Hari sudah gelap ketika Abimanyu terbangun dari tidurnya. Matanya masih lengket, semalaman dia tidak tidur barang satu menit pun. Mamanya mendadak masuk rumah sakit dan belum sadarkan diri, membuatnya tidak bisa memejamkan mata.Â
Meski Agni, kakak sekaligus saudara satu-satunya memaksanya untuk beristirahat. Abimanyu takut, saat dirinya tidur sesuatu terjadi dengan sang ibu. Sama seperti beberapa tahun lalu, Abimanyu kehilangan Mama dan Agni saat bangun pagi.
   "Mama, adik bisa bangun sendiri!" teriak Abimanyu kecil mencari perempuan yang melahirkannya itu di kamar, yang terletak di sebelah kamar tidurnya. Hari masih sangat pagi, Abimanyu yakin ibunya masih ada di dalam kamar. Ternyata sosok yang dicarinya tidak ada, hanya ada papa yang masih bergelung di bawah selimut.Â
Aroma yang tidak disukainya menguar di dalam kamar, alkohol. Abimanyu segera berlari keluar, mencari ke seluruh ruangan sambil terus memanggil sang Ibu. Tidak juga berhasil menemukan ibunya, Abimanyu mulai ketakutan, air mata membasahi pipinya.
   Di dapur, Abimanyu mendapati mbok Mirah menangis tersedu. Melihat momongannya datang, perempuan paruh baya itu segera menghapusnya dengan ujung kebayanya.
   "Mbok, Mama...?" Pertanyaan Abimanyu tidak pernah selesai, si mbok segera memeluknya penuh sayang. Abimanyu yang cerdas bisa merasakan kesedihan mbok Mirah, tetapi kenapa? Apakah itu berhubungan dengan mama? Mama ke mana? Tanya yang membuat perempuan berkebaya itu memeluknya semakin erat. Tidak ingin membuat pengasuhnya menangis lagi, Abimanyu memutuskan tidak bertanya lagi.
   Sejak kecil, Abimanyu diajarkan hidup mandiri dan peka terhadap sekitar. Sang ayah yang keras, dan terlalu sibuk dengan pekerjaannya, menginginkan anak laki-lakinya kelak akan melanjutkan usaha keluarga.Â
Sementara sang ibu, mencoba menyeimbangkan dengan mengajarinya kasih sayang, menekankan pentingnya memakai hati dalam menjalani hidup. Siapa sangka, mamanya akhirnya menyerah dengan ajaran yang diberikannya.
    Pagi itu menjadi trauma tersendiri buat Abimanyu. Kehilangan Mama dan saudara satu-satunya, tanpa kabar apa pun menjadi luka tersembunyi. Ketakutan akan kehilangan orang yang dicintai dan mencintainya, menjadikannya anak itu tumbuh lebih dewasa dari usianya. Beberapa kali tanpa sengaja, Abimanyu sering mendengar mbok Mirah berbicara sendiri sambil memasak. Kalimat itu berhasil menjadi mantra baginya.
    "Den Gading harus menjadi anak yang baik, harus menurut, tidak boleh nakal biar Mama dan mbak Agni pulang. Den Gading harus percaya Mama sayang dengan Aden."
   Abimanyu tidak sedikit pun meragukan kasih sayang mamanya. Dia percaya, Mama pergi karena tidak sanggup lagi dengan sikap ayahnya. Laki-laki itu berubah, beberapa waktu belakangan papa selalu pulang dalam keadaan mabuk.Â
Mulut jeleknya selalu mengeluarkan kata-kata kasar kepada Mama, esok harinya ada saja bagian wajah mama yang bengkak. Mungkin itu yang membuat Mama menyerah, memutuskan meninggalkannya sendirian di rumah mereka yang besar. Â
   Â
   Abimanyu menjadikan ucapan mbok Mirah sebagai penyemangat hidupnya. Jika dia menjadi anak yang baik, mama dan mbak Agni akan pulang. Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian, nyatanya mereka belum pulang juga. Abimanyu tidak menyerah, dia tetap berusaha menjadi anak baik.