Jawa Barat, tidak hanya dikenal sebagai penghasil mangga terbaik di Indonesia, tetapi juga sebagai penjaga berbagai tradisi dan adat istiadat yang kaya dan ragam. Salah satu tradisi yang masih dilestarikan hingga kini adalah tradisi Munjungan. Munjungan atau dibeberapa tempat lain kerap disebut juga unjungan bukan sekadar perayaan budaya, tetapi juga mencerminkan hukum adat yang mengatur kehidupan sosial masyarakat Indramayu.
Indramayu adalah sebuah kabupaten yang berlokasi di jalur pantai utara provinsiHukum adat ialah aturan kebiasaan (Rosdalina, 2017:17). Dalam artikel ini kita akan mengetahui salah satu hukum adat yang ada pada masyarakat Indramayu yang sudah menjadi tradisi hingga saat ini.
Sejarah dan Makna Munjungan
Munjungan adalah tradisi turun-temurun yang dilakukan oleh masyarakat Indramayu sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan tokoh penting yang telah berjasa bagi desa. Kata "munjungan" berasal dari bahasa Jawa, yang berarti "berkunjung" atau "ziarah". Tradisi ini biasanya dilakukan dengan mengunjungi makam leluhur atau tokoh desa, membawa sesajen, dan melaksanakan do'a bersama.
Tidak ada yang tahu pasti kapan tepatnya Munjungan atau unjungan ini pertama kali diadakan oleh masyarakat Indramayu, terlebih tradisi ini diadakan berdasarkan setiap TPU (Tempat Pemakamam Umum) yang ada di setiap desa. Bahkan apabila ada TPU di masa sekarang sudah mulai padat dan banyak makamnya, maka TPU tersebut bisa saja yang sebelumnya tidak melaksanakan Munjungan, lalu akan melaksanakan munjungan tergantung kesepakatan pemerintah desa, tokok masyarakat, dan seluruh keluarga yang memakamkan anggota keluarganya di TPU tersebut.
Pelaksanaan Tradisi Munjungan
Tradisi Munjungan dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu yang dianggap sakral, seperti menjelang bulan Ramadhan, setelah panen raya, atau ketika menjelang musim tanam disekitar bulan september hingga desember. Prosesi Munjungan melibatkan seluruh anggota masyarakat, mulai dari anak-anak hingga orang tua.
Pra pelaksanaan Munjungan yaitu beberapa hari sebelum acara diselenggarakan, pemerintah desa akan mengundang para tokoh masyarakat, kepala keluarga, dan aparat keamanan untuk rapat menentukan jajaran panitia, waktu pelaksanaan, dan rangkaian prosesi adat. Lalu  panitia akan keliling ke setiap rumah-rumah warga untuk mengumpulkan sumbangan yang besarnya tidak ditentukan atau seikhlasnya.
Ketika hari pelaksanaan Munjungan biasanya diawali dengan persiapan sesajen yang terdiri dari makanan, bunga, dan aneka keperluan ritual lainnya. Setelah persiapan selesai, masyarakat berkumpul dan berziarah ke makam leluhur atau tokoh penting desa. Di makam, mereka melaksanakan doa bersama dan menyampaikan sesajen sebagai tanda penghormatan dan rasa syukur. Selesai prosesi do'a bersama, panitia akan mengumpulkan sumbangan dari setiap sesajen yang dibawa oleh warga berupa potongan ayam bekakak, tumisan, ataupun kue-kue yang dibawa oleh warga yang mengikuti tradisi ini. Kemudian hasil dari sumbangan tersebut akan dikumpulkan untuk dibagikan kepada panitia, tokoh adat, fakir miskin, dan  pengisi acara apabila ada tambahan hiburan seperti pertunjukan seni sandiwara khas Indramayu.
Prinsip-Prinsip Hukum Adat Munjungan
Hukum adat yang mengatur tradisi Munjungan memiliki beberapa prinsip utama yang harus dipatuhi oleh masyarakat, antara lain :
- Penghormatan kepada LeluhurÂ
Munjungan adalah bentuk penghormatan kepada leluhur dan tokoh yang berjasa. Melalui tradisi ini, masyarakat diajarkan untuk selalu mengenang dan menghargai jasa para pendahulu.
- Kebersamaan dan SolidaritasÂ
Munjungan dilaksanakan secara gotong royong oleh seluruh masyarakat desa, mencerminkan nilai kebersamaan dan solidaritas yang kuat.
- Keharmonisan dengan AlamÂ
Prosesi Munjungan juga melibatkan penghormatan kepada alam, seperti penggunaan bunga dan tanaman dalam sesajen, yang melambangkan keharmonisan antara manusia dan alam.
Peran Pemimpin Adat
Dalam tradisi Munjungan, pemimpin adat atau tokoh masyarakat memiliki peran penting sebagai pengatur jalannya upacara dan penjaga nilai-nilai adat. Mereka bertanggung jawab memastikan setiap tahapan Munjungan dilaksanakan sesuai dengan aturan adat dan memberikan bimbingan kepada generasi muda tentang makna dan pentingnya tradisi ini.
Sanksi dalam Hukum Adat Munjungan
Sanksi dalam hukum adat Munjungan lebih bersifat moral dan sosial. Misalnya, jika ada anggota masyarakat yang tidak mengikuti atau melanggar aturan Munjungan, mereka dapat menerima teguran baik dari pemerintah desa, keluarga, ataupun masyarakat sekitar. Selain itu sanksi sosial seperti pengucilan sementara dari kegiatan adat juga bisa saja terjadi, tergantung kebijakan dari setiap daerah.
Tantangan dan Upaya Pelestarian
Modernisasi dan perubahan sosial merupakan tantangan utama bagi kelestarian tradisi Munjungan. Generasi muda sering kali kurang memahami atau merasa terasing dari tradisi leluhur mereka. Oleh karena itu, berbagai upaya perlu dilakukan untuk melestarikan tradisi Munjungan, antara lain:
- Edukasi dan Sosialisasi: Mengajarkan nilai-nilai dan praktik adat Munjungan kepada generasi muda melalui kegiatan pendidikan dan sosialisasi.
- Dokumentasi: Mendokumentasikan tradisi Munjungan dalam bentuk tulisan, foto, dan video agar bisa diwariskan kepada generasi mendatang.
- Pemberdayaan Komunitas: Melibatkan masyarakat dalam setiap tahapan pelestarian tradisi agar mereka merasa memiliki dan bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian adat.
Tradisi Munjungan di Indramayu adalah warisan budaya yang kaya akan nilai-nilai kebersamaan, penghormatan kepada leluhur, dan keharmonisan dengan alam. Melalui pelaksanaan hukum adat yang ketat, tradisi ini tidak hanya memperkuat ikatan sosial dalam masyarakat tetapi juga menjaga keseimbangan dan keberlanjutan budaya. Dengan upaya pelestarian yang tepat, Munjungan dapat terus dijaga dan diwariskan kepada generasi berikutnya, menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas masyarakat Indramayu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H