Nindy, begitulah dulu ia kusapa. Gadis berhidung mancung dan berdarah Pakistan itu adalah sahabatku. Mengapa ia kusebut sahabat? Ya, kududukkan dia dalam posisi bergengsi sebagai sahabat karena ia tidak hanya sebagai teman berbagi cerita dan ilmu, tapi ia sevisi dan semisi dalam keyakinan sebagai muslimah. Dia berhijab sepertiku, tak ada celah yang membedakan keyakinanku dalam mengimani Allah SWT , para malaikat, kitab-kitab suci, para nabi dan rasul, hari kiamat, dan takdir . Aku dan dia pun memiliki impian yang sama, kelak memiliki sebuah rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, suami yang shaleh yang mempertaruhkan hidup untuk mendakwahkan Islam, meneruskan risalah kenabian sebagaimana yang dititahkan Allah SWT melalui baginda Nabi Muhammad SAW.
Visi dakwah kami adalah mengumandangkan Islam bil hal, sekemampuan yang kami miliki. Tentu saja dengan tetap menghormati agama lain. Bukan toleransi kacau yang fakir bahkan nihil dalam prinsip.
Setelah kami lulus kuliah, kami tak pernah lagi saling kontak. Setelah adanya kecanggihan tehnologi komunikasi, aku menemukannya dalam fb, ia tak lagi berhijab, bahkan foto-foto yang di aplodnya pun, membuatku nyaris pingsan. Baju-baju ketat dan minim bahan. Astaghfirullah.
"Nindy, benarkah kamu Nindy?' aku menyapa di wallnya setelah aku add dia.
"Benar, Cinta, " begitu jawabnya menyapaku dengan sebutan Cinta seperti dulu. Ia tetap ramah padaku.
Aku cukupkan sampai di situ. Aku berburu informasi tentangnya. Dari berbagai teman, terutama yang sekota dengannya. Aku menjerit histeris. Aku mohon ampun pada Allah SWT. Aku terlambat berjumpa dengannya. Mestinya aku tetap menjaga komunikasi dengannya, sehingga bisa mendengarkan jeritan hatinya. Ia telah bercerai dari suami yang dulu, dan dinikahi oleh seorang kristiani. Memang kenapa, Kinanti? Kenapa kamu tidak terima?
Aku mencari berita tentang sebab pindahnya Nindi menjadi seorang kresten. Semua bungkam, tak ada yang tahu. Mengapa Nin? Apakah karena kecewa dengan suami? Atau karena kau ingin bebas mengenakan baju-baju erotis yang memperlihatkan kecantikanmu? Bukankah dalam kresten juga melarang buka-bukaan seperti itu?
Sampai sekarang aku tak pernah tahu, karena Nindi pun memilih bisu. Pada akhirnya, aku mengambil kesimpulan bahwa aku harus meyakini dan merefresh kembali tentang keimananku pada takdir Allah, baik atau buruk.
***
Lain lagi dengan sahabatku yang dahulunya Hindu yang taat. Ni Ketut Aryani, seorang sarjana farmasi, memilih menjadi muslimah sekitar lima tahun yang lalu. Juga Ema, seorang bidan yang dulunya Katholik. Mengikrarkan syahadat sekitar lima tahun yang lalu. Mereka memeluk Islam sebelum menikah. Dengan kesadaran sendiri tanpa alasan pernikahan atau cinta. Mereka merasakan apa yang kurasakan tentang Islam, tentang cubaan, tentang kehidupan yang kelak ada kepulangan.
Aku yang muslimah sejak lahir, mempunyai cobaan dan ujian berat yang nyaris sama dengan keduanya yang muallaf itu. Kami diuji dengan orang yang seharusnya menjadi imam bagi kami, menunutun kami ke syurgaNya, meneladani, dan seterusnya, seharusnya!
Alhamdulillah, kami masih ditakdirkan sama, tetap meneguhi keyakinan kami.
Ya Allah, aku meyakiniMu bukan alasan manusia, tapi karena Kau memang Tuhan semesta Alam. Dan hanya Engkau yang memiliki hak sebgai sesembahan.
Ya Allah, jauhkanlah kami dari takdir yang buruk. karena Engkaulah yang menetapkan bukan yang ditetapkan.
Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H