Mohon tunggu...
Kimi Raikko
Kimi Raikko Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Just Another Days In Paradise \r\n\r\n \r\n\r\n\r\n \r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Tidak Menyadari Risiko Hukum Media Sosial?

2 November 2011   02:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:10 1632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_139530" align="aligncenter" width="650" caption="Ilustrasi, sumber: http://technologycal.com"][/caption] Anda suka melakukan kicauan di Twitter atau melakukan update status di Facebook atau bahkan berkomentar di situs dan forum online? Kicauan di Twitter dan update status di Facebook  serta komentar di forum online sangat banyak yang melakukannya di Indonesia. Namun sadarkah anda bahwa berkicau di Twitter dan update status di Facebook dapat menyebabkan risiko hukum? Bila anda perhatikan artkel sebelumnya (di sini), cukup banyak alasan untuk menyeret seseorang ke ranah hukum karena kicauan yang dilakukan di Twitter atau update status di Facebook. Sayangnya banyak sekali pelaku dan pengguna media sosial yang tidak menyadari hal ini. Sebuah survei yang baru-baru ini diadakan di Inggris menjadi bukti betapa banyaknya pengguna Twitter yang tidak paham dengan risiko hukum dari kicauan yang dilakukan di Twitter. DLA Piper yang melakukan survei tersebut mengungkapkan bahwa 63% orang Inggris memiliki kesadaran sedikit atau tidak  memiliki tanggung jawab hukum ketika berkicau di Twitter, sementara lebih dari setengah dari mereka yang disurvei mengatakan tidak mempertimbangkan konsekuensi hukum sebelum berkicau di Twitter. Duncan Calow dari DLA Piper mengatakan bahwa banyak orang khususnya mereka yang muda bersikap bebas yang berlebihan ketika menggunakan media sosial. Kerusuhan yang terjadi di London beberapa waktu yang lalu terbukti banyak dipicu oleh kicauan di Twitter dan update status di Facebook. Selanjutnya ia mengatakan bahwa kehidupan di media online seperti media sosial tidaklah bebas hukum dan hukum offline tetap berlaku bagi para pengguna media sosial tersebut. Di Indonesia sendiri saya rasa kondisinya hampir sama saja, bahkan mungkin lebih buruk dibandingkan dengan yang ada di Inggris tersebut. Bila kita lihat, pengguna Facebook Indonesia merupakan nomor dua terbesar di dunia, sedangkan pengguna Twitter mungkin masuk ke dalam lima besar. Namun banyaknya pengguna tersebut belum tentu menunjukkan suatu hal yang menggembirakan. Banyak ditengarai pengguna media sosial di Indonesia belumlah tercerahkan dan cenderung menggunakan media sosial untuk keperluaan yang tidak produktif, salah satunya adalah untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum. [caption id="attachment_139648" align="alignleft" width="300" caption="Pencemaran nama baik banyak dilakukan di Facebook"][/caption] Sebuah survei terdahulu menyebutkan banyaknya terjadi pencemaran nama baik melalui media sosial terutama Facebook. Tindakan ini jika dilaporkan tentu saja akan menuai tuntutan hukum dan bisa membuat pelakunya bisa diseret ke pengadilan untuk mempertanggungjwabkan tindakannya. Dasar hukumnya tentu saja Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam pasal 28 Undang-undang ini disebutkan pelarangan tindakan:

setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Sebelumnya di Pasal 27 disebutkan berikut ini:

Pasal 3: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Pasal 4: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman

Pencemaran nama baik merupakan salah satu tindakan yang dilarang karena secara jelas Undang-undang Nomor 11 melarang penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan individu. Selain itu kata-kata yang terkait dengan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan sering juga didapatkan, bahkan di situs-situs online selain media sosial seperti koran online. Hal ini menunjukkan bahwa memang sangat banyak orang yang tidak sadar risiko hukum ketika mereka berinteraksi di internet. Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa sangat banyak orang yang tidak menyadari risiko hukum ketika berinteraksi di media sosial. Pertama, mungkin sama sekali tidak mengetahui tentang risiko hukum tersebut. Ini terlihat jelas ketika orang yang diadukan ke ranah hukum tidak tahu-menahu sebelumnya. Mereka sadar bahwa ada payung hukum setelah mereka mengalaminya sendiri. Kedua, tidak peduli. Kemungkinan ini ada bilamana seseorang sudah tahu risiko hukum, namun memilih melakukan hal-hal yang bertentangan dengan menggunakan nama samaran sebagai tameng. Banyak kita melihat nama-nama aneh di internet ketika berkomentar dengan kata-kata kasar dan caci maki. Padahal dengan cara inipun sebenarnya masih bisa terlacak karena alamat IP dapat diketahui. Ketiga pembiaran. Pembiaran dalam hal ini adalah ketika ternyata ada pelaku yang melakukan tindakan yang menyalahi hukum di media sosial banyak pihak membiarkan hal tersebut dan tidak melakukan laporan sebagaimana mestinya. Hal ini selanjutnya akan menjadi kebiasaan, lalu budaya sehingga berkata-kata kasar, SARA, mencemarkan nama baik suatu saat menjadi hal yang biasa saja dan tidak lagi dianggap menyalahi hukum. Keempat, kondisi kepastian hukum. Hukum di Indonesia belumlah baik. Masih banyak kasus-kasus di mana hasilnya dapat dibeli karena mereka yang terkena kasus memiliki uang dan kekuasaan. Selain itu, kita bisa mengatakan pasal-pasal UU ITE seperti pasal karet yang bisa diartikan dan diarahkan sesuai dengan keinginan orang tertentu. Sering sekali kita membaca adu komentar tidak jelas mengenai sesuatu hal. Misalnya yang sering saya temukan adalah komentar mengenai sesuatu yang menjadi idola, misalnya klub sepak bola. Mereka yang terlibat gontok-gontokan melalui komentar sering menggunakan kata-kata kasar dan sering mencaci maki orang-orang yang tidak sepaham. Di kompasiana pun hal ini banyak mengemuka, ketika sebuah topik sensitif mengenai politik atau tokoh tertentu menimbulkan perang komentar yang berkepanjangan. Harus diakui sejauh ini  belumlah banyak laporan kasus mengenai seseorang yang dituduh melakukan pencemaran nama baik atau menyebarkan informasi terkait SARA diadili. Namun ke depannya dengan semakin banyaknya orang terlibat di media sosial dan makin beragamnya pengguna kejadian ini bisa suatu waktu terjadi. Nah, sebelum terlalu jauh terlibat ada baiknya kita paham risiko hukum dari kegiatan kita di media sosial khususnya dan internet umumnya. Sumber: telegraph.co.uk, Undang-undang ITE Twitter: inside_erick

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun