Mohon tunggu...
Izzuddin Muhammad
Izzuddin Muhammad Mohon Tunggu... Freelancer - hamba Allah

penulis pemula

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Apakah Musik Itu Haram? Sebuah Pledoi Personil Tumband

28 Februari 2017   21:22 Diperbarui: 28 Februari 2017   21:34 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa minggu terakhir, setiap hari Sabtu sore, kadang-kadang malam, saya dan beberapa gelintir teman punya rutinitas baru; bermain musik di salah satu studio yang terletak di belakang Mirota Kampus (Salah satu supermarket paling nge-hits se-Jogja). Studionya cukup bagus. Dilengkapi AC, ruangan yang nyaman, parkir yang aman, dan alat musik yang lengkap. Tarifnya 25 ribu perjam. Kami biasa datang berlima dan bermain selama 2 jam. Kalau iuran ya sama-sama 10 ribu.

Berhubung sekarang teknologi kian canggih, latihan kami di studio pun bisa dinikmati oleh orang lain. Cukup follow IG kami dan pastikan anda memiliki kuota. Instagram kini memiliki fitur siaran langsung. Fitur itu yang kemarin saya manfaatkan untuk bertukar kabar kepada khalayak Instagram. Alhamdulillah beberapa orang sempat mampir untuk menyaksikannya. Baik yang saya kenal maupun tidak. intinya saya haturkan miliaran terima kasih untuk seluruh homo sapiens yang sempat singgah namun tak memberi upah. Ah, Kalian luar biasa.

Diantara kawan-kawan yang sempat mampir itu antara lain ; Dek Ewiq di Surabaya. Anaknya cantik, manis, dan insya Allah baik. Sayang saya belum sempat berjumpa dengannya semenjak kami resmi kenalan. Haha. Loh, kok bisa gitu, Bang?Kan sekarang zamannya dunia maya. FB, WA, Line, dan line-line.*eh, dan lain-lain. Sebenarnya kami sempat hampir bertemu di Bukit Merese, Lombok Tengah. Sayang ketika saya datang dia baru beranjak pulang. Ah, dek, mungkin kita akan berjumpa di tempat yang lebih romantis dari Bukit Merese. Bukit Uhud di Arab sana misalnya, hehe.

Sengaja saya sebut Dek Ewiq sebagai oknum pertama karena dia lah yang paling lama nonton siaran langsung saya. Entah karena dia benar-benar menikmati permainan musik kami, atau Dek Ewiq lagi gabut aja di kamar kos. Ah, pokoknya terima kasih untuk kuotamu, dek. Semoga murah jodoh J.

Oknum selanjutnya yang menyaksikan siaran langsung saya adalah none Makiyah. Ah, nama lu kepanjangan, gua singkat Kiyah aje, yak? Oke sebut saja Mawar Kiyah. Kiyah dan Dek Ewiq ini sama-sama dari Lombok Tengah. Bedanya Kiyah dari Pancor Dao dan Dek Ewiq dari Praya. Bedanya lag,i Dek Ewiq merantau ke Surabaya, nah si Kiyah ini merantau ke Jakarta. Bahasa sasaknya pun sudah terkontaminasi dengan bahasa “ibu kote”. Entah di tengah kesibukan atau kegabutannya, ia juga menyempatkan menonton siaran langsung kami meski tak lama. Thank you so much yak...

Cukup dua orang ini yang saya sebut. Yang lain lebih baik nggak usah, intinya mereka adalah temen-temen kuliah di Jogja. Tiap hari ketemu. Masak di kampus ketemu di blog pun saya tulis lagi. Mager cuy. Hehe.

Eh tidak disangka-sangka, diantara segelintir pengguna IG yang menonton siaran langsung kami itu, ada satu orang ukhtiyang tak perlu saya sebutkan nama ataupun inisialnya. Intinya beliau memberi wejangan kepada saya bahwa MUSIK ITU HARAM. Saya tersenyum membacanya. Lalu membalas “Terima kasih, ukhty” plus emotikon senyum lalu saya kirim ke beliau.

Apakah benar musik itu haram? Mari kita diskusikan sembari minum kopi!

Mungkin di antara teman-teman ada yang bertanya, “apa dalilnya?” sebelum mengarah ke situ saya ingin sampaikan dua hal; pertama, dalam permasalahan ini ulama berbeda pendapat. Ada yang menyatakan haram dan ada yang mengatakan halal. Keduanya memiliki dalil-dalil tersendiri. Kedua, semua perbedaan pendapat itu bersifat subjektif. Lahkok bisa, Bang?Karena yang berbeda itu penafsirannya, Dek. Buktinya ndak ada satupun dalil yang terang-terangan menyebut musik itu haram. Mencuatnya fatwa musik haram bersumber dari tafsir demi tafsir.

Yang namanya tafsir ndak mungkin lepas dari kepentingan dan kondisi sosial-geografis si penafsir dan lingkungan tempat ia hidup. Kayak kasus Al-Maidah : 51 lah kira-kira. Jadi, yang berbeda itu penafsirannya, bukan teks atau dalilnya. Oke? Kita bisa lanjut? Sekto! ngopi dulu!

Saya berikan satu contoh dalil yang kemudian dijadikan hujjah(alasan) mengharamkan atau menghalalkan musik.

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman : 6)1

Frase lahwal haditsdalam ayat tersebut ditafsirkan sebagai musik atau lagu oleh Mujahid, Ikrimah, termasuk Hasan al-Bashri. Akan tetapi Adh-Dahak menafsirkan frase lahwal hadits tersebut dengan sikap syirik, bukan nyanyian atau musik. Sedangkan Al-Hasan menafsirkannya sebagai syirik dan kufur.

Sudah kelihatan to perbedaan pendapat ini? Atau masih mumet? Kuy lah kita simak ilustrasi berikut. Saya terinspirasi dari Cak Nun.

Anda tahu “nasi”? oke. Apakah Anda pernah makan nasi? Sama kalau begitu. Nah, pertanyaan saya apakah nasi itu halal? Tunggu dulu! Tunggu!! Jangan tergesa ngejawabnya! Kalau Anda jawab halal ya alhamdulillah. Insya Allah nasi itu didapat dengan cara yang baik. Tapi kalau nasi itu adalah nasi curian bagaimana? Apakah nasi itu halal?

Segala sesuatu memiliki kondisi, posisi, konteks ruang dan waktu, serta esensi. Sebuah pisau tidak bisa kita katakan haram meski pun digunakan untuk (naudzubillahi min dzalik) membunuh orang lain, misalnya. Kenapa? Karena pisau itu Cuma alat. Yang haram itu ya pembunuhannya, yang dosa itu ya yang membunuh. Bukan pisau yang haram. Tidak juga pisau yang berdosa. Karena pisau hanyalah alat. Jadi bermanfaat atau berbahaya sebuah alat tergantung siapa yang memegangnya.

Musik pun begitu! Ia hanya alat. Benda mati. Nggak punya dosa apalagi pahala. Lah, apakah musik kemudian jadi bermanfaat atau membawa mudharat kan tergantung siapa yang memainkannya. Jangan salahkan musiknya! Salahkan orangnya! Mbok yajangan terlalu serius lah. Wong Tuhan saja menciptakan orang Madura ketika sedang tertawa kok.Sungguh saya ndak bisa bayangkan roma tanpa irama. *eh, dunia tanpa irama. Nggak ada nada, nggak ada kidung, nggak ada syair-syair romantis. Ndak ada musik regae, dangdut, nggak ada irama qasidah, shalawatan, dan lain-lain. Ah, betapa subjektifnya diri ini. Hehe maaf-maaf. Abaikan bagian yang ini.

Intinya, bagimu keyakinanmu, bagi kami keyakinan kami. Kami ndak akan menggunjing kalau tidak digunjing. Tak ada kebenaran mutlak, apalagi yang berangkat dari subjektifitas tafsir. Perbedaan yang ada harusnya menjadikanmu paham kenapa kami menghalalkan musik. Sebagaimana saya yang menghormati seorang kawan yang sangat bertalenta memainkan gitar, namun kini telah mengharamkan musik.

Jangan lupa ngopi!

IsyKarima!!! Hiduplah Dengan Mulia!!!

Jogja, 28 Februari 2017

20:18

Bang Izzu

Refrensi :

1http://sangpencerah.id/2015/02/halal-haram-musik-menurut-al-quran-dan.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun