Malam ini dipenghujung hari terakhir kegiatan OSPEK, tak sengaja aku kepikiran sesuatu. Kawan baruku, Nisa yang sedang diburu agenda membagi waktu bersama pacarnya sontak langsung berteriak. "Apalagi sihh?". Aku teringat jaket almamater warna telur bebek ukuran XL yang selalu kupaksakan agar fit in dibadanku ternyata ketinggalan. Nisa yang ketidak sabarannya melebihi Chetaah saat memburu mangsa bersikeras untuk meninggalkanku, dibawah bayang-bayang duka cita kehilangan jaket almet. "Sialan banget si Nisa, suruh nemenin ngambil jaket sebentar aja gak mau", Kataku menggerutu. Terpaksa aku ambil sendiri jaketku, jarak aula Fakultas Ekonomi tempat OSPEK dengan parkiran lumayan jauh. Seisi kampus sepi, maklum sehabis pulang OSPEK jam 16.00 aku sempatkan untuk numpang wifi kampus bersama Nisa sampai pukul 9 malam.Â
"Tak pernah terlintas dibenak untuk menggunakan dana bulanan dengan boros. Ada wifi gratis, sikaatt lurr!!"
Sampai aula, beberapa kakak tingkat (kating) yang tadi masih bertukar pikiran untuk sekedar evaluasi kegiatan OSPEK tahun ini sudah lenyap dari pengelihatanku. Dari jauh lampu-lampu sudah banyak yang dimatikan dan saat ini angin semilir menggetarkan bulu-bulu tipisku. Suasana sunyi dan kelam yang bersemayam di pojok-pojok gedung, ditambah dedaunan pohon kampus yang saling menyisir membuat mental sok beraniku terpaksa mengundurkan diri. Â Saat berjalan kembali ke parkiran karena di aula sepi, aku mendengarkan sesuatu dibalik kain putih sedang menangis.
Ya, sebenarnya aku tidak terlalu percaya dengan adanya sosok hantu, meski banyak kisah-kisah horor yang menyelimuti kampus ini. Tapi kali ini aku terpaksa lari terbirit-birit. Suhu dingin tak mampu menghentikan kucuran keringat dinginku, rasa lelahku mau tak mau harus kompromi dengan ketakutan untuk terus berlari kencang. Akhirnya aku mencapai parkiran Pak Man. Ya, parkiran teratas di fakultas ini. "Anjirr, parkiran ini gelap banget, sengaja ngirit nih pasti." Dengan napas terengah-engah aku mencoba menenangkan diri terlebih dahulu. Di sini aku juga berpikir, "lari bentar aja butuh asupan oksigen banyak, gimana ya kalau pohon dan algae udah gak ada lagi karena ulah manusia, heuheu". "Hahahaa" , dari bawah Nisa tertawa terbahak-bahak. Aku yang masih menenangkan diri dari rasa takut tiba-tiba menaikan tensi darahku lagi. "Oo jadi kamu yg tadi ngerjain aku, nyesel banget temenan sama lu!." Dengan santainya Nisa tak berhenti ketawa melihat ekspresi manyunku sambil berkata, "Ih dasar, kirain udah gak percaya hantu, ternyata lari juga hahahaa". "Bisa-bisanya tertawa diatas penderitaan orang lain, aku sebenarnya gak takut, hanya kaget aja", balasku.
Setelah Nisa puas mengejek dan rasa lelahku juga hilang, aku membuka pertanyaan basa-basi untuk sekedar mengobrol dengannya. " Eh bukannya kamu tadi buru-buru karena ada janjian ya? Kok kamu masih disini?" tanyaku dengan mimik sedikit kepo. "Hehh bambank, ternyata aku lupa kalau tadi nebeng kamu! Dasar gk bertanggung jawab." Eh ternyata dia lupa kalau tidak membawa motor sendiri, seketika aku langsung menyela gaya bicaranya yang sok asik itu, "hlo kok nyuruh aku tanggung jawab, salah sendiri cuma numpang nebeng, emang motor kamu udah ditarik leasing?"
Dari sesi cekcok ini aku tau ternyata pacar Nisa membatalkan pertemuannya dengan alasan molor. "Pacarku memang gitu, aku molor dikit dimarahin habis itu batal ketemuan. Terus dia suka ngatur-ngatur hidupku, kayak hidup ini miliknya dia aja. Toxic banget enggak sih hubungan kaya gitu, huh?" Aku pun hanya menjawab seadanya karena sudah capek.
Debat kusir kali ini membuat perut kami merindukan sesuap makan malam. Dengan bantuan Google, kehidupan awam kami di kota Solo selalu terbantu. Kami tidak kesulitan untuk mencari tempat makan yang murah dan masih buka. Sepanjang perjalanan melewati pohon Angsana milik universitas, aku dan Nisa berhemat kata-kata, mungkin karena baru kenal. Selama seminggu kenalan, aku melihat dia memiliki kepribadian yang menarik. Orang baru pasti melabelinya dengan julukan si ngeselin. Tapi dibalik itu semua, dia orangnya supel, terbuka, dan bebas.
Sampai Burjo Cihuy, aku menuangkan seluruh rasaku disini. Entah itu rasa kesal, lapar, mengantuk, dan deg-degan perihal peristiwa tadi. Tak lupa aku memesan Indomie telur dan Good Day rasa cappuccino. Seperti slogan kopi itu, hidupku hari ini memang banyak rasa, meski 90 sial melulu, huhh. "Ada apa, kamu masih jengkel sama aku ya? Maap deh", nisa dengan nada serius berusaha menenangkan hariku malam ini. "Ah enggak kok, santai aja kali, sanss," Aku berusaha meyakinkan Nisa bila aku tidak apa-apa.
Selama berada di burjo, kami sangat irit obrolan, hanya basa-basi yang cukup klise ditengah pelanggan lain yang asyik bersorak gembira.
Ahh.. Akhirnya pesanan kami datang juga, aku berharap Aa burjonan tidak hanya membawakan makanan dan minuman. Tetapi resep cara meracik obrolan awal yang menyenangkan dengan sedikit rempah-rempah topik untuk diskusi malam ini. Sembari meletakan piring di meja perjamuan kami, aku bertanya, "ada Djarum Super ketengan Aa?" Aa yang baru dua tahun eksodus ke Solo ini dengan sigap menjawab "ada dong, Surya juga ada."
Setelah merampungkan ritual makan dalam rangka melanjutkan hidup, aku langsung mengambil sebatang rokok itu. Nisa yang masih menyelesaikan makanannya tiba-tiba menyeletuk dengan halus. "Enak ya jadi cowok. Bebas melakukan apapun tanpa mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat. Udah gitu masih mendapatkan legitimasi dari masyarakat kalau melakukan hal-hal yang dinilai kurang baik, merokok misalnya." Setelah mengepulkan beberapa asap putih, aku yang masih bingung bertanya untuk melanjutkan obrolan. "Kamu kenapa sih? Ya kalau aku gak terlalu memusingkan hal tersebut. Tp masyarakat kita memang begitu sih, mungkin hanya untuk menjaga tatanan sosial aja.", "Tatanan apa...?" Obrolan ini masih berlanjut hingga larut malam. Malam ini aku belajar banyak dari Nisa. Hingga pada akhirnya dia curhat tentang perlakuan pacarnya ke dia. "Literasi tentang gender di Indonesia terbilang masih rendah, masak urusan pakaian aja masih diributin, dan dihubung-hubungkan sama tingkat pemerkosaan pula. Contohnya pacarku sendiri. Aku sebenarnya sedikit sebel, ya mungkin dia kayak begitu karena sayang dan ingin menjaga hubungan kita di tengah masyarakat yang masih menabukan segala hal yang tidak umum dan dinilai tidak pantas dilakukan kaum perempuan. Misal nih, aku sama dia dilarang ngerokok, padahal dia ngelakuin itu. Apa bedanya coba? Padahal setauku nih ya, rokok sebagian besar dihasilkan dari tangan para petani tembakau dan buruh pabrik yang kebanyakan perempuan. Disaat laki-laki dapat bebas merokok, aku malah pernah dikata-katain mirip lonthe oleh dia. Gimana gak nyesek coba, hubungannya apa. Sama-sama manusia kok masih membiasakan aturan yang hitam putih ini. Wanita bukan sub-ordinat dia, yang bebas diatur seenak udhel-nya sendiri."
"Wanita bukan sub-ordinat pria yang bebas untuk diperlakukan tidak adil. Selagi masih manusia, jangan batasi gerak-gerik mereka. Kata Rocky Gerung, dahulu perempuan memang the unspeakable, tapi kali ini menjadi the unstoppable."
Diskusi malam ini berlanjut serius, aku jadi menaruh perhatian lebih kepada Nisa. Sayangnya dia udah punya pacar, ah tapi tidak apa-apa lah orang baru aja kenal, jangan mikir macem-macem lah. Setelah berdialog yang melibatkab olah rasa dan pikiran ini, kami sepakat untuk mengakhiri makan malam ini. Dengan senang hati ku antarkan Nisa ke kosannya yang lumayan jauh dari peradaban manusia ini. Ah, ditengah hari-hari yang getir ini, aku mendapatkan wawasan dan candaan dari seorang perempuan hebat. Tapi aku tak mau berlarut-larut dalam arus bawah rasa cinta yang mulai mengalir ini. Aku akan bersikap biasa aja, seolah tiada rasa yang bertumbuh dihatiku.
Bersambung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H