[caption id="attachment_134943" align="aligncenter" width="637" caption="Ilustrasi, sumber: freemium.org"][/caption] Satu lagi harapan baru ditumbuhkan di kompasiana, yaitu Hybrid Journalism. Bila ditelisik lebih jauh praktik Hybrid Journalism ini sudah ada di awal tahun 2011 ini. Saya tidak tahu benar artikel siapa yang pertama kali di-hybrid untuk kemudian ditampilkan ke khalayak yang lebih terbuka di kompas.com. Saya sendiri, dari awal tahun 2011 ini sudah menyumbang artikel ke kompas.com khususnya di kanal tekno kompas.com. Bedanya, kalau dulu Hybrid Journalism ini seperti tersembunyi (namun dijalankan), kini praktiknya secara resmi dibuka dengan adanya artikel dari pengelola kompas.com beberapa hari yang lalu. Saya membaca beberapa artikel yang mempertanyakan  praktik Hybrid Journalism ini. Bagi saya pribadi, ini bukan suatu pengalaman baru, tulisan-tulisan saya sudah lama dipindah ke kompas.com. Namun kalau boleh memilih saya lebih baik di kompasiana saja. Ini bukan suatu kesombongan atau karena artikel saya sudah terlalu banyak yang dipindahkan ke kompas.com. Hal ini lebih kepada memfungsikan kompasiana sebagai tempat jurnalisme warga. Dan lagi hampir tidak ada manfaat secara langsung yang dirasakan oleh pembuat artikel, meskipun banyak artikel yang dipindahkan ke kompas.com. Saya bahkan selalu mengenalkan diri  menulis di kompasiana, bukan di kompas.com, padahal cukup banyak artikel saya di kompas.com Tentunya saya memiliki alasan tertentu dengan pendapat saya ini. Pertama, jurnalisme warga sebagaimana banyak dipahami paling tidak berseberangan dengan praktik-praktik jurnalisme di mainstream media. Bahkan jurnalisme warga mendorong kritik terhadap mainstream media. Apa jadinya jika artikel hasil jurnalisme warga tersebut malah dicampurkan ke dalam mainstream media. Ini bisa saja berakibat, timbulnya motif baru dalam peliputan warga, yaitu dorongan untuk muncul di mainstream media sehingga fungsi kompasiana sendiri menjadi kabur. Kedua pemberdayaan kompasiana. Sebagai pelopor media warga seharusnyalah kompasiana tidak mencari sukses dari luar dirinya sendiri, termasuk kompas.com. Kompasiana haruslah berdiri di kakinya sendiri dan suatu waktu bisa mensejajarkan dirinya dengan situs berita semisal kompas.com, detik dan banyak lainnya. Di sini tentu dibutuhkan sangat banyak usaha. Sebagaimana pernah saya tulis, untuk bisa dicapai oleh pembaca, kompasiana masihlah sangat sulit. Saya tidak tahu benar apakah memang dirancang seperti itu atau memang SEO yang tidak diterapkan secara benar. Cobalah klik suatu pencarian tertentu, kalaulah tidak spesifik tidak akan muncul dari kompasiana. Ini artinya Kompasiana masih jauh tertinggal. Ketertinggalan ini dijadikan alasan untuk memindahkan artikel bagus kompasiana ke kompas.com. Padahal jika dikelola lebih baik, mestinya artikel kompasiana tersebut tidak perlu dipindahkan sehingga jelas bedanya, mana suara warga, mana suara mainstream media sehingga kompasiana dapat diberikan kredit karena menyuarakan suara warga. Untuk membuat banyak orang mengetahui suatu berita yang ada di kompasiana, saya rasa tidak perlulah mengorbankan kompasiana itu sendiri dengan menyalin artikel tersebut ke kompas.com. Berdayakan saja kompasiana, manajemeni lebih baik, adakan syarat kualitas tulisan dan perbaiki cara-cara berinteraksi di kompasiana ini. Selain itu, satu yang sangat penting adalah pelatihan wartawan versi jurnalisme warga. Hal ini akan berimbas kepada kualitas konten di kompasiana sehingga tidak perlu usaha lain lagi untuk membuat konten tersebut diketahui banyak orang. Ketiga, the power of freemium tidak selamanya akan berlaku. Hybrid Journalism yang digadang-gadang berlandaskan semangat Freemium. Artinya siapa saja yang artikelnya terpilih masuk kompas.com tidak akan menerima bayaran dalam bentuk materi uang. Saya sering ditanya mengenai hal ini, ketika saya jawab tidak pernah menerima uang sepeserpun dari kompas.com mereka heran. Mereka mengatakan bahwa secara logika hal tersebut tidak bisa diterima karena konten atau artikel yang dipindahkan ke kompas.com akan dibaca banyak orang, kompas.com akan menerima traffic, baik langsung maupun dari mesin pencari (karena SEO yang lebih baik) dan iklan akan selalu setia di sana karena kompas.com  kaya konten yang tidak selalu berasal dari wartawan kompas.com. Tambahan lagi, apa bedanya mereka dengan wartawan yang menggawangi kompas.com. Artinya wartawan tersebut digaji, sedangkan ada yang memberikan konten bermutu secara cuma-cuma? Kalaulah semakin banyak artikel yang dipindahkan ke sana, mereka akan sangat senang dan cukup melakukan pengeditan dan mengklarifikasi sumber apakah dapat dipercaya atau tidak. Saya pernah mengalami pemindahan artikel sebanyak 4 artikel dalam sehari, kadang ada pengeditan, kadang tidak sehingga kurang elok untuk dibaca. Ini artinya pada kondisi tertentu, artikel kompasiana hanya di copy paste-kan di kompas,com dan diubah judulnya. Bagi mereka yang mapan, konten memang tidak selalu dinilai dengan uang. Nama baik, personal brand, pahala dan kemungkinan terkenal lebih besar dengan pemindahan ke kompas.com lebih menarik bagi mereka. Mereka mungkin suatu waktu akan diundang untuk mencari narasumber, ikut diskusi berkelas dan mungkin juga menjadi dosen. Namun pada batas-batas tertentu slogan Freemium ini tidak berlaku bagi mereka yang mengandalkan nasib mereka dari menulis berita dan berada di kompasiana. Ini artinya ada sebagian dari mereka yang benar-benar ingin menuliskan berita dan menjadi rangsangan hebat bagi mereka untuk terus menekuni jurnalisme warga dengan adanya pola pembayaran yang adil. Sehingganya jika sudah dipindahkan ke lapangan yang lebih luas mereka mengharapkan sesuatu yang lebih baik. Artinya cukup gratisan di kompasiana, jika sudah dipindah karena memperkaya konten situs lain, sebaiknya mereka tidak dimasukkan ke dalam skema Freemium. Hal-hal di atas tentunya perlu dipikirkan lebih jauh. Banyak dari kita yang baru belajar membuat berita. Banyak dari kita tidak paham betul ketika kita menuliskan sesuatu, apa akibatnya di kemudian hari. Dengan kemungkinan dipindahkan ke tempat lain, tantangannya semakin besar. Bisa saja artikel yang di kompasiana biasa-biasa saja memicu kontroversi setelah dipindahkan. Akibatnya, bukannya memotivasi malah menjadi momok yang menakutkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H