Petikan kisah ini saya baca dalam buku berjudul “Tuhan Maha Asyik”. Ditulis oleh Sujiwo Tejo dan Dr. MN. Kamba. Saya tidak akan menjabarkan makna atau intisari dari kisah di atas. Semuanya ada di dalam buku beliau (silahkan dibaca sendiri). Inti besarnya kesombongan sangat tak pantas untuk dipelihara. Apalagi kesombongan dalam beragama.
Di sini saya tidak akan mengkritisi pendapat Sujiwo Tejo ataupun ceritanya. Karena cerita hanya ilustrasi belaka. Sebagai pengantar menuju poin utama dan garis besar. Tapi saya mewanti-wanti jika ilustrasi dalam cerita di atas terjadi dalam kehidupan nyata; seseorang enggan beribadah karena nggak mau sombong. Apakah hal tersebut adalah pilihan yang tepat? Mari kita diskusikan!
Sombong merupakan penyakit hati yang teramat berbahaya. Jika diungkapkan melalui kata-kata sangat berpotensi melukai mereka yang mendengarkan. Allah sangat membenci sifat ini. Maka sudah sangat jelas kita patut dan pantas menghindari perilaku-perilaku dan pemikiran-pemikiran yang menyombongkan diri atau orang lain.
Dalam konteks beragama pun demikian. Perlu di garis bawahi agama dan beragama itu berbeda. Agama ya agama itu sendiri dengan seluruh ajaran, aturan, dan karakteristiknya. Sedangkan beragama adalah cara seseorang atau sekelompok orang dalam memahami aturan dan ajaran agamanya termasuk mengimplementasikannya.
Sujiwo Tejo melalui ilustrasi di atas menyiratkan bahwa kesombongan karena beragama adalah fatal. Orang yang rajin sholat tak pantas sombong atas mereka yang tidak pernah sholat. Mereka yang berpuasa ramadhan tidak boleh sombong atas mereka yang tidak berpuasa. Karena kesombongan selalu mengindikasikan pelakunya memiliki rasa “lebih baik” dari yang lain.
Lantas, kembali kepada kekhawatiran awal saya, seandainya ilustrasi tersebut menjadi true story,apakah kita bisa membenarkan tindakan orang tersebut? Bismillah, begini ilustrasi yang akan saya berikan. Simak baik-baik memedi bawah ini.
Tahap selanjutnya, kira-kira berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun pasca membiasakan diri membaca, kesombongan itu mulai menipis. Pelan namun pasti kita tersadar bahwa sombong tak ada gunanya. Malah merugikan diri sendiri. Semakin intens membaca semakin berkurang kadar kesombongan itu.
Lantas tahap terakhir adalah ia merasa tidak ada apa-apanya. Ia merasa kecil di dalam pengetahuan yang begitu luas. Ternyata masih banyak yang belum diketahui dan dipahami. Kalau sudah begini apalagi yang hendak disombongkan?
Membaca sama artinya mencari ilmu. Maka saya rasa memedan ilustrasi yang saya berikan cukup nyambung,kok. Memetersebut konon terinspirasi dari amirul mukminin, Umar bin Khattab. Dalam sumber yang lain saya pun pernah membaca kisah tentang Buya Hamka yang semasa muda pernah mengatakan maulid itu bid’ah namun ketika sudah berusia senja beliau malah menghadiri undangan maulid. Ketika ditanya terkait hal tersebut beliau menjawab dengan bijaknya
“Dahulu saya belum banyak membaca, tapi sekarang saya sudah membacanya. Mereka yang tidak melakukan maulid sudah saya baca alasannya, dan Kalian yang melakukan prosesi maulid pun sudah saya baca alasannya”. Semakin banyak ilmu yang kita dapatkan, biiznillah,semakin tawaddu’ hati kita, insya Allah.