Mohon tunggu...
Izzuddin Muhammad
Izzuddin Muhammad Mohon Tunggu... Freelancer - hamba Allah

penulis pemula

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Setelah Mamiq Hasanain Memulai Pemanasan

20 Oktober 2016   15:01 Diperbarui: 20 Oktober 2016   15:07 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa waktu lalu saya membaca berita di sebuah portal lokal terkait keinginan dari Sekjen PBNW kubu Pancor, TGH. Hasanain Juwaini untuk maju dalam kontestasi pilgub NTB 2018. Saya percaya bahwa, mainstreamnya, tuan guru atau kiyai adalah sosok yang paham nilai-nilai agama. Dan agama tidak melarang pemeluknya berpolitik. Nabi saja selain berdakwah dalam waktu yang bersamaan pun menjadi pemimpin. Mungkin ini hal yang hendak ditiru oleh Mamiq Hasanain.

Di saat orang-orang asyik mencurahkan perhatian ke ibu kota sana, saya kok tertarik untuk melihat dinamika politik daerah sendiri. Sudah jadi rahasia umum kursi NTB 1 mulai dilirik banyak tokoh. Tahun 2013 lalu mereka mungkin berpikir realistis saja, TGB (Tuan Guru Bajang) sulit dikalahkan. Melawan TGB menuju NTB 1 hanya akan menghabis-habiskan duit saja. Kecuali jika pilgub dijadikan sekedar ajang “nampang” nama.

Sebut saja paslon yang diusung oleh salah satu partai Islam. Mereka memang gagal dalam pilgub namun berhasil menduduki kursi DPRD Provinsi setahun berikutnya. Saya mendengar banyak suara sumbang bahwa pilgub hanya dijadikan panggung promosi oleh mereka. Tujuan akhirnya ya pileg setahun kemudian. Benar atau tidak hanya Allah dan mereka yang tahu.

Mamiq Hasanain adalah seorang tuan guru (kiyai), pimpinan pesantren, mantan ketua KPU Lombok Barat, dan jabatan terbaru yang beliau emban ialah Sekjen PBNW kubu Pancor. Saya percaya bahwa tidak ada satu tuan guru pun yang popularitasnya di NTB melampaui TGB, jangankan melampaui, menyamai saja pun rasanya belum ada. Termasuk TGH. Hasanain. Di kalangan nahdliyin (orang-orang NW) pun demikian. TGH. Yusuf Makmun bisa jadi jauh lebih populer ketimbang mamiq Hasanain.

Maka tatkala beliau (mamiq Hasanain) terpilih sebagai sekjen PBNW bukan tidak mungkin disamping beliau memang memiliki kapasitas dan kapabilitas mengemban jabatan tersebut, itu juga bisa jadi merupakan ajang promosi tidak langsung. Jama’ah nahdliyin pun mulai mengenal dan tahu seperti apa sih wajah mamiq Hasanain. Apalagi dalam momentum Hultah NWDI ke-81 kemarin TGB sempat memperkenalkan mamiq Hasanain sebagai tuan guru yang sederhana namun sarat prestasi.

Saya pernah beberapa kali berjumpa dengan beliau. Tidak pernah berbicara, hanya sekedar salaman, ah tapi beliau pasti tidak ingat. Aku mah apah atuh, hehe. Apalagi jika solat Jum’at di masjid besar Narmada. Pernah pula saya mendengarkan ceramah beliau di Ponpes yang beliau pimpin. Kesan saya ; beliau memang cerdas. Mamiq Hasanain bukanlah tuan guru yang baca kitab Islam melulu, tapi juga buku-buku ilmiah lainnya. Beliau ndak hanya menguasai kaidah Ushul Fiqh, namun juga paham teori-teori ilmu sosial-humaniora.

Keesokan harinya, di portal harian lombokpost.net saya membaca headline yang kurang lebih bunyinya begini “TGB Santai Tanggapi Keinginan Hasanain”. Ya, iyalah, wong masih dua tahun lagi. Tidak mungkin TGB dari sekarang sudah menyatakan hendak mendukung siapa. 8 tahun berpolitik, plus 4 tahunan menjadi anggota DPR RI (2004-2008) saya percaya TGB sudah banyak belajar tentang politik. Beliau tahu kapan harus diam, kapan harus komentar, dan kapan harus mengeluarkan kartu as. Ini lah bagian menarik dan bikin penasarannya, kemanakah dukungan TGB akan berlabuh? hanya waktu yang mampu menjawab.

Jauh sebelum mamiq Hasanain menyatakan sikap beragam spekulasi telah berkembang. Mulai dari Ali BD yang siap hijrah dari Selong ke Mataram, Suhaili FT dan “datu” Mentaram, Ahyar Abduh, yang sama-sama berharap suara DPP Golkar untuk jadi cagub, hingga TGB yang dikabarkan mendorong Dr. Zul (kader PKS yang pernah nyagub di Banten beberapa tahun lalu) maju dalam pilgub 2 tahun mendatang. Saya menganggap semua spekulasi tersebut sebagai warming up,sekedar pemanasan. Apalagi politik adalah komoditas yang begitu absurd. Dinamikanya ndak bisa ditebak. Dan disitulah asyiknya.

Mamiq Hasanain sendiri menyatakan akan maju melalui jalur independen tapi tidak menutup kemungkinan beliau akan meniru Ahok, dari mewacanakan jalur independen tapi ujung-ujungnya pakai partai politik. Semua itu kembali ke dinamika politik yang tak bisa ditebak dan sarat akan kejutan.

Akan tetapi, sejauh ini, sebagai warga NTB yang sudah punya hak suara saya juga boleh to berspekulasi ? termasuk berspekulasi hendak memilih siapa. Seandainya nama-nama yang muncul adalah TGH. Hasanain, Dr. Zulkifliemansyah, Ali BD, Ahyar Abduh, Suhaili FT, dan nama terakhir kita misalkan saja Fahri Hamzah, saya akan memilih nama pertama. Ya, mamiq Hasanain. Lho, kenapa beliau?

Sosok Cerdas

Tidak hanya cerdas dalam aspek kognitif, tapi insya Allah beliau juga memiliki kecerdasan rekognitif. Prestasi dan penghargaan yang beliau dapatkan bisa jadi indikator kuat. Beliau juga kerap diliput TV karena dedikasi terhadap lingkungan. Inilah sedikit kemiripan antara TGB dengan mamiq Hasanain, sama-sama berprestasi. Baik di tingkat nasional maupun internasional. Tentu ada kepuasan psikologis dalam masyarakat tatkala memiliki pemimpin berprestasi.

Prestasi jika dipandang pragmatis mungkin dianggap sekedar simbolisasi saja. Tapi seyogyanya prestasi adalah tanda seseorang telah bekerja keras. Sama saja seperti mahasiswa, ada dogma yang cukup menggelitik di kalangan mahasiswa, belajar itu buat mendapatkan ilmu bukan nilai! Tapi nilai adalah tanda bahwa dirimu belajar. Logikanya kan sangat tidak mungkin mendapat nilai baik tapi tidak pernah belajar. Prestasi pun demikian. Mamiq Hasanain tidak mungkin mendapat prestasi dengan hanya berteori baik lisan maupun tulisan. TGB pun demikian. Ada kerja keras yang dilakukan, ada kesulitan yang ditaklukan, ada resiko yang harus dibayar.

Lagi pula, memiliki pemimpin berprestasi tentu akan berdampak baik bagi generasi muda. Sosok Ridwan Kamil di Bandung, Azwar Anas di Banyuwangi, hingga Risma di Surabaya adalah sederet pemimpin daerah berprestasi sekaligus menginspirasi generasi muda di daerahnya. NTB yang tengah berikhtiar meningkatkan daya saing perlu pemimpin seperti mereka. Dan TGB telah berhasil menginspirasi banyak anak muda NTB dengan sederet prestasi dan kinerjanya. Maka penerus TGB di kursi NTB 1 harus mampu–paling tidak–menyamai beliau.

Sosok Sederhana

Jika Anda bertemu dengan mamiq Hasanain mungkin Anda tidak akan menyangka beliau adalah seorang tuan guru. Ya, penampilannya memang sangat bersahaja. Beliau adalah tuan guru yang tidak canggung nyangkul di kebun, beliau pun paling senang memungut sampah yang berserakan. Beberapa waktu lalu beliau menginisiasi gerakan santri bersih-bersih pantai. Hasilnya ? dalam sekejap pantai-pantai jadi bersih, kinclong, dan sedap dipandang.

Bersih-bersih adalah hal sederhana. Dan dari kesederhanaan lah hal-hal besar dan strategis mulai dibangun. Tengoklah Risma, beliau walikota yang ndak segan turun ke got, menyingsingkan lengan baju lalu ikut mengatur taman. Meskipun sederhana tapi berdampak luas bagi masyarakat yang dipimpinnya. Kalau saya boleh berpendapat, inilah revolusi mental yang sesungguhnya. Mental membuang sampah sembarangan direvolusi menjadi mental membuang sampah pada tempatnya. Nah perlahan baru kita melangkah ke persoalan yang skalanya lebih besar. Pokoknya perubahan itu dimulai dari hal yang sederhana, dan mamiq Hasanain menyadari sekaligus mengamalkan hal tersebut.

Patut diberi kesempatan

Mungkin akan ada pihak yang menyepelekan kemampuan mamiq Hasanain dalam memimpin. Apalagi beliau ndak punya pengalaman membawahi banyak orang. Pimpinan pesantren? ah ustadnya paling ratusan dan santrinya ribuan. Ketua KPU? Halah anggotanya Cuma berapa gelintir sih? Sedangkan NTB ini ada 4 juta lebih manusia. Itupun data diambil tahun 2010. Sekarang? Ya pasti nambah lah. Apa mampu mamiq Hasanain memimpin kepala sebanyak itu?

Saya teringat statement cagub DKI, Agus Harimurti Yudhoyono dalam acara Mata Najwa beberapa waktu lalu. Semua orang punya titik nol. Hatta pemimpin yang dianggap berhasil bin sukses pun pasti punya titik awal ia mulai meniti jejak. Mari Flashback sejenak! 2008 lalu! Saat sosok TGB, ulama ahli tafsir, terpilih sebagai Gubernur banyak sekali suara sumbang nan meragukan kemampuan beliau. Itulah titik nol TGB, titik start beliau mulai memimpin. Dan bagaimana hasilnya sekarang? Jika ini ditanyakan ke orang NTB saya yakin 80% masyarakat mengaku puas dengan kinerja beliau. Bahkan rival politik beliau dulu kini berlomba mendekati dan mendukung beliau.

Lantas jika TGB dahulu diberi kesempatan untuk memimpin kenapa mamiq Hasanain tidak? Berangkat dari fakta historis ini kita harus bersikap adil, siapapun dia, tidak hanya mamiq Hasanain, berhak diberi kesempatan untuk berkhidmat kepada ummat.

Nama-nama yang lain bukannya tidak baik. Mereka berpengalaman dan tentunya punya i’tikad baik memajukan NTB. Hanya saja masing-masing orang berhak menentukan pilihannya siapa. Termasuk saya. Dan saat ini nama mamiq Hasanain berada di urutan terdepan bacagub yang hendak saya pilih.

Menarik kita simak dan nantikan dinamika politik di NTB ini. Saya percaya masyarakat NTB adalah pemilih cerdas, kritis, dan bijak. Ini tantangan yang harus dijawab dan disikapi oleh mereka yang ingin menduduki kursi NTB 1. Kita berharap semoga atmosfer politik di NTB selalu terbalut dalam bingkai kedamaian, kebersamaan, dan tentunya kejujuran. Ammiinn.

Wallahu a’lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun