Peluit panjang menghentikan latihan tim basket SMA Bakti Wacana sore itu. Wajah-wajah lelah bersimbah peluh, segera berbaris di hadapan sang pelatih. Abimanyu bergerak pelan memasuki barisan, seolah enggan mengakhiri sesi latihan kali ini. Sayangnya, sang pelatih seperti tidak memahami keengganannya.
    "Gading, hari ini permainan kamu sangat jelek! Passing tidak akurat, shooting meleset, mendribble bola kayak anak sekolah dasar yang baru mulai main basket. Apa pun masalah kamu, seharusnya hal itu tidak terjadi. Atau kamu tidak berminat bergabung dalam tim? Ingat, pertandingan tinggal beberapa Minggu lagi. Jangan main-main!" Peringatan tegas pak Iyong membuat Abimanyu menunduk.
    Abimanyu mengakui dalam hati, hari ini permainannya sangat buruk. Suara-suara tentang Andara mengganggunya. Gadis itu tidak bersalah, dia yang jatuh cinta dengan gadis cuek itu. Andara tidak tahu apa-apa, tetapi dia yang disudutkan.
    "Ding, serius tanya! Beneran Kamu ditolak si Andara-Andara anak 10 IPA 1 itu?" tanya Boim sahabatnya sejak berseragam putih biru. Abimanyu sedikit kaget, tidak menyangka sahabatnya akan mempertanyakan hal itu, saat dia merasa tidak siap untuk menjawab.
   "Jadi gosip itu beneran? Anjir, Gading si most wanted boy ditolak?" Tawa Aswin meledak, mengejek kesialan yang dialami Abimanyu. Abimanyu tidak berminat merespons ejekan itu. Tidak penting menanggapi orang sakit hati seperti Aswin.
   Bukan rahasia lagi, cowok teman satu timnya itu selalu menganggap Abimanyu sebagai saingan berat untuk mendapatkan gadis yang diincarnya. Padahal, Abimanyu tidak pernah menganggap demikian. Selera cewek pilihan mereka berbeda, Abimanyu tidak pernah suka dengan cewek yang disukai Aswin. Salah satunya adalah Aurora, teman satu kelas sekaligus teman klub sains. Konon kata teman-temannya, Aurora bergabung ke klub supaya bisa dekat dengannya. Abimanyu tidak peduli alasan itu, Aurora berhak memutuskan pilihannya. Abimanyu tidak berhak melarang, apalagi Aurora memang jago matematika dan fisika. Saingan terberatnya dari kelas sepuluh. Â
   "Kok bisa, sih?" Petra bertanya dengan nada tidak percaya. Lagi-lagi Abimanyu hanya tersenyum kecil, sambil cepat mengganti baju seragamnya dengan kaos basketnya. Dia hanya ingin cepat keluar dari lingkaran teman satu timnya yang tiba-tiba menjadi super kepo.
   "Itu cewek enggak normal kali, Ding! Kamu enggak salah target, kan?" timpal Bram bernada mengejek.
   "Jangan sembarangan ngomong, Bram! Kamu tidak kenal siapa Andara, lebih baik diam saja!" semprotnya tidak terima. Muka Abimanyu merah padam menahan emosi. Menurutnya tidak adil menyerang Andara yang tidak bersalah. Penghinaan Aswin kepadanya tidak ditanggapi, tapi tidak untuk penghinaan kepada Andara.
   Suasana berubah tegang, Bram yang merasa diserang, memasang badan dengan gaya menantang. Senyum mengejek menghiasi wajah songongnya, tangannya siap mengirim pukulan. Dengan sabuk ungu karate di tangan, Abimanyu bukan musuh yang harus dikhawatirkan, begitu pikirnya. Bram tidak sadar, siapa yang dihadapi, dia tidak tahu kemungkinan buruk yang akan dialami jika terpaksa harus bertarung dengan Abimanyu yang terlihat kalem. Melihat situasi memanas, Boim yang mengenal Abimanyu dengan baik, sigap menengahi.
    "Sabar Bro, nggak perlu emosi! Jangan bikin masalah, sebentar lagi pak Iyong datang!"
   "Gak papalah, sebentar ini! Laki-laki kita, Coy!" sahut Bram percaya diri. Abimanyu menatap dingin cowok berambut keriting itu. Boim menepuk pundak Abimanyu, mencoba menyurutkan emosi sahabatnya. Petra mendekati Boim dan Abimanyu, lalu membisikan sesuatu. Keduanya mengangguk, bersamaan ketiga pemuda itu melangkah menjauh. Â
    "Banci! Pantas ditolak!" teriakan Bram meluruhkan kesabaran Abimanyu. Cowok itu berbalik, siap menghadapi Bram yang tertawa bahagia bersama teman-temannya, termasuk Aswin. Langkah Abimanyu tertahan, pak Iyong sang pelatih berjalan ke arah mereka.
Â
   "Bro, Jangan terpancing! Kayak bukan Gading saja, dia sengaja mencari gara-gara!" bisikan Petra menyadarkan Abimanyu.
    Benar kata Petra, dia tidak boleh terpancing omongan cowok sok hebat seperti Bram. Si biang kerok, yang merasa hebat dengan sabuk ungu karatenya. Abimanyu tersenyum kecil, menyadari kebodohan yang hampir dilakukannya. 'Kayak bukan Gading saja' kalimat sederhana itu menggelitik hatinya. Memangnya Gading seperti apa? Sok tahu Petra! Tidak banyak orang yang tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Orang hanya tahu apa yang terlihat oleh mata, bukan yang ada di dalam hati.
   Sayangnya, kesadaran Abimanyu tidak bertahan lama. Abimanyu tidak bisa fokus, pikiran melayang ke Andara yang harus bergumul dengan perundungan yang dilakukan beberapa teman di media sosial gadis itu. Abimanyu tahu, gadis manis yang membuatnya jatuh cinta itu tidak menanggapi serangan teman-temannya. Andara juga terkesan membiarkan perundungnya bahagia dengan membiarkan tulisan-tulisan tidak mendasar itu. Andara tidak menghapus apa pun yang ada di sana.
   Gadis itu memang spesial. Abimanyu salut cara Andara mengatasi masalahnya, gadis itu sama sekali tidak terlihat gusar. Kecerdasan emosinya terbaca jelas dari sikapnya menanggapi pesan-pesan yang sempat dibahas sahabatnya di perpustakaan. Senyum selalu mengembang di bibir tipisnya, bahkan ketika sahabatnya ngambek. Hanya hari itu saja, Abimanyu melihat Andara marah, waktu dia menyatakan perasaannya. Jam istirahat terakhir tadi, mereka sempat bertemu tidak jauh dari kelas Andara. Gadis itu membalas senyum yang dilemparkannya. Andara terlihat biasa, tidak ada kecanggungan seperti dalam cerita-cerita tentang cinta ditolak. Andara tidak berusaha menghindarinya, semua berjalan wajar.
    Abimanyu yang bersikap tidak wajar. Pikirannya dipenuhi tentang Andara, sampai sengaja lewat di depan kelas gadis itu untuk memastikan. Seharusnya Abimanyu bisa tenang, Andara baik-baik saja. Nyatanya dia menjadi aneh, omongan Bram membakar amarahnya. Arahan pelatih di awal sesi latihan sama sekali tidak masuk ke dalam otak cerdasnya, permainannya menjadi kacau, yang membuahkan teguran keras dari sang pelatih. Abimanyu tidak tersinggung, dia mengakui kesalahannya, tidak bermain dengan baik.
    Pelatih berusia dua puluh lima tahun itu memberikan sanksi untuk kesalahanya dengan membereskan bola-bola yang mereka pakai tadi. Abimanyu menerimanya tanpa protes. Bram tersenyum sinis, merasa menang. Begitu pak Iyong membubarkan latihan, Bram meninggalkan barisan dengan tertawa lebar. Beberapa teman yang dekat dengan cowok perlente itu, mengikuti dengan berbisik. Abimanyu tidak tertarik menanggapi tawa kemenangan mereka. Boim dan Petra merangkul Abimanyu.
Â
    "I am sorry, Ding. Because of my question, made you uncomfortable throughout today's practice," sesal Boim. Abimanyu tersenyum tipis.
    "It's okey, i am fine!" katanya meyakinkan kedua sahabatnya.
    "I believe, you can solve this!" Petra ikut menimpali dengan memberikan dukungan.
   "Sorry, aku tinggal dulu kejar coach dulu! Keburu pergi!" Abimanyu pamit kepada keduanya.
   "Oke, biar bola kami yang membereskan!"
   "Enggak usah, entar aku beresin. Itu tugasku! Please, biar aku saja!" pinta Abimanyu sebelum menghampiri pelatihnya yang mulai meninggalkan lapangan.
    "Coach!" panggilnya pelan. Pak Iyong menghentikan langkahnya, laki-laki muda itu berbalik. Senyum ramah mengembang menyambut anak asuhnya. Abimanyu mendekat, menyampaikan permintaan maaf dengan sopan. Pak Iyong mengangguk mengerti, menepuk pundak Abimanyu pelan, lalu berbalik melanjutkan langkahnya. Abimanyu melepas kepergian pelatihnya dengan membungkuk sopan.
    Sesaat kemudian, Boim dan Petra menghampirinya, membawa serta semua bola dan tas milik Abimanyu. Ketiganya berjalan meninggalkan lapangan yang sudah sepi.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H