender. Ketiga, mengikutsertakan perempuan dalam hal mengambilan keputusan. Apabila perempuan diikutsertakan dalam posisi tersebut, mereka akan mulai percaya diri dan merasa mampu untuk menyuarakan hak-haknya agar tidak tertindas oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan agar perempuan mendapatkan kebebasan dalam mengambil keputusan. Perempuan juga akan lebih percaya diri untuk menyuarakan pendapat mereka tentang kekerasan, perdagangan dan perbudakan seks, pelecehan, perniakahn paksa dan tindakan yang tidak menyenangkan lainnya. Terakhir, memberikan penyuluhan dan pelatihan kerja bagi perempuan. Hal ini menyebabkan perempuan dapat mengasah keterampilannya sehingga perempuan mampu membuka suatu usaha untuk mencegah adanya fenomena kemiskinan.

Referensi :

Chenoy, Anudhra M. 2009. The Gender and Human Security Debate. IDS Bulletin, Vol 40, No 2. Page 44 -- 45.

Gacinya, John. 2020. Gender inequality as the determinant of human trafficking in Rwanda. Halaman 74 -- 75.

Moussa, G. 2008. Gender aspects of human security. International Social Science Journal.

Rasool, Berrak. 2020. Unemployment and Human Trafficking in Rwanda. https://borgenproject.org/human-trafficking-in-rwanda/. Diakses pada 15 Juni 2021, pukul 15.47.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun