Mohon tunggu...
Izzuddin Muhammad
Izzuddin Muhammad Mohon Tunggu... Freelancer - hamba Allah

penulis pemula

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manusia Berkumpul Karena Sifatnya

6 April 2017   09:58 Diperbarui: 6 April 2017   17:30 975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Alhamdulillah cerpen kedua saya sudah tuntas. Judulnya pun sudah dapat. Entah bagus atau tidak itu urusan belakang. Insya Allah saya akan meminta beberapa orang untuk menilainya terlebih dahulu. Kalau pun nanti Kalian anggap jelek ya nggak apa-apa. Biar jadi masukan sekaligus tantangan buat saya agar bisa menulis karya dengan lebih baik lagi.

Sewaktu menulis cerpen tersebut saya sempat mengalami writer’s block.Bingung itu cerita mau diapain. Nggak tahu itu tokohnya enaknya dikasih nasib kayak gimana. Dan di saat itu seketika saya merasa jadi Tuhan (dalam cerita saya) yang lagi galau wkwkwk. Saya tahu benar bahwa dalam kondisi stagnan seperti itu, memaksakan diri untuk tetap menulis adalah pekerjaan mubazir. Jika hati tak bisa dipaksa mencintai, otak pun nggak senang apabila dipaksa memikirkan yang enggan dipikirkan. Saya shutdowngawai Lenovo hitam kesayangan saya dan membiarkan Steven Coconut bernyanyi dengan musik reggaenya.

Sembari bercumbu dengan musik-musik reggaesaya memandangi tumpukan buku di kamar kos satu per satu. Pandangan saya jatuh pada karya Puthut EA, “Kupu-Kupu Bersayap Gelap”. Itu adalah kumpulan cerpen karya Puthut. Saya meraihnya. Buku itu masih mulus meski tidak ada sampul. Saya membelinya di Togamas Kotabaru sewaktu ada diskon besar-besaran. Oh, diskon, kapan kau datang kembali menyambangi kami? Kami merindukanmu. Saya putuskan untuk membaca ulang cerpen-cerpen dalam buku tersebut.

Harus saya akui bahwa Puthut teramat piawai menuliskan cerita. Ia mensugesti pembaca seolah-olah menjadi bagian dari cerita tersebut, bahkan jadi tokoh utamanya. Saya berharap suatu saat nanti memiliki kemampuan seperti itu. Bila perlu melebihi beliau. Biar cerita yang saya buat bisa menghibur banyak orang, menginspirasi, dan dibeli banyak orang. Hehe. Biar saya bisa masukin nama kamu menjadi salah satu tokohnya. Ya, Kamu! Kamu yang lagi baca goresan ini. Doakan saya ya!

Sengaja tulisan ini saya awali dengan memuji Puthut EA karena apa yang sebentar lagi akan Kalian baca, saya dapatkan dari kutipan kumpulan cerpen beliau yang bertema (kalau nggak salah) benalu. Makna ekspilisit dan emplisit dalam cerita itu, menurut saya, dapat kita gunakan sebagai salah satu indikator mengidentifikasi sifat kita ataupun sifat orang lain. Meski saya akui, yang paling mengetahui tentang diri manusia adalah dirinya sendiri. Kita hanya bisa berasumsi dengan cara melihat gejala di permukaan. Yang harus kita pahami, asumsi itu bisa jadi benar, bisa juga sebaliknya. Itulah pentingnya tabayyun. Dan insya Allah Puthut EA, melalui perantara saya, sebentar lagi akan memaparkan tips tabayyunnya.

“Barang berkumpul karena jenisnya, manusia bertemu karena sifatnya”

Jika kita jalan-jalanke toko pakaian, misalnya, entah untuk belanja atau sekedar cuci mata, kita akan melihat banyak barang di pajang untuk menarik perhatian pengunjung. Baju akan di taruh di bagian baju-baju. Celana akan di taruh di barisan celana. Sepatu ya sama sepatu. Begitu seterusnya. Nggak mungkin ditumpuk, to?

Atau kemarin, waktu saya belanja ke Mirota (salah satu supermarket di Jogja). Waktu mencari parfum saya harus ke bagian rak parfum. Ketika hendak mencari mie saya harus membawa keranjang belanja ke bagian rak mie, dan saat ingin membeli sabun saya harus ke rak yang menyediakan sabun. Bahkan antara sabun cuci, sabun muka, dan sabun untuk badan raknya terpisah-pisah. Semuanya dipisahkan karena jenisnya. Sabun cuci ya sama sabun cuci, bertemulah Rinso, Daia, Attack wa akhawatuha.Sabun muka ya bareng sabun muka, ketemulah Garnier, Vaseline, Biore, wa akhawtuha.

Itu kalau barang, nah kalau manusia? Seperti kata mas Puthut, manusia bertemu, berkumpul, dan bergaul karena sifatnya. Homo sapiensyang suka nongkrong ya bertemu dengan yang suka nongkrong. Manusia yang hobi bermain musik pasti akan berkawan dengan mereka yang juga suka musik. Yang demenbaca buku akan nyaman dengan yang suka baca buku juga. Ringkasnya, yang suka hura-hura ya sama yang suka hura-hura, yang rajin bakalan sama yang rajin. Mereka yang punya sifat benalu akan dipertemukan dengan watak benalu, dan mereka yang bertanggung jawab akan bertemu dan bersahabat dengan yang bertanggung jawab jua.

Lah, terus, yang baik yang mana dong, Bang?

Di sini Abang nggak membahas baik atau buruk, Dek. Karena permasalahan itu sangat-sangat ghairu maudhu’i(subyektif). Lagian manusia kan punya prinsip hidup masing-masing. Yang suka jalan-jalan bisa jadi memandang hidup ini harus disyukuri dengan kebahagiaan yang terus terpelihara. Sedangkan yang serius berjuang memandang hidup ini sebagai lahan perjuangan sampai titik darah penghabisan. Selama mereka nyaman dengan kondisi tersebut kita tidak bisa menyalahkan. Biarkan saja! semua insan berhak menentukan pilihan dalam hidupnya.

Hanya satu yang akan menentukan apakah itu baik atau tidak, yaitu hati nurani. Setiap manusia pasti memilikinya dan hanya mereka yang bisa mendengar dan memahami hati nurani mereka sendiri. Ada kalanya hati nuranimu berbisik bahwa apa yang Kau lakukan ini baik atau buruk. Hanya saja, kalau hati kebanyakan karat lantaran sibuk mendengki pada hal-hal yang tidak produktif, suara hati nurani bisa jadi tak Kau dengarkan.

Terima kasih, mas Puthut! Njenenganmengingatkan saya pada sebuah ajaran kitab ta’limul muta’allimdi pesantren dulu.

عن المرء لاتسأل وأبصر قرينه # فإنّ القرين بالمقارن يقتدى

فإن كان ذا شرّ فجانبه سرعة # وإن كان ذاخير فقارنه تهتدي

Jika kau hendak tahu karakter seseorang jangan tanyakan padanya “hey, kamu tuh orangnya kayak gimana?”, tapi lihat siapa sahabatnya. Karena sesungguhnya sahabat itu pasti saling memengaruhi. Jika engkau lihat sahabatnya berkarakter buruk, segera menjauhlah. Namun jika kau melihat sahabatnya baik, bersahabatlah dengannya, niscaya engkau akan mendapat petunjuk.

Dulu, di pesantren, saya tidak berani membantah atau bertanya terkait doktrin ajaran ini. Tapi kali ini, izinkan saya mengakhiri tulisan ini dengan sebuah pertanyaan (yang bisa jadi akan saya jawab sendiri di tulisan selanjutnya, wkwk). Jika orang jahat kita jauhi dan orang baik kita dekati, apakah itu termasuk kebaikan yang egois? Yang hanya mementingkan kebaikan kita tapi tak acuh dengan kondisi orang lain? apakah ini termasuk doktrin yang berbau pragmatis? Hehe. Lalu, kalau orang jahat kita jauhi siapa yang bertugas meluruskannya agar kembali ke jalan yang benar?

Sabar dulu! Jangan langsung mengatakan syair ini tidak relevan, nanti Anda bisa dikatakan melakukan penistaan terhadap kitab tasawuf. Wkwk. Sya’ir ini dalam kitab ta’limul muta’alimterdapat pada bab fi ihtiyaril ilmi wal ustadzi wasyariki watsabati.Jadi konteksnya adalah memilih teman dalam belajar. Bukan teman dalam arti luas. Insya Allah di tulisan selanjutnya akan kita diskusikan.

IsyKarima!!! Hiduplah dengan Mulia!!

Jogja, 05 April 2017

07:27 WIB

Bang Izzu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun