Ayah selalu bilang, "Bandeng itu bukan sekadar ikan. Ia punya filosofi hidup." Aku tak pernah terlalu peduli dengan ucapannya, hingga satu malam, di antara bunyi pisau mengiris sirip dan denting wajan yang menggoreng bandeng, aku menyadari bahwa semua yang ia katakan lebih dalam daripada sekadar cerita tentang ikan.
Ayahku adalah seorang pengusaha ikan bandeng yang sukses. Toko bandeng prestonya di Semarang selalu diserbu orang. Bahkan, nama "Bandeng Presto Tjandra" tak hanya terkenal di Semarang, tapi juga sampai ke Jakarta, Bandung, bahkan luar Jawa. Orang-orang rela memesan dari jauh hanya untuk mencicipi rasa khas yang katanya tak tertandingi.
Dari luar, mungkin hidup kami terlihat sempurna. Ayah sukses, aku, kakak dan adikku bisa bersekolah di sekolah terbaik, dan keluarga kami hidup lebih dari kata cukup. Tapi di balik itu, ada banyak hal yang belum orang tahu, terutama tentang ayah.
Ayahku keturunan Tionghoa, generasi kedua yang tinggal di Indonesia. Ia memulai usahanya dari nol, berjualan ikan segar di pasar pagi Semarang bersama ibunya, nenekku yang asli indonesia merupakan masih keturunan keraton solo Tapi yang membuatku selalu teringat adalah cerita bagaimana bandeng menjadi pusat dari semua itu.
"Kenapa bandeng, Yah?" tanyaku saat malam tiba, saat aku membantunya di dapur.
Ia tersenyum, seperti sudah menunggu pertanyaan itu. "Karena bandeng itu kuat," jawabnya. "Ia berenang melawan arus. Hidupnya penuh perjuangan. Sama seperti keluarga kita."
Aku tidak paham sepenuhnya saat itu. Tapi ayah melanjutkan ceritanya.
"Keluarga kita dulu datang ke Semarang dengan tangan kosong. Gonggongmu (kakekmu) hanya punya satu kapal kecil. Ia menangkap ikan untuk dijual di pasar, sementara Nenekmu mengolah sisanya jadi makanan. Tapi saat itu, orang-orang hanya mau ikan besar seperti kakap atau tuna. Gonggong selalu pulang dengan ikan kecil seperti bandeng. Banyak yang tidak laku."
Aku bisa membayangkan wajah kakek yang kecewa. "Lalu?"
"Gonggong tidak menyerah. Ia tahu bahwa bandeng ini punya potensi. Dagingnya gurih, tetapi banyak duri. Orang malas memakannya. Tapi Nenekmu punya ide. Ia mencoba mengolahnya agar lebih mudah dimakan. Akhirnya, mereka menemukan cara membuat bandeng presto, yang membuat durinya lunak."
Cerita itu, kata ayah, bukan sekadar soal makanan. Itu tentang bagaimana kakek , yang hanyalah pendatang di negeri ini di dampingi nenekku, belajar bertahan dan beradaptasi. "Kita ini seperti bandeng," kata ayah. "Melawan arus, tapi selalu menemukan jalan untuk bertahan."
Aku tak pernah lupa cerita itu. Namun, apa yang benar-benar membuatku paham maknanya adalah kejadian yang terjadi beberapa tahun lalu, saat aku masih SMP
Waktu itu, ayah mendapat tawaran besar dari seorang pengusaha Jakarta. Mereka ingin membeli hak merek toko kami. Jumlah uang yang mereka tawarkan sangat besar, cukup untuk membuat keluarga kami hidup nyaman tanpa harus bekerja lagi. Aku ingat Mama sangat antusias dengan tawaran itu.
"Tapi kenapa tidak diambil saja, Yah?" tanyaku.
Ayah hanya menggeleng. "Bandeng Presto Tjandra bukan sekadar bisnis, Nduk, Ini warisan keluarga kita. Filosofi yang harus kita jaga."
Aku tidak sepenuhnya mengerti, tapi ayah menolak tawaran itu. Dan ternyata, keputusan itu membawa masalah. Pengusaha tersebut, merasa tersinggung, mulai membuka toko bandeng presto di Jakarta dengan resep yang mirip. Bahkan, mereka mengiklankannya besar-besaran, mengklaim bahwa merek mereka adalah yang asli.
Aku ingat bagaimana Mama menangis malam itu. Omset toko kami menurun drastis karena orang-orang percaya bahwa toko baru itulah yang asli. Tapi ayah tidak pernah menyerah.
"Gonggongmu tidak menyerah, dan aku juga tidak akan menyerah," paparnya tegas.
Malam itu, untuk pertama kalinya, aku melihat ayah membuat keputusan yang sulit. Ia mengundang semua pegawainya untuk makan malam di rumah. Dengan nada yang teguh, ia menympaikan bahwa ia akan membawa Bandeng Presto Tjandra kembali berjaya, meskipun harus mulai dari awal lagi.
"Kita seperti bandeng," katanya di depan semua orang. "Kita berenang melawan arus, tapi kita akan sampai ke tempat yang kita tuju."
Aku tidak tahu dari mana ayah mendapatkan kekuatan sebesar itu. Tapi ternyata, ia benar. Perlahan, pelanggan lama mulai kembali. Mereka tahu rasa bandeng presto ayahlah yang paling asli, yang paling otentik. Mereka tahu kerja keras yang ada di balik setiap potong bandeng yang kami jual.
Namun, di balik semua itu, aku selalu merasa ada sesuatu yang tidak ayah ceritakan. Sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar cerita tentang Gonggong dan Nenek.
Suatu malam, saat aku membersihkan dapur setelah tutup toko, aku menemukan sesuatu di laci meja kerja ayah. Sebuah foto lama, kusam di bagian pinggirnya, memperlihatkan seorang lelaki muda berdiri di atas kapal kecil dengan keranjang penuh ikan. Di belakangnya, ada seorang perempuan tersenyum hangat. Aku tahu itu Gonggong dan Nenek. Tapi ada sesuatu di balik foto itu.
Aku membaliknya dan membaca tulisan tangan kecil di bagian belakang: "Bandeng adalah simbol keberuntungan, kemakmuran, dan kesetiaan. Jangan pernah lupa akar kita."
Malam itu, aku bertanya pada ayah tentang foto itu. Ia terdiam lama sebelum akhirnya menjelaskan "Dalam budaya Tionghoa, bandeng melambangkan hal-hal baik. Tapi lebih dari itu, Gonggong percaya bandeng adalah pengingat bagi kita untuk selalu setia pada keluarga dan tradisi. Tidak peduli seberapa sulit hidup, kita harus menjaga warisan ini."
Aku mengerti sekarang. Bagi ayah, bandeng bukan sekadar ikan. Ia adalah simbol perjuangan keluarga kami, simbol bagaimana kami, meskipun hanyalah keturunan perantau, bisa menemukan tempat di dunia ini.
Dan setiap kali aku melihat toko kami yang Ramai dengan pelanggan, aku tahu bahwa warisan itu tetap hidup.
Malam itu, sebelum tidur, aku menatap foto itu sekali lagi. Bibirku memancarkan senyuman lebar, membayangkan Gonggong berdiri di atas kapalnya, melihat kami dari kejauhan.
"Terima kasih, Gonggong," bisikku pelan. Karena berkat filosofi bandeng, aku tahu siapa aku dan dari mana aku berasal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI