Mohon tunggu...
Kinan Anggi
Kinan Anggi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Muhammadiyah Malang

Saat ini sedang menempuh pendidikan S2 Magister Psikologi Profesi di Universitas Muhammadiyah Malang. Mental Health Enthusiast.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Proses Berduka Setelah Kematian Akibat Bunuh Diri

22 Desember 2022   21:11 Diperbarui: 22 Desember 2022   21:21 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pengalaman kehilangan orang yang dicintai dalam ilmu psikologi dijelaskan melalui konsep grief (reaksi duka) atau bereavement (kedukaan). Reaksi duka adalah respons psikologis yang kompleks terhadap kehilangan yang melibatkan berbagai perasaan, pikiran, dan perilaku yang berkaitan dengan peristiwa kehilangan tersebut. 

Proses duka yang umum kita ketahui adalah 5 stage of grief, atau 5 fase berduka yang ditulis oleh  Dr. Elisabeth Kubler-Ross dalam bukunya yang berjudul On The Death and Dying (1969), yaitu Denial-Anger-Bargaining-Depression-Acceptance.

Denial

Pada fase ini terjadi penyangkalan atau penolakan, dimana sesseorang menyangkal hal buruk yang telah terjadi. Pada fase ini seseorang akan berpura-pura tidak terjadi apapun, sehingga ia akan menolak kesedihan yang hadir.

Anger

Setelah menolak kesedihan, seseorang akan melampiaskan kesedihannya dalam kemarahan. Pada fase ini ia akan cenderung menyalahkan orang lain atau apapun yang bisa ia salahkan.

Bargaining
Pada fase ini, seseorang yang berduka akan melalukan penawaran terhadap kesedihan yang dialaminya. Ia akan berandai-andai kemungkinan yang bisa dilakukan untuk mencegah hal buruk tersebut terjadi, atau hal apa saja yang akan ia lakukan jika saja hal buruk tersebut tidak terjadi.

Depression

Seseorang yang berduka akan Kembali pada realita yang sesungguhnya, menyadari kesedihan dan hal buruk yang telah terjadi. Ia akan masuk ke dalam jurang kesedihan yang dalam.

 

Acceptance

Pada fase ini seseorang yang berduka akan mulai bisa menerima kenyataan bahwa yang hilang memang tidak akan bisa kembali, bahwa ia harus tetap melanjutkan hidupnya terlepas dari musibah yang sudah terjadi.

 

Tentunya ini adalah pengalaman berduka yang umum terjadi, namun bagaimana jika duka ini diakibatkan oleh bunuh diri? Bagaimana seseorang melewati fase berduka setelah salah satu anggota keluarganya memiliih untuk melakukan bunuh diri?

Proses melewati masa berkabung memang sulit. Akan tetapi kehilangan karena tindakan bunuh diri membuat proses melewati masa berkabung lebih rumit.


Seorang yang ditinggalkan karena bunuh diri (suicide survivor) dapat merasakan penolakan dan pengabaian oleh pelaku bunuh diri karena mereka merasa pelaku bunuh diri lebih memilih untuk menyerah, mengakhiri hidupnya dan meninggalkan orang-orang yang mencintainya. Mereka juga akan merasa marah, dimana rasa marah tersebut tertuju pada pelaku bunuh diri, pada diri sendiri, pada kerabat lain, pada Tuhan, atau pada hidup secara general. 

Jika pada kematian bukan karena bunuh diri, seorang suicide survivor bisa menyalurkan kemarahannya kepada orang lain---pada kasus pembunuhan, maka yang ditinggalkan dapat melekatkan kemarahannya pada pelaku---namun pada kasus bunuh diri, yang ditinggalkan akan kesulitan untuk meletakkan kemarahannya pada siapa, pada pelaku bunuh diri atau pada dirinya sendiri, pada Tuhan, atau pada takdir.

Selain kemarahan, kematian akibat bunuh diri kerap kali juga diikuti oleh rasa bersalah, dimana hal-hal tersebut tidak ditemukan pada kematian lain. Sebagian besar suicide survivor seringkali berlebihan dalam menilai perannya yang dianggap berkontribusi terhadap perilaku bunuh diri yang terjadi, dan menganggap dirinya tidak mampu mencegah perilaku bunuh diri tersebut terjadi.

Perasaan bersalah ini selalu diikuti oleh pertanyaan "Bagaimana jika saja",  seorang suicide survivor akan terus menerus berada dalam fase bargaining yang panjang, dimana ia berharap bisa melihat tanda-tanda sebelum pelaku memutuskan untuk bunuh diri, sehingga ia dapat mencegahnya agar tidak terjadi. Tidak jarang hal ini berlanjut hingga penghukuman terhadap diri sendiri karena merasa telah gagal mencegah hal buruk tersebut terjadi.

Shepherd dan Barraclough  dalam penelitiannya menemukan bahwa anak yang kehilangan orangtua akibat bunuh diri menujukkan kecemasan, agresivitas dan perilaku menarik diri sesaat setelah peristiwa bunuh diri terjadi. Hal yang sama diungkapkan oleh Jordan (2008) yang menyatakan bahwa suicide survivor kerap menghindari kontak dengan orang lain setelah peristiwa bunuh diri terjadi.

Belum lagi stigma yang muncul dan semakin membebani, menyebabkan rasa malu dan pengucilan. Perilaku bunuh diri dapat menyebabkan pengucilan pada keluarga atau orang-orang terdekat dari lingkungan dan bahkan dari keluarga yang lain. Akibat dari stigma yang dilekatkan seperti sakit jiwa atau pun pendosa.

Beberapa peneliti dalam penelitiannya menemukan kenyataan bahwa anak yang kehilangan orangtuanya akibat bunuh diri akan mempunyai risiko  perilaku bunuh diri dan perkembangan gangguan bipolar disorder yang lebih tinggi. Salah satu peneliti Harris, Brown, dan Bifulco menyatakan bahwa disfungsi dalam keluarga setelah kematian orangtua akibat bunuh diri dapat menjadi faktor penyebab berkembangnya gangguan psikologis seperti depresi.

Proses berduka yang Panjang dan rumit, lingkungan yang minim empati menyebabkan duka karena bunuh diri ini menjadi perjalanan yang bukan hanya sulit namun juga gelap dan seperti tanpa titik terang. Namun seperti janji Tuhan bahwa kesulitan selalu dibersamai kemudahan, dan bahwa ujian tidak lebih dari batas kemampuan, semoga kita selalu diberi kekuatan untuk bertahan. Menunggu tangan Tuhan membawa kita keluar dari sudut yang gelap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun