Dunia fashion tak henti-hentinya berubah, setiap hari ada saja model-model terbaru. Dari rancangan designer indie sampai catwalk tingkat dunia ikut mempercepat perubahan model. Di tingkat retail, setiap jam toko-toko pakaian baik offline maupun online selalu ramai dikunjungi . Momen-momen tertentu seperti hari raya dan tahun ajaran baru pun sering dibikin ajang pamer baju termutakhir oleh konsumen Indonesia.
Dikalangan beberapa anak muda, pakaian adalah sinyal untuk terlihat gaul dan sesuai jati diri mereka. Tak ayal musisi kesukaannya, brand kesukaannya, dan idola fanatiknya terkadang mampu menipu penggemarnya agar bisa tampil seperti mereka. Ya, minimal punya kaos simbolisnya, atau produk endorsement-nya. Walaupun kaos yang baru dibeli satu minggu yang lalu belum usang, banyak dari anak muda kekinian memeras duit demi bisa tampil modis, atau menjaga prestige ditengah dunia yang dinamis ini.
Demi memenuhi gaya hidup boros masyarakat diatas, perusahaan harus meningkatkan efisiensi dan laba hasil produksi perusahaan. Pengusaha harus cepat menangkap tren mode pakaian terbaru, pokoknya tidak boleh ketinggalan jaman. Untuk meningkatkan efisiensi produknya, tindakan seperti memakai bahan kimia berbahaya dan menghasilkan limbah beracun dihalalkan. Â Agar cepat menjangkau masyarakat pula, iklan dan marketing yang jitu dan tepat sasaran terus dilaksanakan. Itulah sekelumit kisah tentang fast fashion.
Arus informasi yang terburu-buru memaksa agensi iklan fashion banter dalam mempromosikan produknya. Semua promosi dan diskon dikerahkan agar masyarakat buru-buru untuk menentukan pilihan membeli. Dengan harga fashion yang semakin kompetitif, masyarakat semakin terbujuk untuk selalu berganti-ganti mode pakaian. Bahkan pakaian satu lemari penuh yang masih bagus, harus didesak baju baru lagi agar tak ketinggalan diskon.
Para produsen dan jaringan ritel seperti pedagang memang menggebu-gebu agar produk yang dijual cepat laku. Semakin cepat dibeli perputaran barangnya akan semakin cepat, sehingga mereka menerapkan berbagai upaya biar konsumen tak ragu-ragu untuk segera membeli. Kita lihat saja brand terbesar dunia Zara dan H&M yang menerapkan teknologi Just in Time (JIT). JIT memungkinkan pabrik hanya memproduksi barang sesuai pesanannya dibawah tren yang sedang berlangsung. Semakin tinggi permintaan dan kecepatan barang ditangan konsumen, akan semakin efektif dan efisien kinerja perusahaan tersebut, biaya-biaya yang dikeluarkan juga akan semakin minimum. Pada akhirnya, para produsen dapat membuat brand fashion mereka semakin murah.
Hazel Clark (2008) dalam artikel berjudul "Slow Fashion, an Oxymoron or a Promise for the Future?" terbitan jurnal Fashion Theory menyebutkan, secara konseptual pakaian lambat/ slow fashion adalah adopsi dari gaya hidup slow food yang dibahas dalam tiga garis besar refleksi: (1). Penilaian sumber daya lokal dan ekonomi terdistribusi; (2). Transparansi sistem produksi dengan sedikit perantara antara produsen dan konsumen; (3). Serta produk yang berkelanjutan dan memiliki usia pakai yang lama. Tapi di tulisan kali ini akan mempermasalahkan usia pakai dimana pakaian yang masih bagus dan masih nyaman dipakai rela ditinggalkan demi mode pakaian ter-update dan diskonan pakaian baru yang hampir habis waktunya.
Sojin Jung and Byoungho Jin (2014) menulis A theoretical investigation of slow fashion: sustainablefuture of the apparel industry melalui International Journal of Consumer Studies membisiki bahwa semakin lama usia pakai sebuah pakaian berarti dampak lingkungan yang dihasilkan akan semakin rendah. Hal itu sesuai misi lingkungan yang berkelanjutan. Masyarakat seharusnya pandai-pandai deh dalam membeli pakaian. Lebih baik membeli pakaian yang memiliki kualitas yang tinggi, awet dan memiliki desain yang timeless, alih-alih tergiur pakaian diskonan musiman tapi kualitasnya jelek dan tren-nya terus berubah-ubah.
Kini, ambivalensi terjadi ketika menyikapi diskon, give away, dan flash sale. Disisi lain, tentu kita diuntungkan dengan promo itu. Pumpung harga murah, barang diskon tentu membuat kantong kita gak tipis-tipis amat, dan kesempatan untuk memiliki baju trendi menjadi terbuka lebar.
Disisi lain, Pola hidup doyan belanja atau shopaholic, khususnya rajin belanja fashion memiliki dampak negatif hlo. Tidak hanya berdampak bagi keseimbangan ekosistem, tapi menimbulkan bahala pada manusia itu sendiri. Walaupun kita tau, konsumsi atau belanja yang tinggi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Berikut konsekuensi dari gaya hidup fast fashion:
- Konsumsi Energi Semakin Besar
Konsumsi energi sebagai rantai bisnis fashion dari hulu sampai hilir alias ditangan konsumsi tidak sedikit. Misalnya aja kaos, mulai dari memilih bahan, menjalankan mesin press, mesin print, dan mendesain pasti membutuhkan energi berupa bahan bakar fosil. BBM dan batubara digunakan untuk menghasilkan listrik untuk proses produksi dan menggerakan kendaraan distribusi. Ketika dikirim lewat ekspedisi, selain menambah beban emisi, penggunaan plastik pelindung juga bakal menambah jumlah sampah di muka bumi ini.
- Limbah yang dihasilkan bakal menggunung
Perusahaan tekstil adalah produk yang kurang ramah lingkungan dikarenakan penggunaan bahan kimia yang sangat banyak. Limbah anorganik dihasilkan dalam proses pewarnaan, pencelupan, pencucian, dan finishing tekstil. Â Contoh zat-zat kimia yang cukup ngeri adalah asam klorida (HCL), Natrium Hidroksida, dan sebagainya. Zat-zat itu sangat berbahaya apabila masuk kedalam tubuh, karena dapat menyebabkan kanker. Ditambah, karena semakin tingginya permintaan untuk pakaian yang murah, banyak pengusaha garmen "nakal" yang membuang limbahnya di sungai. Sungai beracun dapat mematikan biota didalamnya, pada akhirnya manusia yang menggantungkan asupan gizi dari sungai itu ikut terkena dampaknya.
- Manusia Cenderung Jadi Gila Belanja