Menurut Descart, dunia berjalan menurut caranya sendiri, tidak seperti anggapan abad pertengahan yang menyatakan bahwa apapun tidak lepas dari tuhan. Walau begitu, ia tidak menyangkal eksistensi tuhan, menurut dia tuhan tidak ada berhubungan langsung dengan dunia. Seperti Deus Otiosus, "tuhan adalah si pembuat jam", artinya tuhan memang menciptakan kehidupan dan isinya, tapi setelah itu akan lepas tangan dan membiarkan dunia berjalan apa adanya.
Setelah teosentrisme mulai dilawan, banyak perlawanan-perlawanan yang menjadikan rasio adalah pusat segalanya (antroposentris), dan kebenaran terletak pada siapapun yang sadar sedang meragukan kebenaran itu.
- Cogito Ergo Sum
Karena kebenaran absolut kerajaan dan gereja sudah diruntuhkan, manusia mulai bertanya: dimana kebenaran absolut itu? Kebenaran absolut sulit ditemukan apabila kita tidak mencarinya dengan berpikir rasional. Tidak ada yang benar-benar benar, makannya kita harus meragukan apapun itu, kata Descart. Bahkan kita harus meragukan teman kita sendiri, jangan-jangan mereka hanya dimimpiku, meragukan isi bumi ini, jangan-jangan ini adalah alam alien dan segalanya dicurigai. Dari situ sebagian besar hidup descart adalah "Keraguan, Keraguan, Keraguan."
Dibalik semua keraguan diatas, apabila kita terus mencari pasti ada satu kebenaran yang tersisa, kebenaran yang nanti juga akan ditanyakan kebenaran sementaranya. Kegiatan menemukan suatu kebenaran pasti disebut metodologi. Berati memang tidak ada kebenaran absolut dong? Ada, ketika kita sudah sangat penasaran, cari kesana-kesini untuk menemukan kebenaran, akan tersisa kebenaran absolut. Kebenaran absolut itu adalah siapapun yang dengan sadar sedang meragukan sesuatu.
Cogito Ergo Sum, aku berpikir maka aku ada, bisik Descartes. Tapi dalam konteks filsafat Descartes, sebenarnya kata berpikir lebih diartikan sebagai kesadaran. Pikiran artinya adalah kemampuan entitas untuk mengolah rangsangan yang ia terima lewat alat indra kemudian menghasilkan tindakan. Sedangkan kesadaran adalah kemampuan berpikir yang lebih komperehensif, karena dapat memikirkan apa yang sedang dipikirkan. Sehingga Cogito Ergo Sum lebih tepat sebagai "Aku berpikir (dengan sadar) maka aku ada.
Ditilik dari pernyataan Descartes diatas, sudah dapat diterka ia ingin rasio sebagai pusat alam semesta, dan yang bisa berpikir rasional ya hanya manusia. Pernyataan ku berpikir maka aku ada" disatu sisi membuat manusia lebih bebas dalam menggunakan rasio/akal sehatnya, sehingga tak terbelenggu oleh dogma-dogma moralis, teosentrisme, dan lingkungan. Tapi disisi lain membuat kehidupan manusia sangat antroposentris (tergantung yg nangkep jg sih), karena mereka yakin yang sadar hanyalah manusia, dan yang memiliki eksistensi (ada) hanyalah manusia, sehingga entitas lain hanyalah sebagai figuran.
- Rasionalitas yang berlebihan
Ajaran Descartes pada masanya masih banyak ditentang oleh gereja. Ia pun membakar beberapa buku-bukunya agar tidak diancam dan dihukum mati seperti Galileo Galilei. Setelah kematiannya, dan dunia barat sudah cenderung lebih sekuler, karya-karya Descart sangat dihormati orang-orang dan menjadi landasan filsafat modern.
Aku berpikir maka aku ada sering ditelaah beberapa kalangan sebagai pandangan, penguasa bumi adalah mereka yang sadar oleh beberapa oknum. Antroposentrisme semakin membuat manusia menjadi pengendali alam semesta dengan berbekal kesadarannya, ditambah pernyataan beberapa agama yang menyebutkan bahwa manusia adalah pemimpin di muka bumi.
Dengan akal dan pengetahuannya, manusia seakan diijinkan menjarah kekayaan yang dikandung bumi, dan banyak kasus eksploitasi tanpa memperhatikan keberlanjutan lingkungan hidup. Ya intinya sebagai manusia, walaupun kita diberikan kebebasan berpikir seperti yang dicita-citakan zaman renaissance, kita tidak boleh lupa bahwa alam adalah ibu segala kehidupan. Kita harus menjaganya, bencana ekologis seperti kebakaran hutan yang masih melanda Palangkaraya dan Riau yang ditengarai bahkan dipastikan terjadi akibat ulah manusia harus dijadikan pelajaran, bahwa antroposentrisme dengan rasionalitas yang berlebihan itu tidak baik.
-Antropogenik 2019-
Referensi: