Mohon tunggu...
Suradi MCC
Suradi MCC Mohon Tunggu... Lainnya - Tim Penulis Buku Sepenggal Cerita Penggawa Iklim, Cuaca dan Geofisika

Ordinary people who like reading, socializing, traveling, etc. All are such sources for learning

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Pandemi Covid-19, Polusi 2020 dan Komitmen 2030

29 Juni 2020   14:54 Diperbarui: 30 Juni 2020   04:34 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 5. Kondisi polutan PM10 Jakarta periode pekan kedua WFH. Source: BMKG


Birunya Langit Jakarta

Perlu disyukuri bersama bahwa terjadi penurunan kemacetan di jalan- jalan Jakarta selama pandemic Covid-19 yang gilirannya membirukan langit Ibukota. Pemandangan yang menyegarkan serta memanjakan mata warganya.

Dari grafis persentase kemacetan di bawah ini diambil dari lokadata.id dari olahan data yang diukur oleh  The TomTom Traffic Index yang membagi kota ke dalam tiga kategori: megacity (> 8 juta warga), large (> 800 ribu) dan small city (< 800 ribu). Kota Jakarta, New Delhi dan New York (NY) masuk ke dalam kategori megacity. Kuala Lumpur (KL) dan Madrid dikategori large city. 

Kota Jakarta, jumlah warganya pada siang hari yang memadati sekira 11 juta jiwa, sedang malamnya sebanyak sepuluh juta warga. Ini menunjukkan bahwa mobilitas warga Jakarta dan penyangga Jakarta sangat kentara. 

Dengan kata lain informasi terkait kemacetan ini sangat relevan untuk menilai Jakarta yang kaya akan perantau, baik yang tetap maupun sementara. Perantau yang tetap biasanya mudik saat lebaran, sedangkan perantau yang sementara biasanya siklus pulangnya diurnal, pagi datang sore pulang.

Gambar 2. Persentase kemacetan kota besar di dunia. Source: Lokadata.id
Gambar 2. Persentase kemacetan kota besar di dunia. Source: Lokadata.id
Dalam masa sepekan 9-15 Maret 2020, kota- kota besar di dunia secara kompak mulai menunjukkan penurunan kemacetan, dibanding pekan- pekan sebelumnya dimana ada kota yang fluktuatif naik. Kota Jakarta, masih menjadi jawara dengan persentase kemacetan sebesar 37%, diikuti New Delhi, KL, NY dan Madrid berturut- turut 26%, 24%, 21% dan 13%. 

Khususnya di kota Jakarta, kita ingat bahwa pemberlakuan kebijakan kegiatan belajar mengajar (KBM) serta kerja dari rumah working from home (WFH), baru dimulai tanggal 16 Maret 2020. Realitas ini seperti memberi gambaran kepada kita bahwa sebelum resmi diberlakukannya policy terkait respon terhadap pandemic Covid-19 ternyata masyarakat yang terbiasa menggunakan kendaraan bermotor sudah mulai mengurangi aktifitasnya di jalan sebelum dipaksa dengan peraturan yang terlihat dari menurunnya kemacetan dibanding normalnya. Artinya dari perspektif respon terhadap pandemic ini, secara umum warga Jakarta dan sekitarnya sangat responsif.

Gambar 3. Kemacetan saat WFH pekan-2 di Jakarta. Source: Lokadata.id
Gambar 3. Kemacetan saat WFH pekan-2 di Jakarta. Source: Lokadata.id

Kemudian, berdasar gambar 3 di atas terlihat kemacetan terendah dicapai Jakarta dan juga kompak dengan kota lainnya pada periode pekan kedua berlangsungnya WFH di Jakarta, 23- 29 Maret 2020.  Apakah ini berarti bahwa efek WFH baru optimal di pekan kedua? Mari kita kupas dari sisi data pembanding lainnya, data kualitas udara.

Kualitas Udara Makin Berkualitas

Apakah  menurunnya kemacetan ini diikuti dengan membaiknya kualitas udara di Ibukota? Dari hasil pengukuran  BMKG terhadap salah satu parameter polusi udara berupa partikulat PM10, yakni partikel pencemar udara dengan ukuran diameter melayang sebesar 10 mikron, partikel halus setara 1/10 ukuran diameter rambut manusia yang sifatnya respirable pollutant yang bisa mengganggu pernafasan, diperoleh gambaran sebagai berikut.

Gambar 4. Timeseries Polutan PM10 di Jakarta Pusat, Sepekan sebelum WFH. Source: BMKG
Gambar 4. Timeseries Polutan PM10 di Jakarta Pusat, Sepekan sebelum WFH. Source: BMKG

Dari gambar 4 di atas, pada periode tanggal 9 - 15 Maret 2020, konsentrasi PM10 di Kemayoran Jakarta didapatkan nilai konsentrasi PM10 maksimum sebesar 157 mikron pada hari Sabtu, 14 Maret 2020. Dengan terlihat variasi diurnal mencapai maksimum pada jam 6 pagi hari dan mencapai nilai minimum pada malam. 

Nah, bagaimana dengan periode pekan kedua WFH, 23- 29 Maret 2020, dimana kondisi kemacetannya paling minim?

Gambar 5. Kondisi polutan PM10 Jakarta periode pekan kedua WFH. Source: BMKG
Gambar 5. Kondisi polutan PM10 Jakarta periode pekan kedua WFH. Source: BMKG

Pada pekan-2 WFH, bisa dilihat dari gambar 5 di atas. Hari Sabtu masih menjadi hari terpolusi. Namun ternyata nilai maksimum konsentrasi polutan berkurang menjadi sebesar 100 mikron serta terlihat variasi diurnal mencapai maksimum pada sore hari dan mencapai nilai minimum pada malam hari. 

Kondisi macet yang relatif tinggi (37%) berasosiasi dengan pola polutan yang tinggi di pagi hari, sedangkan keadaan yang angka kemacetannya relatif rendah (8%) bertalian dengan pola polutan yang tinggi di sore hari.

Hal ini ditengarai bahwa ketika macet emisi gas buang, berupa asap knalpot akibat dari pembakaran bahan bakar yang tidak sempurna langsung melayang- layang terakumulasi di udara seketika sehingga langsung terpantau di alat pengukur polusi. 

Sehingga pola polutan saat terjadi kemacetan adalah mengikuti kondisi lokalnya. Polanya sangat fluktuatif. Sedangkan ketika kondisi jalanan lancar, polusi cenderung mengikuti pola umumnya dimana secara umum terlihat pola kurva yang lebih smooth dengan puncak dan lembah yang lebih terlihat lebih jelas. 

Namun perlu diperhatikan bahwa selain faktor aktifitas manusia juga perlu dipertimbangkan kondisi alamiah yang memengaruhinya khususnya curah hujan sebagai pembasuh alami, rain-washing. 

Gambar 6. Perbandingan PM10 dengan Curah hujan Maret 2020 di Jakarta. Source: BMKG
Gambar 6. Perbandingan PM10 dengan Curah hujan Maret 2020 di Jakarta. Source: BMKG

Curah hujan yang turun berfungsi juga sebagai pembasuh kotornya udara dari noda- noda polutan yang membandel yang melayang di udara Ibukota. Dari pengamatan BMKG, pada  gambar 6, garis biru adalah polutan sedangkan batang warna oranye adalah curah hujan. 

Ketika WFH pekan-2 ternyata curah hujan sudah sangat jarang mengguyur Jakarta, luar biasanya polusi udara relatif rendah. Ini bisa dikatakan bahwa side-effect WFH nampak signifikan perannya sebagai pembasuh tiruan, artificial-washing udara di kota Jakarta.

Tren Kemacetan Saat PSBB Transisi serta Tantangan 2030

Kita masih beruntung karena polusi udara kota Jakarta 2020 hingga akhir kuartal-2 2020 ini masih lebih bagus dibanding periode tahun 2019. 


Namun, dari data The TomTom, Setelah persentase kemacetan flattened di kisaran angka 10%, ternyata di pekan-2 dilaksanakan PSBB Transisi di Jakarta, ada tren kemacetan yang naik ke kisaran 15%. 

Apa kita akan kembali ke normal lama, the old normal? Dimana kemacetan adalah kawan seperjalan kita.  Atau siap kita songsong dengan norma baru, the new norm? Dengan membiasakan pola hidup yang meminimalisir macet dan polusi?

Dalam skala lebih besar, tentunya kebiasaan ramah lingkungan ini membantu target pemerintah Indonesia dalam komitmen INDC untuk dunia dalam mengerem laju perubahan iklim dengan menurunkan emisi sebesar 29% di tahun 2030.  

Kita tahu bahwa budaya macet ini selain menyebabkan terjadinya semburan polusi, juga teremisi gas rumah kaca pemanas bumi. 

Ingat, pandemi ini kejadian luar biasa, extra-ordinary incident. Sehingga perlu disikapi dengan cara luar biasa juga. So, are you ready for the new norm, gaes? Siap untuk Selamat Gaes! Thank youuu...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun