Seperti biasa, jam istirahat kedua, trio aneh, julukan yang diberikan Petra untuk Andara, Danasti, dan Mega mengisi perut di kantin. Semangkok bakso, dan jus jeruk sudah tersedia di hadapan Andara, sementara Danasti dan Mega masih mencari menu yang ingin mereka makan. Andara belum berniat mencicipi menu kesukaannya itu, matanya menjelajah ruangan beraroma sedap yang penuh dengan remaja berseragam putih abu-abu. Nihil, sosok yang dicari sejak pagi tidak terlihat.
Abimanyu seperti hilang ditelan Bumi. Biasanya, meski hanya sekedar say hello, cowok itu akan muncul di hadapannya. Andara sempat berpapasan dengan Petra dan Boim, yang selalu bersama cowok itu. Pagi tadi, mereka juga bertiga tetapi yang satunya bukan Abimanyu. Andara tidak dikenal cowok itu. Petra melempar senyum ke arah Andara, sebelum berjalan meninggalkannya. Andara ingin menanyakan keberadaan Abimanyu, tetapi lidahnya terasa berat. Takut, kalau-kalau Abimanyu tidak ingin kebersamaan mereka diketahui sahabat-sahabatnya.
Dari tempatnya duduk, Andara melihat Petra masuk dengan seorang gadis berambut panjang, diikuti Boim juga dengan seorang gadis. Jantung gadis berambut ekor kuda itu berdetak lebih cepat. Dalam hati, Andara berharap Abimanyu akan muncul di belakang kedua pasangan itu. Dalam hitungan detik, Andara menahan napas membiarkan dadanya sesak, berharap mukjizat yang tidak kunjung terjadi. Andara menghela napas panjang, mengambil oksigen dengan rakus, untuk meredakan sesak yang diciptakannya sendiri.
Entah sejak kapan, keberadaan Abimanyu di sekitarnya menjadi sebuah kebiasaan, yang mulai memengaruhi hidupnya. Ketidakhadiran cowok yang pernah ditolaknya mentah-mentah itu, menghadirkan rasa yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Andara merasa kehilangan. Benar kata orang, kita sering tidak menghargai apa dan siapa yang kita miliki, orang-orang yang mencintai kita. Kita baru merasa kehilangan, ketika mereka pergi.
Abimanyu pergi dari depannya, dengan ekspresi sedih dan kuatir, tanpa sedikit pun empati darinya. Andara membiarkan pemuda itu pergi begitu saja, tidak ada perhatian yang pantas diperoleh Abimanyu. Andara merasa sangat bodoh, dan menyesali perbuatannya.
"The menu makes me bored! Isn't there anything better?" Mega datang dengan omelan yang berhasil membuyarkan lamunan Andara. Tanpa memedulikan ekspresi sahabatnya, Mega menghempaskan tubuhnya di bangku kosong di depan Andara. Wajah cantiknya kusut, bibir tipisnya cemberut. Tangannya hanya memegang gelas jus berwarna merah, mungkin stroberi atau jambu. Â
"Makanan segitu banyak tidak ada yang cocok?" tanya Andara, sambil mengaduk kuah baksonya yang sudah tidak mengepul lagi.
"Bosen gue!" keluhnya ketus. Andara terdiam, tidak berniat bertanya lagi.
Bukan sekali ini saja Mega mengeluhkan makanan yang disediakan kantin sekolah. Bakso, soto, siomai, nasi pecel, nasi campur, mi instan, gorengan, dan aneka minuman, tidak pernah cukup untuk gadis yang dibesarkan di kota Metropolitan.
Waktu pertama kali masuk kantin ini, Mega sudah berceloteh tentang kesenjangan kantin SMA Bakti Wacana dengan yang ada sekolahnya dulu. Tentu saja tidak sebanding, tempatnya juga beda, sekolah di ibukota dengan di kota kabupaten kecil kami. Bukankah seharusnya membandingkan itu harus apple to apple?Karena kalau dibandingkan dengan sekolah lain di kota mereka, kantin sekolah ini jauh lebih baik dari yang lain.
Waktu itu, Andara dan Danasti menerima keluhan sahabat barunya itu dengan sabar, mencoba memaklumi suara hati orang yang tidak terima dicabut dari akar hidupnya. Mega terpaksa memilih pindah ke kota kecil, tanpa mempersiapkan diri menerima perubahan gaya hidup. Purwodadi tidak mempunyai fasilitas seperti kota Jakarta sediakan. Kota Metropolitan memberikan banyak kenikmatan bagi penduduknya, mall tersebar di mana-mana, lengkap dengan puluhan restoran yang menawarkan menu menggiurkan, tempat permainan yang menyenangkan, juga bioskop XXI, atau CGV yang menjadi tempat muda mudi melepas lelah.
Kali ini Andara tidak ingin menanggapi, pikirannya sendiri penuh dengan tanda tanya hilangnya Abimanyu. Cowok itu berhasil menguras habis energinya, membuatnya kehilangan kebahagiaannya hari ini.
"Ra!" Panggilan Mega membuat Andara gelagapan. Dahi gadis metropolitan itu mengernyit.
"Lo sakit?" tanyanya kuatir. Dengan sigap, Mega pindah tempat duduk, lalu heboh menyentuh dahi Andara dengan punggung tangannya.
"Aku enggak apa-apa," sahut Andara lirih.
"Lalu kenapa bakso itu dibiarkan dingin? Lo, lagi ada masalah?" kejar Mega. Sejenak gadis itu mengabaikan kebosanan yang sempat mendera hatinya, lupakan tentang makanan. Bukankah hidup tidak hanya dari roti saja? Saat ini, Andara lebih membutuhkan perhatiannya.
Mega menatap Andara serius, dengan netranya dia mencoba memastikan kalau sahabatnya baik-baik saja. Andara balas menatapnya. Wajah yang semula datar, perlahan dihiasi senyuman. Mega tidak bodoh, dari ekspresi wajah Andara saja, dia bisa menebak sahabatnya sengaja menutupi sesuatu dengan senyum itu. Sejak mengenal gadis itu beberapa bulan lalu, Mega sangat tahu karakternya. Gadis berwajah oval itu, terlalu lugas, apa adanya, tidak munafik, dan jujur. Itu alasannya memutuskan menempel dengan Andara, dan Danasti yang ceplas-ceplos seperti dirinya.
"Hai, kok pada diam. Ada apa? Bakso enggak dimakan, Ra? Makanan Lo mana?" cerocos Danasti yang baru sampai dengan sepiring siomai dan jus jeruk. Gadis berambut panjang yang dibiarkan terurai itu duduk, tanpa mengalihkan pandangan dari kedua sahabatnya. Mega mengangkat bahu, lalu menghela napas panjang. Kening Danasti mengernyit, bingung dengan sikap mereka. Â Â Â
"Aku ke kelas dulu, ya!" Tiba-tiba Andara berdiri, melempar senyum kecil, mengambil gawai yang tergeletak di samping mangkok baksonya, lalu bergerak meninggalkan meja mereka.
"Tunggu, Ra!" Mega berteriak memanggil. Andara tidak bergeming, malah mempercepat langkahnya. Mega bergegas menyeruput minumannya, Danasti bengong tidak mengerti.
"Ada apa, sih?" tanyanya minta penjelasan.
"Gue juga enggak tahu. Buru, lama amat!" Seperti tersadar dari lamunan, refleks Danasti berdiri. Tanpa mengindahkan makanan yang diperolehnya dengan penuh perjuangan, Danasti mengejar Mega yang sudah lebih dulu menyusul Andara.
Di kelas, mereka tidak menemukan Andara. Bangkunya kosong tidak berpenghuni, hanya ada tas yang tergeletak di kursi. Tanpa berkoordinasi mereka berbalik, berlari ke arah toilet yang penuh dengan anak-anak mengantre. Tidak ada Andara di antara mereka, tiga pintu ruangan toilet tertutup rapat. Tentu saja, kalau kosong tidak mungkin yang antre diam saja. Â
"Ra, Lo di dalam?" Dengan brutal Mega mengetuk setiap pintu yang tertutup.
"Eh, apa-apaan sih!" Beberapa anak yang dilewati Mega memprotes sikap bar-barnya.
"Bukan!" jawab yang di dalam.
"Cari siapa, sih? Liar amat!" celetuk seseorang yang hampir membuat Mega emosi. Untung Danasti berhasil menangkap lengan gadis itu dan menariknya keluar. Mega sempat memberontak, tangan kuat Danasti tidak membiarkan sahabatnya itu melepaskan diri. Cukup Andara yang membuat masalah, yang memaksanya membiarkan cacing-cacing dalam perutnya berjoget kelaparan.
.
"Maaf, ya!" pamitnya sebelum menarik Mega menjauh.
"Dasar gila!"
"Sombong banget, kayak yang punya sekolah saja!" Suara-suara tidak bersahabat itu, masih Danasti dengar sebelum benar-benar menghilang.
Sementara Andara duduk gelisah di bangku kecil, yang ada di samping ruang laboratorium Fisika, tempat favoritnya kalau sedang ingin sendiri. Di tempat itu juga, tanpa sengaja dia bertemu Abimanyu yang berakhir cowok itu menyatakan perasaannya.
'Ada apa denganmu? Kenapa tidak ke sekolah, pesan-pesanku juga tidak kamu baca?' batinnya sambil membuka gawai di genggaman tangannya yang gemetar. Perlahan, Andara membaca lagi pesan yang sempat dikirim, sejak semalam. Semua hanya centang satu, belum terbaca. Rasa sesak tiba-tiba menyerang, dadanya terasa sakit. Dengan tangannya yang bebas Andara menekan dadanya, mencoba mengurangi rasa sakit yang datang tanpa diundang itu. Seperti yang dilakukan di kantin tadi, Andara mengambil napas panjang, mengisi rongga dadanya. Â
Andara melonjak kaget, saat gawainya bergetar. Sebuah pesan masuk, segera gadis itu membuka pesan itu berharap seseorang yang ditunggunya menyapanya. Andara mendesah, kekecewaan terlihat jelas di wajah lelahnya. Harapannya pupus.
       ***
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H