Mohon tunggu...
Kimy
Kimy Mohon Tunggu... Lainnya - Travellover

Seorang pecinta traveling yang sedang belajar menjalani gaya hidup frugal living. My blog : Jalan-jalan Kimy

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Ngetrip ke Malaysia (Day 2): Menjelajah Kota Tua Melaka yang Serba Merah

1 Desember 2022   11:46 Diperbarui: 1 Desember 2022   12:05 1589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah sebelumnya aku numpang bermalam di bandara KLIA 2, pagi ini melanjutkan trip hari kedua dengan rencana menjelajah Kota Tua paling bersejarahnya Malaysia yang terkenal dengan gedung merah peninggalan Portugis, Melaka.

Jam setengah 6 kami sudah rapi jali wangi dan siap berpetualang. Nunggu bis Starmart Express tujuan Malaka di platform A2 sesuai yang tertulis di tiket. Kalau bingung, tanya aja sama petugas terminalnya, biasanya orang India gitu. Atau tanya-tanya pada sesama turis yang punya tiket serupa (dan usahakan orangnya yang cakep), siapa tahu bisa sekalian kenalan, ngobrol nyambung, trus jodoh deh... ihiiiiirrr... haagg deziiigg...

Penampakan bis Starmart Express ini besar mirip bis Damri, warna dominan merah. Jendelanya lebar-lebar, AC nya dingin, jarak antar jok depan dan belakangnya lega banget, jadi nggak bakalan mentok dengkul. Formasi bangku 2-1, ada penyangga kaki, jok empuk dan nyaman, dan sandaran punggungnya bisa dimundurin plus bisa mijat-mijat seperti kursi pijat di mall-mall gitu. Huiihh.. eksclusive banget deh pokoknya.

Estimasi perjalanan KLIA2 -- Malaka 2 jam, melewati jalan tol antar kota yang kiri kanannya berjejer perkebunan kelapa sawit. Karena jam setengah 7 pagi itu langit masih gelap, ditambah sejuknya AC, dan nyamannya pijatan di sandaran kursi, pelan tapi pasti aku pun terlelap tidur. Please pardon me... zzz... zzz...

Jam 8.30 pagi bis memasuki terminal Sentral Malaka. Gedung terminal ini nggak begitu besar dan ada 2 sisi, yaitu sisi bis antar kota dan sisi bis domestik. Sisi terminal bis antar kota lebih rame karena banyak aktivitas di loket agen tiket bis. Dan sisi terminal bis domestik terbilang lengang, karena biasanya para turis lebih senang menunggu bis di teras terminal atau langsung naik ke bis.

Untuk di kota Malaka ini bis domestik yang paling populer di kalangan para turis adalah bis Panorama Melaka nomor 17 rute Ujong Pasir. Jadi begitu nemu bis merah ini di jejeran platform bis domestik, langsung naik aja, bayar ongkos di kondektur atau supir seharga RM 2 dengan uang pas, lalu duduk manis. Driver bis yang aku tumpangi udah agak sepuh, perawakan dan gaya bicaranya mirip banget sama Athuk Dalang di kartun Upin-Ipin gitu. Hahaa.. jadi inget ponakan lanang yang hobi banget nonton kartun itu tiap sore. Tapi sayang nggak bisa minta foto bareng si Athuk karena bis akan segera berangkat.

Dok. pribadi
Dok. pribadi

 

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Asyiknya, bis ini nggak akan ngetem lama-lama di terminal. Pokoknya penumpangnya berapa aja, tiap 10 atau 15 menit bis pasti akan jalan, dan akan datang bis selanjutnya. Sepanjang perjalanan bisa menikmati pemandangan kota Malaka yang masih begitu lengang.

Sedikit googling, kota Malaka adalah sebuah kota tua di pesisir pantai sebelah selatan kota Kuala Lumpur, yang dulunya pernah dijajah oleh 3 negara yaitu: Portugis, Belanda, dan Inggris. Makanya nggak heran jika arsitektur bangunan khas Malaka menjadi sangat menarik karena merupakan pencampuran dari ketiga gaya arsitektur negara bekas penjajahnya. Selain itu Malaka pun terkenal dengan kuliner khas ala Portugis, Chinesse, dan India yang banyak ditemukan disini.

Oh ya, destinasi kami di Malaka adalah kawasan heritage di seputaran Dutch Square. Naik bis Panorama Melaka dari terminal Sentral Malaka ternyata cuma 15 menitan aja, eh udah sampai di area Dutch Square. Nggak perlu takut kesasar, karena supir bis udah paham banget tujuan turis-turis pasti kesini. Selain itu kawasan ini juga sangat mudah dikenali karena kiri kanan jalannya banyak terdapat bangunan kuno berwarna merah, atau istilah kerennya adalah Stadthyus (bangunan merah).

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Menyusuri Dutch Square ini gampang banget. Cukup jalan kaki santai dari tempat turun bis aja kita udah langsung ketemu dengan Christ Church. Persis di depannya ada menara jam Tan Beng Swee, Queen Vioctoria's fountain, dan logo 'I Love Malaka' yang selalu rame dengan turis-turis yang berfoto.
Kalau mau merasakan sensasi muter-muter Dutch Square / Stadthyus dengan naik becak hias, ongkosnya sekitar RM 30 sampai RM 40. Tapi exploring dengan jalan kaki santai aja sebenernya juga udah cukup koq, karena area Stadthyus tuh letak antara satu spot dengan spot lainnya tuh deket-deket banget. Jadi benar-benar jalan kaki-able banget lah pokoknya.
Selain itu juga berkaitan dengan prinsip low budget traveler yang selalu kami pegang teguh, "Buat apa ngongkos kalau bisa gratis"... Hohohohoo.... *dijudesin sama tukang becak*

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Di area bundaran pusat kota tua banyak kios pedagang souvenir dan becak hias. Souvenir yang dijual disini ada aneka ria magnet kulkas seharga RM 12 untuk 1 pack isi 6 pcs, kaos, topi, kartu pos RM 1/lembar, gantungan kunci RM 12 untuk 6 pcs, dan barang pecah belah lain.

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Jalan sedikit ke arah kiri ada jejeran Stadthyus (bangunan merah) kuno yang beberapa pintu diantaranya sepertinya sudah dialihfungsikan menjadi toko-toko. Tapi waktu kami kesini untungnya toko belum pada buka, jadi kami bisa numpang foto-foto di depannya.

Nggak jauh dari area bangunan merah ada sebuah bukit kecil yang di puncaknya terdapat runtuhan bangunan gereja St. Paul's Hill bergaya arsitektur Portugis, didirikan tahun 1521 oleh seorang bangsawan Portugis bernama Duarte Coelho. Olahraga ngecilin betis banget untuk naik kesini. Karena walaupun bukitnya kecil, tapi jalannya nanjak banget. Selain menaiki beberapa anak tangga, juga harus melalui jalan setapak yang menanjak. Huff... huff... Ayo semangat...

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Tapi sampai puncaknya nggak sia-sia, karena bisa melihat pemandangan separuh kota Malaka (yang ternyata berada di pesisir pantai) dari ketinggian. Patung Duarte Coelho yang berdiri kokoh tepat di depan gereja St. Paul's Hill juga menghadap langsung ke pemandangan kota itu.

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Di belakangnya ada runtuhan bangunan tua bernama Forta de Santiago A Famosa. Kalau dilihat dari material batu-batu pembentuk temboknya sepertinya bangunan ini benar-benar kokoh dan gahar banget pada masanya. Aku jadi kebayang jaman perang beberapa ratus tahun silam.

Konon sejarahnya. A Famosa dibangun pada tahun 1511 dibawah perintah Alfonsode Albuquerque, untuk memusatkan kekuatan di Malaka setelah mengalahkan pasukan kesultanan Malaka. Pada waktu itu, bangsa Portugis percaya bahwa Malaka nantinya akan menjadi pelabuhan utama yang menghubungkan antara Prtugal dengan pedagang rempah-rempah dari China. Benteng tersebut kemudian beralih tangan ketika Belanda berhasil membuat Portugis angkat kaki dari Malaka, yang kemudian diserahkan oleh pemerintah Belanda kepada Inggris pada wal abad 19. Waah, panjang banget yaa lika-liku sejarah The A Famosa ini.

Menariknya, meskipun bangunan-bangunan ini usianya sudah ratusan tahun dan terkesan kuno, namun kondisinya terlihat masih sangat terawat dan terjaga dengan baik. Sama sekali nggak ada kesan kumuh, angker, apalagi berantakan. Semua sangat rapi dan teratur. Rupanya pemerintah setempat benar-benar memberikan perhatian khusus untuk menjaga warisan masa lalu ini sehingga bisa menjadi daya tarik tersendiri kota tua Malaka.

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Puas berkeliling St. Paul's Hill, kami turun melalui anak tangga. Hati-hati yaaaa... karena tangganya curam dan agak licin. Sampai bawah ketemu gedung kantor Ibu Pejabat Polis Daerah Malaka Tengah. Mungkin kalau di Indonesia ini tuh Markas Polda gitu kali yeee kamsudnya...

Depan kantor 'Polda' ada Muzium Seni Bina Malaysia. Tapi kami nggak masuk, cuma numpang nyelonjorin betis aja dan jeprat-jepret foto sebentar. Teteuuup....

Dari bunderan pusat kota tua noleh kanan.. jreeeng.. ada Malaka river yang termahsyur dengan jejeran riverside guest house cantiknya. Sebelumnya sempet booking guest house disini sih, tapi di cancel karena kami berubah itinerary. Jadi kali ini iseng liat-liat aja.

So far sebenernya river nya biasa aja, nggak jauh beda dengan kali Ciliwung di Jakarta, cuma lebih tertata rapi dan dipercantik dengan wall street art di tepiannya. Airnya juga coklat koq, agak bau, dan banyak kotoran burung gagak yang nempel di besi pegangan jembatan. So sorry....

Tapi emang sih sisi two thumbs up nya, nggak ada sampah yang nyangkut-nyangkut di river atau berceceran di jalanannya. Kayaknya baik warga lokal maupun turis disini sudah benar-benar sadar kebersihan lingkungan.
Oh warga Jakarta ku, ayo dong kita sadar kebersihan juga.. jangan buang sampah sembarangan... supaya Jakarta tercinta kita juga bisa bersih, indah, sehat, dan nyaman.

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Lurus dari jembatan sudah terlihat jalan Hang Jebat, atau yang lebih terkenal sebagai kawasan Jonker street, yang kalau malam wiken bakal berubah jadi pasar malam yang banyak dikunjungi turis. Tapi berhubung ini masih siang, jadi penampakannya hanya berupa jalanan kecil dengan jejeran toko-toko gitu aja. Ada toko pernak-pernik, warung-warung makan, toko baju, dan guest house.

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Kuliner khas Malaka yang banyak dijajakan disini antara lain chicken rice ball, chinesse food, dumpling, teh tarik, dan es cendol durian. Karena masih agak kenyang akhirnya kami hanya mampir ke sebuah warung cendol Malaysia di pojokan jalan Hang Jebat. Lupa namanya, tapi letaknya persis di ujung jalan yang di temboknya tertempel nama jalan Hang Jebat seperti foto dibawah ini, dengan interior serba kayu.

Semangkok es cendol durian dibanderal dengan harga RM 5,9. Pengen nyobain aja kulineran khas Malaka, biar berasa explore the city like a local people. Demi konsistensi kami sebagai low budget traveler, untuk menu icip-icip ini kami cuma pesan 1 mangkok aja untuk bertiga. Dan mangkoknya itu kurang lebih sebesar mangkok ayam jago nya tukang mie ayam.

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Semangkok es cendol isinya : cendol dari tepung beras berwarna hijau, kacang merah, serutan es, siram kuah gula merah, dan secuil duren.

Hmm... let me tell you how it taste... rasa es serutnya tuh berasa banget dinginnya... kacang merahnya berasa mirip kacang.. dan cendolnya kayak rasa-rasa cendol banget gitu.. lalu kuah gulanya, ukh manis... Nggak penting banget ya review nya ? Oke, abaikan...

Ya so far rasanya mirip es cendol abang-abang di pasar gitu deh... Cuma yang bikinaku dan travelmate penasaran ngorek-ngorek si cendol sampai ke dasar mangkoknya itu adalah "Duren nya dimana ya ?"
Dan itu membuat kami sadar bahwa dari tadi sepertinya lidah kami memang belum tersentuh rasa duren sama sekali. Kemudian setelah di selidiki dengan seksama, ternyata si duren dalam campuran cendol ini hanya berupa parutan-parutan ala kadarnya duren beku gitu. Rasanya pun nggak ngeduren banget. Hambar gitu. Hedeeeehhh... cukup tau aja deh...

Waktu sudah menunjukkan jam 11.30 siang (ingat yaa, waktu di Malaysia itu 1 jam lebih cepat dari Jakarta. Jadi walau jarum jam tanganku masih di angka 10.30, tapi versi Malaysia itu jadi jam 11.30). Saatnya kami beranjak dari Malaka untuk ke destinasi berikutnya.
Karena kami bingung dimana harus menunggu bis Panorama Melaka arah balik ke terminal Sentral Malaka, maka jadilah kami kembali ke Dutch Square tempat kami turun bis saat datang tadi. Jalanan sekitar Stadthyus Ducth Square sudah mulai ramai kendaraan, jadi agak lama juga kami menunggu bis Panorama Melaka merah nomor 17 sambil duduk di emperan gedung bercat merah.

Begitu bis datang, langsung naik, bayar RM 2 ke supir, duduk. Bis nya kosong. Selain kami bertiga, hanya ada 3 orang penumpang lain yang merupakan warga lokal, itu pun mereka pada turun di halte yang nggak begitu jauh dari Dutch Square. Bis ini membawa kami mengelilingi jalanan besar kota Malaka, Mahkota Medical Centre, dan muter dulu sampai tujuan akhir yaitu Ujong Pasir, baru kemudian kembali lagi ke arah Jonker street menuju terminal Sentral.

Jalanan kota Malaka tuh enak banget yaa.. Nggak ada macet.. nggak banyak ojek seliweran. Ups... Pak Cik drivernya agak ngebut. Horror juga siiih.. tapi so far aman-aman aja dan kami masih dilindungi oleh Tuhan YME sehingga selamat sampai tujuan. Alhamdulillah...

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Kami tiba di terminal Sentral Malaka tepat jam 12.00.

Menuju loket bis tujuan Kuala Lumpur, beli tiket bis Delima seharga RM 10 yang akan membawa kami ke Terminal Bersepadu Selatan - Kuala Lumpur. Sempet ngobrol langsung sama Uncle driver nya yang orang India.

Dia bilang kami lebih mirip orang Filiphina ketimbang orang Indonesia. Haha... belum pernah piknik ke Indonesia nih si Uncle India. Repot juga ngobrol sama orang India nya Malaysia. Bahasanya campuran separo Inggris, separo India, separo Melayu, dan separo bahasa yang cuma dia sendiri yang ngerti. Alamaakk... peniang kepalo awak.

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Perjalanan Malaka -- Terminal Bersepadu Selatan Kuala Lumpur menempuh waktu 2 jam lagi. Saatnya bobo siang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun