Mohon tunggu...
Izzuddin Muhammad
Izzuddin Muhammad Mohon Tunggu... Freelancer - hamba Allah

penulis pemula

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Terpujilah Engkau Wahai para Perokok

27 Desember 2019   08:30 Diperbarui: 27 Desember 2019   08:32 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya punya banyak teman yang merokok. Rokok mereka pun beragam. Mulai dari rokok mainstream, rokok elektrik, hingga rokok tradisional (linting). Meskipun bukan perokok tapi saya merasa nyaman-nyaman saja berada di tongkrongan orang-orang yang merokok. Mungkin karena sudah terbiasa atau juga agar tetap bisa bercengkrama bersama mereka.

Bagi sebagian orang yang tidak merokok, terkadang mereka memandang rokok sebagai public enemy. Lalu muncullah kampanye anti rokok dengan berbagai propaganda yang bertujuan untuk meng-endrose sisi negatif rokok agar jumlah penghisapnya berkurang.\

Namun, mewujudkan tujuan tersebut jelas tak semudah ngupil hidung sendiri. Mereka yang sudah terbiasa merokok akan sangat sulit dilepaskan dari rokok. Kalau belum ngudud serasa ada yang kurang. Bahkan jika ritual itu tidak ditunaikan sehabis makan, perut pun rasanya masih lapar. Ajaib memang!

Sejujurnya, saya cukup kagum dengan orang-orang yang merokok. Bagi saya kekaguman ini bukanlah hal aneh. Seseorang biasanya akan kagum pada suatu hal yang dia sendiri belum miliki.

Kita kagum pada penyanyi yang bersuara merdu karena suara kita memang tidak semerdu dia. Anda kagum pada kecantikan Chelsea Islan, Ariel Tatum, hingga Dian Sastro karena Anda tak punya gebetan secantik mereka. Pun saya, kagum dengan perokok karena saya bukan orang yang mengkonsumsi rokok.

Sejauh pengamatan saya, banyak orang-orang hebat yang jadi perokok aktif. Mereka berkecimpung di berbagai bidang. Ada politisi, musisi, penulis, seniman, sastrawan, hingga pendakwah. Ir. Seokarno, misalnya.

Siapa yang tak mengakui kehebatan beliau sebagai salah satu tokoh paling sentral dalam proklamasi Indonesia? Di dunia maya tak sulit bagi kita menemukan potret Bung Karno yang begitu gagah dengan rokoknya.

Dari kalangan musisi tentu kita tak akan meragukan kualitas seorang Ariel Noah. Sosok penyanyi dan pencipta lagu yang telah melahirkan banyak karya fenomenal termasuk video pemersatu bangsa kala itu. Mantan kekasih Luna Maya ini pun merupakan seorang perokok aktif. Ia beberapa kali terjepret kamera sedang menghisap rokoknya dengan elegan.

Dari kalangan seniman, budayawan dan sastrawan rasanya saya tak perlu menjelaskan dengan rinci. Mungkin hanya segelintir di antara mereka yang tidak merokok. Memang tidak ada korelasi pasti antara rokok yang mereka hisap dan kualitas yang melekat pada diri mereka.

Artinya, bukan rokok yang membuat mereka jadi musisi handal, politis ulung, atau sastrawan produktif. Tapi tidak mustahil juga rokok menjadi salah satu faktor penunjang produktivitas yang mereka miliki. Setiap kali mereka menghisap rokok di situlah ide-ide kreatif bermunculan, bisa saja seperti itu, kan?

Ingin sekali rasanya saya mencoba belajar merokok. Bukan demi terlihat keren atau tidak dianggap cupu di tongkrongan. Tidak, bukan itu tujuan saya. Sebagai seorang penulis amatiran yang tulisannya ngga pernah nembus media besar, saya ingin mencoba apakah menulis dengan ditemani rokok akan membuat tulisan saya jadi lebih bagus dan layak terbit di media besar.

Selama ini saya sering menulis dengan hanya ditemani kopi tapi rasanya kopi saja kurang sakti. Apakah kehadiran rokok akan menyempurnakan tulisan saya sehingga bisa nembus media-media yang selama ini belum bisa saya taklukan?

Nampaknya jawabannya ada pada lirik lagu Fix You dari Coldplay "But if you never try you never know"

Saya memang ingin mencoba. Namun rasa ingin itu hanya terbatas pada keinginan semata tanpa keberanian mengeksekusi. Adalah pesan dari mama tercinta pada saya agar tidak merokok yang menjadi faktor utama keberanian itu belum juga terlaksana. Pesan itu beliau sampaikan sejak pertama kali saya nyantri sekitar 10 tahun lalu.

Selain membayangkan rokok sebagai salah satu faktor peningkat produktivitas, saya juga meyakini rokok bisa meningkatkan kualitas interaksi sosial. Lihatlah dua orang yang tak saling kenal dapat berinteraksi di sebuah kafe lantaran ingin meminjam korek untuk menyalakan rokoknya.

Tengok pula orang-orang di smoking room yang tidak saling mengenal namun bisa bercengkrama tanpa kesulitan. Dan yang paling sering bikin saya merasa ngga enak adalah ketika punya kenalan baru, lalu dia menyodorkan rokok dan koreknya, dengan berat hati saya harus mengangkat kedua tangan sebagai isyarat tolakan dan mengatakan "maaf, nggak merokok". Sumpah ngga enak banget rasanya!

Menjaga amanah mama bukan berarti saya adalah anak yang baik dan patuh. Hanya saja saya sadar saat ini saya masih minta duit ke beliau. Tidak etis rasanya membeli sesuatu yang beliau larang dari uang yang beliau berikan.

Mungkin kelak, ketika saya sudah bisa menghasilkan cuan sendiri saya akan bernegosiasi pada mama dan meminta izin untuk mencoba menghisap rokok. Kalau ditanya alasannya apa saya akan jawab "panutan-panutan saya rata-rata merokok, siapa tahu kelak bisa jadi panutan juga buat orang lain". Entah lah ini pikiran yang keliru atau ada benarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun