Apa untungnya membaca buku jadul?
Eh, jangan salah banyak ilmu aku dapat dari membaca buku angkatan Balai Pustaka yang baru saja selesai aku baca.
Buku yang aku pilih berjudul Sengsara Membawa Nikmat, karya Tulis Sutan Sati. Buku berlatar budaya Minangkabau itu sempat aku kenal tokoh dan kisahnya waktu masih berseragam putih biru. Baru kenal tokoh, belum membaca bukunya secara langsung.
Berkisah tentang Midun, pemuda berbudi luhur dan mulia yang sangat disukai orang-orang di kampungnya. Teman Midun banyak karena keramahan dan baik budinya. Orang-orang tua juga menyayanginya, termasuk Haji Abbas dan Pendekar Sutan gurunya. Â Karena hal itu membuat Kacak, kemenakan Tuanku Laras (pangkat penguasa kampung di Sumbar) sangat membencinya. Kacak terus berusaha menjatuhkan Midun dengan berbagai cara licik, hingga berhasil menjebak pemuda baik hati itu. Midun dijatuhi hukuman penjara selama empat bulan untuk pembelaan diri dari suruhan Kacak. Â
Demi menjaga keluarganya Midun terpaksa menahan diri dan menerima keputusan tidak adil itu. Midun dibawa ke penjara kota Padang meninggalkan keluarganya di daerah Bukittinggi. Perjuangan baru dimulai di penjara yang berisi banyak penjahat dan sipir yang berlaku semena-mena. Kali ini Midun tidak diam saja. Midun menggunakan ilmu beladiri yang diperoleh dari kedua gurunya untuk mempertahankan diri. Ketika pengujian terhadap dirinya dilakukan Ganjil jawara di penjara itu, Midun menjatuhkan lawannya dengan mudah. Hal itu membuat penghuni penjara lainnya menjadi segan padanya.
Di penjara itu Midun bertemu dengan Pak Turigi, laki-laki tua berdarah Bugis yang harus menjalani hukuman seumur hidup. Â Midun belajar banyak hal dari Turigi. Menjelang pembebasannya, Midun diberi tugas bersih-bersih di luar penjara. Di situlah Midun bertemu dengan Halimah, gadis keturunan Jawa yang hidup di Padang hanya bersama ibunya yang sakit.
Setelah ibunya meninggal Halimah minta tolong Midun untuk diselamatkan dari tipu daya bapak tirinya. Midun dilema dan bingung bagaimana caranya menolong Halimah sementara dirinya sendiri seorang tahanan. Besok Midun akan bebas tapi akan dipulangkan ke Bukittinggi. Midun memohon kepada sipir agar diizinkan tidak pulang, dia enggan bertemu Kacak yang berkuasa dan ingin berusaha hidup di Padang.
Permohonan Midun dikabulkan, lalu dia menumpang di rumah Pak Karto. Midun menceritakan kisah tentang Halimah dan pak Karto mendukung rencana Midun. Pak Karto juga yang berhasil mencari surat pas yang membawa dua muda mudi itu bisa naik kapal pergi ke tanah Jawa.
Penderitaan Midun belum berakhir, keinginan berusaha mencari hidup dengan berdagang di Betawi malah ditipu orang yang dipercayanya. Midun marah dan menolak membayar hutang yang dinaikan 2x lipat itu, akibatnya Midun kembali masuk penjara. Selain menipu Midun, ternyata laki-laki itu menginginkan Halimah.
Di penjara, Midun ketemu dengan Sumarto (kalau gak salah ingat nama) yang mengajarinya baca tulis. Ilmu yang akan mengubah hidupnya kelak, yang membuatnya meraih kenikmatan hidup. Kenikmatan apa yang diperoleh Midun dengan kesabarannya?
Di dalam buku yang diterbitkan pertama kali tahun 1929 itu terdapat banyak ilmu. Biar pun agak bingung dengan susunan kalimatnya yang menggunakan bahasa Melayu dan agajk nyastra, aku mendapatkan pemahaman tentang kenapa si Kacak yang hanya kemenakan pejabat itu suka berlaku seenaknya. Ternyata adat di sana kemenakan itu pewaris mamaknya (paman). Warisan bapak nggak jatuh di tangan anak tapi kemenakan. Jujur agak kaget, tapi jadi tahu. Ketika ibu dan adik-adik Midun disuruh memindahkan rumah dari tanah bapak Midun yang baru meninggal. Sadis lho... Baru sehari langsung bahas pusaka (harta warisan).
Di dalam buku itu banyak sekali pantun dan peribahasa. Kayaknya peribahasa berasal dari sana kali ya
Ternyata kesewenang-wenangan keluarga pejabat sudah ada sejak dulu. Slogan hukum tajam ke bawah tumpul ke atas, ada benarnya juga. Tutup mata dari kebenaran demi keluarga itu nyata gaes
Satu lagi yang hampir terlupa, gangguan mental karena cinta, baik cinta dengan pujaan hati atau pun keluarga mampu membunuh seseorang sudah ada sejak dulu. Kerinduan dan tekanan membuat orang sakit tanpa bisa diobati. Itulah yang dialami ibu Halimah dan Bapak Midun. Mereka berdua pada akhirnya terjatuh tidak berdaya karena kehilangan yang tidak mampu diatasi. Jangan anggap remeh mental health ya...
Meski sulit menemukan orang seperti Midun yang tulus dan tidak pernah berusaha menjatuhkan orang yang mencuranginya, tetap percaya bahwa ketulusan itu penting. Tidak perlu membalas kejahatan dengan kejahatan yang sama. Pembalasan itu bukan hak kita, tetapi hak Tuhan sang sumber kuasa. Biarkan DIA yang melakukannya untuk kita.Â
Pelajaran terakhir yang aku dapat dari buku ini, hargai perbedaan! Pertolongan tidak selalu datang dari saudara sedaerah, bisa jadi orang beda budaya dan adab yang akan membantumu. Midun dihancurkan Kacak yang dari kecil tumbuh bersamanya, tapi ditolong pak Karto, Sumarto (orang Jawa), Turigi (orang Bugis) orang jauh yang tidak dikenalnya dan orang Belanda yang tahu berterima kasih karena anaknya ditolong Midun.
Jangan menganggap rendah orang lain, karena mungkin dialah yang akan menjadi penolongmu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H