Mohon tunggu...
kingkin kts
kingkin kts Mohon Tunggu... Akuntan - antropogenik

Seorang akuntan biasa yang tiap sore pulang ke Pamulang. Selain bergelut dengan transaksi, saya adalah penikmat seni, humaniora, dan pelahap Mie Ayam yang sedang merindukan kampung halaman Jogja Lantai Dua (Gunungkidul)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Hidup Memang Absurd, Jangan Cemas Berlebihan!

2 Februari 2020   11:58 Diperbarui: 2 Februari 2020   12:56 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Taman Desa Giring. Dokumen Pribadi

Masih termenung di bangku yang terletak di pelataran patung taman Desa Giring. Aku membeli segelas jeruk tawar anget kepada Mak Sugiman, owner sebuah angkringan yang bersebelahan dengan rimbunnya tanaman hias sekitar patung yang menjadi ikon desa ini, iya patung Ki Ageng Giring. Batinku saat ini berteriak kencang mencerca kehidupan, yang kurasa tak banyak berubah selama beberapa tahun konsisten melarung kepada tuhan agar cepat mendapatkan pekerjaan impian.

Aku sadar, ketika aku mengucapkan frasa "berteriak" seharusnya warga kampung yang sedang lengah duduk-duduk di bangku bakal panik dan kebingungan melihat lolongan bocah 22 tahun yang biasanya pendiam ini. Tetapi jujur, hatiku saat ini sedang bergejolak, sedang berteriak sekencang-kencangnya karena dirundung oleh beberapa story WA kawan yang gemar memamerkan kemesraannya bersama hasil jerih payahnya. Sebut saja HP baru, pacar baru, serunya liburan ke luar negeri, nonton tiap malam, dan banyak lah.

Ya walaupun masyarakat sekitar tidak mendengar amarahku yang sebenarnya hanya ku bathin ini, setidaknya perasaan hati yang kesal ini segera aku lampiaskan pada jeruk tawar yang sudah aku pegang ini. Dan ahhhh... jancok, panasnya suhu air membakar sisi atas lidahku. Seketika langsung aku tanggalkan segelas perasan jeruk dan air tanpa sedotan plastik tersebut dibawah bangku taman.

Status menganggur memang sudah menjadi semacam label untuk ku. Bahkan kawan-kawanku yang iseng selalu menyanyikan lagu Sarjana Muda miliknya Iwan Fals setiap bertemu denganku. Ya aku sadar suaranya memang pas-pasan, nadanya seperti preman yang berkedok pengamen di trotoar dekat kampus dimana aku menimba ilmu dulu. Walaupun jelek, suara temanku sangat mampu menyentuh hati terdalam. Bisa membuat frustasi bagi para pencari kerja di seluruh jagat raya planet ini. Huhh..

Aku akui sebenarnya baru sebentar aku menganggur. Baru dua bulan yang lalu aku mendapatkan pusaka berupa Surat Keterangan Lulus (SKL). Tetapi karena banyak mata kuliah yang tidak lulus selama menjalani campus lyfe, menjadi semacam ikhwal yang membuat diriku masih betah menjalani semester yang sudah sangat uzur ini. Adik-adik tingkat yang aku sayangi hingga mempunyai julukan unik bagi ku, "Ki Boni sang sesepuh kampus bengawan."

Teman-temanku sebaya, sudah banyak yang mendapat titah untuk mengemban tugas sebagai karyawan BUMN, Bank, Akuntan Publik Big Four , pertambangan, dll. Banyak juga yang mengembangkan bisnisnya masing-masing warisan usaha kerasnya selama menjadi mahasiswa.

Lama betul aku merenung, sampai-sampai jeruk tawar yang aku seruput menjadi sangat kecut karena dominasi rasa air panasnya sudah menyusut. Tiba-tiba datang Mas Bambang, pria 30 tahun yang mempunyai reputasi yang bagus sebagai pengusaha pemancingan lele didaerahku ini. Selain menjadi pebisnis sukses, lulusan S2 Peternakan Lele ini juga mengampu sebagai seorang dosen peternakan di salah satu kampus swasta di Yogyakarta.

"Piye bon?, kok tumben muka kamu absurd gitu, gak kaya biasanya haha-hihi,"ujar mas Bambang. "Ah enggak kok, masuk angin kemarin waktu angop (menguap) kelamaan, jadi anginnya masuk ke perut semua, hehee,"kataku sambil menyembunyikan muka. "Ah enggak mungkin, selama tujuh tahun pacaran sama lele, maksudku menyayangi ternak lele, kalau ada satu ekor lele yang berbeda dari klannya, pasti ada masalah"! bantah mas Bambang.

Sepertinya mas Bambang sangat mengetahui psikis setiap entitas yang hidup. Akupun sebenarnya gak terima, disamakan sama lele. Yah, untung dia pesohor di kampung ini, jadi mungkin pernyataannya ada benarnya juga. Tapi kok ekspresi kekesalanku pada hidup ketahuan ya, padahal aku sangat pandai menyembunyikan perasaan. Apalagi pas nembak salah satu gebetanku, aku sulap jawaban horror "aku tuh masih sayang sama pertemanan kita.." menjadi senyum tipis sambil bilang, "iya kok, gapapa, he hee," padahal aslinya sih hancur.

"udah cerita aja," bujuk mas Bambang sambil menyalakan rokok kretek filternya. Aku pun spontan ngomong, "Sebat dong mas, hehe lupa beli sendiri tadi, lagi stress pula", "ealah bocah tuek, yaudah ini ambil, tapi jaga baik-baik ya koreknya, maklum sering raib."

Sambil kebal-kebul santun dan santuy, akupun mengekspose segala derita hidupku, bahala yang menimpa hatiku, bahkan konflik kepentingan dengan seseorang yang sialnya ternyata adalah tetangga mas Bambang sendiri. Khususnya kesulitan ekonomi yang menimpaku juga tak luput dari topik pembicaraan.

"oalaah", tiba-tiba mas Bambang mengintrupsi. "oalah apanya? Baru setengah ngomong juga udah disela!" teriak diriku yang merasa tambah pusing ini. "sik tenang to, intinya masalahmu itu cuma insecure sama dirimu sendiri karena melihat kehidupan orang lain." Tanggapan dari mas Bambang ini sontak langsung membuat diriku bertanya-tanya, "apa iya?"

Mas Bambang langsung memberi penjelasan panjang lebar tentang masalah manusia yang sebenarnya sudah umum terjadi pada masa-masa quarter-life crisis yang melanda banyak sapiens muda. Dari penjelasan yang dilontarkannya, aku merasa mas Bambang banyak terpengaruh oleh pemikiran sang absurdis Albert Camus, sastrawan asal Aljazair yang tinggal di Prancis.

Walaupun mbah Camus sudah meninggal, dan karya-karyanya cenderung kuna, tapi dia hebat hloh. Dia membawa pembaharuan pada gaya penulisan novel Prancis yang dulunya didominasi cerita tentang kaum Borjuis menjadi berlatar kehidupan rakyat jelata pada saat itu. Walaupun termasuk karya lama, tapi pemikirannya masih relevan hingga sekarang.

"hidup itu cen absurd bin aneh binti random Bon, kita tidak bisa memaksakan apa yang kita ekspektasikan menjadi kenyataan atau menyamakan hidup kita dengan orang lain." tutur mas Bambang dengan nada lirih tapi semakin meninggi karena diselingi khidmadnya bersin-bersin. "Maksudnya gimana mas? Bukankah tugas manusia adalah yang mampu, ya paling tidak gak ketinggalan dengan pencapaian orang lain"? akupun bertanya lebih dalam.

Mas Bambang kemudian menjelaskan dengan gamblang dan runtun, aku nikmati segala petuah yang diberikan kepadaku. "Kenapa hidup absurd, dan kita dipaksa menikmatinya? Karena kita memiliki banyak populasi manusia. Kita tidak bisa mendikte ataupun mengatur semua pihak agar sesuai dengan keinginan kita. Terus, apa yang menjadi keinginan kita ya jangan dipaksa untuk selalu terwujud. Punya mimpi boleh, dan kita harus berusaha mengejarnya, tapi mbok ya sadar dan jangan ngoyo, santai aja."

"kok malah tekan (sampai) mimpi to mas? Haha," aku sedikit menyela dengan sedikit rasa takut pembahasan kali ini kebablasan. "ya kaya gak tau aja, aku kalau udah ngomong memang kemana-mana. Jodoh aja harus kita cari kemana-mana kok"! seru mas Bambang sambil sesekali mengingat perjuangannya mendapatkan istri dua tahun yang lalu.

"jadi gini ndes, manusia itu sebenarnya punya keinginan dan jalan hidupnya masing-masing. Tapi terkadang kita terlena dengan pencapaian hidup orang lain. Katakanlah si Niko, temanmu yang dulu terkenal suka mencuri korek itu sudah kerja di perusahaan gede. Maka ya wajar dia suka upload foto perihal pekerjaan dan kegiatan yang mungkin kamu sebut riya diakhir bulan. Atau Mita, yang sekarang udah kerja di sektor MIGAS ya wajar dia suka mengunggah skincare dan parfum mahal, hla wong gajinya juga gede."

"Nahh, sebenarnya kedua contoh diatas dapat dilihat dari dua persepsi yang berbeda. Mungkin dia lelah akan pekerjaannya, maupun merasa bangga dengan gajinya sehingga berusaha membeli sesuatu dan meng-upload langgsung ke medsos. Hal itu sah-sah saja, karena kebanyakan manusia mempunyai kecenderungan pengen diakui orang lain dan mendapat penghargaan atas pencapaian yang telah diperolehnya.

Tetapi disisi lain, kegiatan tersebut sarat akan rasa gelisah yang berlebih. Bisa jadi, mereka didera rasa FOMO, yaitu ketakutan ketinggalan hal-hal yang dilakukan orang lain. Mereka mungkin ketagihan melihat rekan sejawatnya yang lain setiap hari meng-upload kekayaanya di medsos, dan kawanmu itu tidak mau ketinggalan." Tambah mas bambang.

"Kamu tau enggak inti penjelasanku tadi?" imbuh mas Bambang, "emm iya sih, jadi sebenarnya kekhawatiran dan depresi kita terkadang terbentuk karena melihat media sosial orang lain, dimana orang lain itu juga khawatir dengan kehidupan orang lain, ya?"

"Yups bisa jadi. Dan orang-orang menganggap memamerkan sesuatu di medsos itu normal-normal aja. Makannya biar keliatan normal, mereka sampai merelakan hidup yang sudah dijalani demi mencoba apa yang dilakukan orang lain. Tatanan sosial lah yang membentuk kita seperti itu. Selalu tidak mau ketinggalan dengan pencapaian orang lain. Akhirnya ikut-ikutan, eh padahal dirinya sendiri juga pusing mau menunjukan apa lagi ya? Gitu."imbuh mas Bambang.

"Terus saran buat aku gimana mas?" Tanyaku sembari menjaga mata ini agar tidak kebablasan tidur. "Ya hidup sesuai realitas aja, jalani semampunya tanpa perlu khawatir dengan apa yang dilakukan orang lain. Hiduplah pada hari ini, tetaplah eksis dengan apa yang kamu lakukan pada hari ini, jangan berharap berlebihan, nanti kalau kecewa sakit hlo. Karena hidup ini memang tidak normal, alias absurd, kamu bisa saja berpegang teguh pada ekspektasimu tentang hidup enak orang lain, padahal kamu belum tentu bisa menggapainya dan kenikmatan mereka bisa saja berbeda dengan kenikmatan versi kamu."

"Sekali lagi, jangan memaksakan untuk hidup normal, jalani apa adanya sesuai realitas yang terjadi." Tutup mas Bambang disaat mak Sugiman, owner angkringan itu mengambili gelas-gelas kosong kami.

"belum mau pada pulang guys? Jangan lupa bayar hlo," celetuk mak sugiman sambil sedikit mengerutkan dahi. "Mak, punyaku dibayarin Boni" teriak mas Bambang. Dengan wajah sedikit ketus tapi iklhlas aku pun mengeluarkan uang di kantong untuk membayari pesanan mas Bambang "iya-iyaa".

Tak terasa lampu-lampu taman mulai padam, parkiran motor seketika sepi dan tinggal kucing-kucing liar yang memunguti sisa-sisa ceker dibawah gerobak angkringan itu. Sesi mendengarkan ceramah yang sangat melelahkan, tapi aku mendapatkan hal baru yang sangat menyentuhku malam ini. Mas Bambang memutuskan untuk pulang duluan, katanya istrinya suka mengunci pintu bila pulang sampai larut malam. Yaudah, dibalik temaram lampu-lampu yang masih tersisa didepan parkiran motor, aku juga memutuskan untuk pulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun