Mohon tunggu...
Radityo Sindhu Nugroho
Radityo Sindhu Nugroho Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

saya adalah siswa sma kolese kanisius

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menyelami Makna Perbedaan dalam Ekskursi Lintas Agama 2024

18 November 2024   21:32 Diperbarui: 18 November 2024   21:42 1962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Perbedaan adalah satu-satunya hal yang mempersatukan kita. Mari jadikan perbedaan sebagai kekuatan, bukan kelemahan."
---Nelson Mandela

Ekskursi Lintas Agama 2024 bukanlah sekadar perjalanan fisik menuju tempat baru, melainkan sebuah pengalaman batin yang memperkaya hati dan pikiran. Bagi kami, siswa Kolese Kanisius, kunjungan ke Pondok Pesantren Terpadu Bismillah di Serang, Banten, memberikan kesempatan yang langka dan mendalam untuk belajar tentang toleransi dan keberagaman secara langsung. Bukan sekadar kunjungan, ini adalah usaha nyata untuk merangkul perbedaan, menemukan makna dalam kebersamaan, dan membangun jembatan pemahaman di tengah kehidupan yang kadang terpolarisasi oleh prasangka.

Pada pagi hari ketika kami tiba di pesantren, ada perasaan gugup yang bercampur dengan rasa ingin tahu. Lingkungan pesantren yang sederhana namun tertata rapi tampak begitu berbeda dari suasana yang biasa kami temui di sekolah. Para santri mengenakan pakaian yang khas, aktivitas mereka begitu disiplin, dan kesederhanaan kehidupan mereka terasa begitu membumi. Saya, yang baru pertama kali menginjakkan kaki di pesantren, merasakan perasaan canggung. Namun, sambutan yang hangat dari para santri mulai mencairkan suasana. Mereka menyapa kami dengan senyum tulus dan ramah, seolah menyiratkan bahwa kehadiran kami diterima tanpa syarat, meskipun kami berbeda agama dan budaya.

Di hari pertama, kami diajak mengikuti kegiatan mengaji bersama. Saya, yang belum pernah melihat langsung bagaimana pengajian berlangsung, memilih duduk di barisan belakang untuk mendengarkan dengan seksama. Lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an terdengar begitu merdu, meskipun bagi saya terasa asing. Ada ketenangan yang hadir di ruangan itu, seolah lantunan doa-doa tersebut mampu menciptakan keheningan yang mendalam. Pada momen itu, saya merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar --- bahwa ada keindahan dalam ritual yang berbeda dari yang biasa saya kenal. Saya tidak ikut membaca Al-Qur'an, namun saya terhanyut dalam suasana kekhusyukan yang terbentuk.

Malam hari itu kami juga diajak untuk mengikuti kegiatan istigasah. Saya tak pernah menyangka bahwa duduk bersama puluhan santri dalam keheningan, mengangkat tangan, dan melantunkan doa-doa yang tidak saya pahami sepenuhnya, bisa menjadi begitu menyentuh. Dalam istigasah tersebut, doa-doa dilantunkan dengan penuh keyakinan, memohon keberkahan dan perlindungan. Di tengah malam yang sunyi, saya merasakan bahwa doa, bagaimanapun bentuknya, adalah upaya manusia untuk menggapai Sang Pencipta. Saya merasa istigasah ini unik karena bukan hanya soal doa, tapi juga soal rasa kebersamaan yang terjalin tanpa melihat latar belakang agama.

Selama tiga hari di pesantren, saya juga berkesempatan untuk mengikuti berbagai kegiatan belajar bersama para santri. Salah satu momen yang paling berkesan bagi saya adalah ketika kami belajar di kelas yang sederhana, tanpa fasilitas canggih seperti yang biasa kami gunakan di sekolah. Di situ saya duduk bersama santri, mendengarkan guru mereka menjelaskan tentang fikih. Saya tidak sepenuhnya memahami materinya, tetapi yang saya tangkap adalah semangat belajar yang begitu besar dari para santri. Mereka mendengarkan dengan penuh perhatian, bertanya dengan rasa ingin tahu yang tinggi, dan saya menyadari bahwa ada nilai yang sangat berharga di sana --- semangat untuk menuntut ilmu tanpa pamrih, tanpa mengeluh soal keterbatasan sarana.

Ada satu momen lain yang membuat saya berpikir panjang. Ketika bermain futsal bersama, kami terbawa suasana yang sangat santai. Di tengah lapangan, tidak ada lagi identitas sebagai siswa Kolese Kanisius atau santri pesantren. Kami semua hanyalah anak-anak muda yang menikmati permainan dan bercanda bersama. Saat bola bergulir, perbedaan yang tadinya terasa begitu kentara mendadak hilang. Semua tawa, semangat, dan dukungan di antara kami menjadi alat pemersatu. Saya belajar bahwa interaksi sederhana seperti bermain bersama dapat menjadi cara efektif untuk membangun relasi yang tulus tanpa harus memandang perbedaan.

Kutipan dari Ki Hadjar Dewantara, "Setiap manusia harus memelihara rasa hormat kepada keyakinan dan agama orang lain," terngiang di benak saya sepanjang ekskursi. Perbedaan yang awalnya terasa sebagai jurang, perlahan berubah menjadi jembatan untuk saling memahami. Saya menyadari bahwa toleransi bukan berarti menyamakan perbedaan atau menghapus identitas masing-masing, tetapi justru menghargai dan merangkul keunikan setiap individu dan budaya mereka. Dengan begitu, kita bisa hidup berdampingan tanpa harus merasa terancam oleh perbedaan tersebut.

Salah satu pengalaman paling menginspirasi adalah saat saya berbincang dengan Arif, seorang santri yang memiliki impian menjadi seorang dokter. Dengan mata berbinar, ia menceritakan bagaimana ia ingin kembali ke desanya untuk membantu masyarakat yang kesulitan mendapatkan akses kesehatan. Ketika ia bercerita, saya teringat impian saya sendiri untuk menjadi seorang insinyur. Meskipun jalan yang kami tempuh berbeda, kami memiliki semangat yang sama: berkontribusi bagi bangsa. Percakapan ini membuka mata saya bahwa mimpi adalah bahasa universal yang melampaui batas agama, suku, dan budaya.

Pengalaman ini juga memberikan banyak pelajaran reflektif bagi saya. Di tengah dunia yang semakin terpolarisasi oleh perbedaan, penting bagi kita untuk mencari titik temu dan membangun dialog. Sebuah pepatah mengatakan, "Toleransi adalah seni hidup bersama meskipun tidak sepakat." Pengalaman langsung seperti ekskursi ini mengajarkan bahwa toleransi bukan hanya konsep yang indah di atas kertas, tetapi sebuah praktik yang harus dijalani dengan ketulusan dan keberanian. Dialog dan empati adalah kunci untuk mengubah perbedaan menjadi sumber kekuatan, bukan pemecah belah.

Ketika hari terakhir tiba, ada rasa berat di hati untuk meninggalkan pesantren. Meski hanya tiga hari, hubungan yang terbangun di antara kami begitu kuat. Kami saling bertukar kontak, berjanji untuk tetap berkomunikasi, dan berharap suatu saat dapat bertemu kembali. Perasaan kedekatan ini seolah menjadi bukti nyata bahwa ketika kita mau membuka diri dan melangkah keluar dari zona nyaman, kita bisa menemukan keindahan dalam perbedaan.

Dalam perjalanan pulang, saya merenungkan apa yang telah kami alami. Indonesia, seperti pelangi, menjadi indah karena keberagaman yang ada. Ekskursi Lintas Agama 2024 telah mengajarkan bahwa perbedaan adalah kekayaan yang harus dirayakan dan dirawat. Sebagai generasi muda, tanggung jawab untuk menjaga harmoni ini ada di tangan kita. Kita harus mampu menunjukkan bahwa Indonesia yang beragam ini bisa hidup berdampingan dengan damai, saling menghormati, dan saling menguatkan.

"Keberagaman adalah kekuatan kita, dan di dalamnya kita menemukan harmoni yang membentuk bangsa ini."

Ekskursi ini bukan sekadar perjalanan, tetapi langkah kecil menuju Indonesia yang lebih toleran, lebih harmonis, dan lebih kuat. Saya berharap bahwa apa yang kami alami selama tiga hari di pesantren ini bisa menjadi inspirasi bagi lebih banyak orang untuk membuka diri terhadap perbedaan, untuk merayakan keberagaman, dan untuk membangun hubungan yang didasari oleh rasa saling menghormati. Karena pada akhirnya, Indonesia adalah kita --- kita yang berbeda, tetapi tetap satu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun