Mohon tunggu...
Ngesti Setyo Moerni
Ngesti Setyo Moerni Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu Rumah Tangga

Berusaha mengurangi yang berakibat rusaknya lingkungan, dimulai dari diriku sendiri dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Belajar Mencintai Lingkungan dari Kampoeng Naga [IX]

27 Januari 2015   20:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:16 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Pastinya Cerita tentang Kampoeng Naga sudah pada mengenal bukan?


Sebuah kekerabatan Lingkungan yang turun temurun memiliki jejak nyata berbentuk wilayah dengan rumah berkelompok berupa wujud Kampoeng adat, sebuah Mesjid berada ditengah pemukiman sebuah rumah besar berupa bale pertemuan adat, semacam aula khusus keperluan pertemuan sesepuh adat dan masyarakatnya. Ada lahan luas guna pengembangan pertanian, persawahan, lahan untuk beternak, keberadaan lahan budidaya ikan, yang menjadi salah satu sumber pokok kehidupan terutama memenuhi bahan makanan. Dibawah Pimpinan seorang sesepuh yang turun temurun adalah pimpinan yang disegani dihormati, didengar dipatuhi pendapatnya, menuruti aturan yang diberlakukan. Menghormati Pimpinan inilah membuat kenyataan ini sungguh mengagumkan.

1422350071293009808
1422350071293009808


Melestarikan sebuah suku adat yang dihuni dari bermacam-macam sikap dan karakter dari pribadi-pribadi yang berbeda perangai adalah merupakan bentuk sikap persatuan kerukunan yang sudah mulai jarang dijumpai dijaman serba modern. Disini keturunan atau klan dari Kampung Naga ini masih mengagungkan hal tersebut, padahal ternyata dari warganya banyak yang belajar diluar dan mereka seperti layaknya manusia modern lainnya mengembangkan diri karena memang memiliki kemampuan kecerdasan inlektual tinggi dan berkarya diluar lingkup dari kelompok Kampung yang ada, misalnya menjadi pejabat ataupun apa saja profesi yang mereka mampu, namun mereka tetap kembali dan bangga mengakui sebagai keturunan klan dari kampoeng Naga. Begitu mereka berada diarea wilayah Kampung Naga tetap patuh tunduk dengan aturan yang ada. Bahkan membawa sikap baik dari ajaran yang ada atau perintah sesepuhnya di trapkan diluar sana. yang jelas mereka masih patuh dan tunduk kepada asal usulnya.

Bukan main, seharusnya kita semua ini tidak ada salahnya belajar menghormati pimpinan dari kehidupan filosofi dari Suku Kampung Naga ini. Misalkan saja,


  • Mengapa mereka tidak ada yang mbalelo? Protes, demo.
  • Mengapa mereka masih mau patuh dengan lahan-lahan sawah yang masih dipertahankan untuk sebuah sumber kehidupan.
  • Mengapa mereka masih patuh ketika berurusan dengan rumah tangga khusus dapur masih menggunakan pengapian dengan kayu bakar? Karena mereka menyikapinya dengan mengurangi pemborosan, banyak bahan bakar kayu disekitar kampung mereka mengapa mesti dibuang-buang yang akan menimbulkan tumpukan sampah.
  • Mengapa tidak memasukkan listrik kedalam perkampungan tersebut, masih menggunakan lampu bahan bakar minyak tanah, karena lebih irit.


14223478231113713440
14223478231113713440

Semuanya itu adalah sebagai upaya melestarikan alam, mencintai lingkungan jangan sampai lingkungan sekitar mereka menjadi rusak, jika lingkungan rusak imbasnya pasti juga kepada jiwa dan pikiran penghuni lingkungan itu sendiri, penyakit yang datang silih berganti, jika penyakit mengganggu tubuh berarti pikiran juga mulai terganggu dan apa akibatnya?

1422346376487258027
1422346376487258027
Alam yang indah di Kampung Naga Ijo royo-royo

Dijaman yang serba modern begini, sungguh kita semua harus banyak belajar melihat contoh apa yang dijalani oleh suku Kampung Naga. menaruh hormat kepada Masyarakat Kampung Naga. Seperti penulis yang tidak sempat tau tata krama atau peraturan bagaimana caranya masuk ke area Kampung Naga, karena tujuan perjalanan kami adalah Riser, mengutamakan njajal Mobil Datsun Go+Panca sambil melihat tempat wisata yang mengagumkan diseantero Nuswantara tercinta ini dengan waktu yang sangat singkat, istilahnya numpang lewat tidak khusus. Sedangkan sebenarnya tidak ada tujuan yang sangat khas ke lokasi ini, katakanlah hanya mampir saja dan ingin tahu barangkali ada yang bisa di ceritakan kepada pembaca tentang apa sih kampoeng naga itu. Maka dari itu penulis tidak akan membahas kehidupan tentang kampoeng Naga.

1422346604296436442
1422346604296436442


Hanya menyampaikan kekaguman penulis tentang Kecintaan masyarakat Kampoeng Naga dengan lingkungan yang dituangkan dari indahnya pelestarian di Kampoeng Naga, jalan setapak tertata rapi, sawah yang membentang hijau royo-royo ditingkah dengan tanaman pohon buah, sayur mayur dengan sungai besar melingkar seakan menyiapkan air yang melimpah bagi kebutuhan pengairan persawahan dan budidaya ikan, sungai yang bersih disamping perkampungannya benar-benar menyejukkan hati bagi yang melihatnya.

Siapa tau nanti suatu saat penulis bisa hadir lagi ke lokasi ini dengan ijin sesepuh Kampung Naga yang diketahui oleh Dinas Pariwisata setempat dan mengikuti aturan yang berlaku, karena memang semua ini sudah ada managemen-administrasi di bawah arahan dari para Pemandu yang tidak lain berasal dari masyarakat keturunan Kampoeng Naga sendiri . Jelas mereka paham secara mendetail jika kita ingin mengorek kedalaman tentang Kampoeng Naga, dengan penjelasan mana yang boleh dibuka dan mana yang tidak boleh di ketahui umum.

14223472411726113726
14223472411726113726


Menurut Bapak Tatang wakil Ketua Pemandu, tentang hasil sawah yang ada disini, padinya sering dijadikan penelitian dari masyarakat Manca Negara karena beras yang diolah Nasinya sangat bagus dan jika ditanak tidak akan basi selama tiga hari, nah itu cluplikan dari cerita unik yang ada di Kampoeng Naga, masih banyak lagi cerita unik yang belum tergali karena penulis bukan berkunjung secara legal.

“Bukan kami tidak mau di korek-korek” kata Bapak Tatang,

“Kebanyakan mereka dalam menyampaikan kepada masyarakat umum banyak yang keliru” semisal, penulis menyakan apa benar rumah yang ada disi hanya 40 rumah dan hanya berisi dari 40 keluarga,

“Itu tidak benar, rumah disini lebih dari 100 rumah tepatnya 113 rumah, masyarakat Kampoeng Naga lainnya berada diluar, wilayah Kampoeng Naga ini luas sekali diluar area yang ada. Hanya kami kan masyarakat biasa bukan tontonan dari setiap orang blusak-blusuk nonton kami tanpa ada aturan kulonuwun/permisi. Ketika kami sedang mengerjakan sesuatu seperti layaknya kampung diluar sana kemudian ditonton begitu saja, pastinya mengganggu privasi masyarakat kami, tetapi kalau semuanya diatur, kami bisa menyiapkan penerimaan tamu-tamu yang akan datang dengan memberikan penjelasan yang dibutuhkan agar tidak terjadi kesimpang siuran berita diluar” Demikian ujar Wakil ketua pemandu.

Ini lagi yang membuat kecewa Masyarakat Kampung Naga bahwa masyarakat disini katanya melakukan Sholat hanya satu kali sehari,

“Ya tentu saja kami melakukan Sholat hanya satu kali sehari, tidak boleh lebihkata pak Tatang

“Sholat wajib Shubuh satu kali, Sholat Dhuhur satu kali dan seterusnya. Apa ada yang melakukan Sholat Magrib sehari lima kali?" Nah persepsi inilah yang harus kami luruskan, dan benar-benar dimengerti oleh tamu-tamu yang datang, jangan menulis yang tidak-tidak, inilah gunanya bahwa tamu harus ijin pada para pemandu dan sesepuh disini, karena sangat paham akan keadaan”.

Demikian ungkab pak Tatang yang ramah, baik hati cerminan dari masyarakat Kampoeng Naga. Saya kagum atas penjelasan pak Tatang yang gamblang semoga Sesepuh, semua pemandu dan masyarakat Kampoeng Naga selalu diberi kesehatan, agar Kampoeng Naga selalu tetap lestari.

14223474391736685066
14223474391736685066


Nanti suatu saat ketika harus datang kesana dengan perencanaan yang matang dan tentunya harus “Kulonuwun“ karena sejatinya penulis bisa tahu tantang kampoeng adalah referensi dari pemilik “cafe-cafean “ di Gunung galunggung. Jadi maaf kepada sesepuh Kampoeng Naga bukan berarti kami tidak tau aturan tetapi karena sangat mengagumi dan sangat bangga bisa melihat keadaan lingkungan yang indah asri dari sebuah perkampungan adat yang masih bisa bertahan diabat yang sudah sangat modern begini.

Mari kita buka laporan perjalan jilid  [VIII]

-Ngesti Setyo Moerni

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun