Mohon tunggu...
Frida Kurniawati
Frida Kurniawati Mohon Tunggu... Mahasiswa, penulis, book reviewer -

Seorang mahasiswi (menuju) semester akhir Jurusan Teknik Fisika UGM, yang lebih suka menulis (fiksi, review, apa aja, deh) daripada bikin sensor arah angin. Tapi, dia nggak merasa salah jurusan lho.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

GMC Health Center yang (Katanya) Ramah

6 Juli 2015   17:56 Diperbarui: 6 Juli 2015   17:56 2777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Profil klinik GMC, seperti dapat dilihat melalui http://gmc.ugm.ac.id

 

Selama empat tahun hidup saya sebagai mahasiswa UGM, saya baru pernah beberapa kali periksa ke GMC (mungkin kalau dihitung pakai jari tangan masih sisa). Bukan karena saya tidak pernah sakit (orang saya tiap hari bersin-bersin). Bukan juga karena saya sok kaya atau sok apalah, sehingga tidak mau periksa ke GMC yang notabene klinik kesehatan gratisan bagi civitas akademik UGM. Sebenarnya tidak gratis juga, sih, karena setiap semester, saya membayar iuran kesehatan sebesar Rp 40.000,00. Bukan itu semua, Kawan, melainkan terlebih karena pelayanannya yang (katanya) ramah itu, sehingga saya terharu.

"Ana rega, ana rupa."

Mungkin pepatah Jawa tersebut, yang kurang lebih bisa diartikan sebagai "kualitas suatu barang tergantung harganya", bisa menggambarkan kegelisahan saya terkait pelayanan kesehatan ini. Meskipun di situsnya, http://www.gmc.ugm.ac.id , mereka mengklaim pelayanannya "ramah dan cepat", saya hanya bisa setuju 50%. Okelah, kalau masalah pelayanan cepat, mereka memang cepat. Begitu masuk ke klinik GMC, menunjukkan KTM (sekarang tidak perlu memakai kartu GMC, cukup KTM), petugas front office akan mengklik-klik komputer di mejanya, lalu pasien dipersilakan duduk. FYI, klinik GMC telah menggunakan sistem jaringan komputer terintegrasi dengan software, yang namanya Clinic Information System of GMC, buatan GamaTechno (saya tahu dari sini , atau jika ingin tahu lebih banyak tentang GamaTechno yang keren ini, bisa mengunjungi situs berikut), sehingga semua petugas, termasuk dokter, tinggal klik-klik-klik, dan blash! obat bisa diambil dengan cepat. Iya, dokternya tinggal klik-klik, bahkan kadang tidak menyentuh pasien sama sekali, cuma ditanya-tanya, lalu si dokter menyimpulkan penyakitnya. Bahkan kadang juga tidak sampai melakukan eye-contact dengan pasien, apalagi senyum ramah, lantaran sibuk pencet-pencet mouse komputer.

Baiklah, jika ini yang disebut "cepat", maka saya lebih memilih mengantri lama dan diperiksa dengan lama dan menyeluruh, ketimbang cepat tapi dokternya hanya seperti membaca tubuh pasien secara skimming/scanning/bahkan di-skip-skip kayak iklan di Youtube itu. Wajar, kan, kalau pasien (dalam hal ini saya) menjadi ragu; ragu akan diagnosis dokter. Saya, sebagai pasien yang ingin diperiksa dan diberi pencerahan, akhirnya malah merasa bahwa penyakitnya "disepelekan". Tiap hari saya bersin-bersin karena alergi debu dan suhu, sehingga saya agak menyepelekan penyakit hidung saya itu. Akhirnya, baru-baru ini, bersin-bersin itu jadi parah sekali, hingga saya sulit bernapas dan kepala pusing. Pergilah saya ke klinik GMC, bersama dua teman saya; salah satunya sama-sama meriang seperti saya. Masuk ke ruang periksa, saya disuruh berbaring telentang di ranjang, lalu dokter menyenteri tenggorokan saya (yang waktu itu juga sakit), lalu tanya-tanya sebentar, dan sudah selesai. Begitu mengambil obat, eh, ternyata obat saya sama persis dengan obat teman saya yang meriang itu. Kata dokternya, "Kamu kecapekan, nih, jadi saya beri multi-vitamin, ya." Jeng-jeng-jeng, padahal saya merasa kalau pilek saya itu sudah parah, bukan pilek biasa lagi, apalagi cuma karena kecapekan! Soalnya saya bersin tiap hari, berarti saya kecapekan tiap hari? Tapi nggak tiap hari pilek saya separah ini!

Hanya multi-vitaminnya yang saya minum, karena obat lainnya adalah paracetamol yang bikin ngantuk. Beberapa hari setelah itu, saya periksa ke dokter THT di RSA (Rumah Sakit Akademik) UGM. Di sana, begitu mendaftar, saya disambut oleh petugas front office yang ramah. Meskipun sempat bosan karena menunggu lama sekali sebelum dipanggil ke ruang periksa, rasa bosan itu terbayarkan setelah si dokter memeriksa hidung saya dan berdialog dengan saya dengan ramah dan menyenangkan.

"Jadi, sudah tahu belum, penyakitnya apa?" ujar dokter sambil tersenyum, setelah memeriksa hidung saya.

"Belum, Dok."

"Awalnya kamu ini memang alergi, rhinitis, tapi kalau dibiarkan terus bisa jadi parah, contohnya bisa tumbuh polip hingga harus dioperasi. Saat ini, selain rhinitis, kamu juga sinusitis akut. Untungnya bukan kronis."

(akut = timbul secara mendadak dan cepat memburuk; kronis = menahun; tidak sembuh-sembuh)

Ya, obatnya memang MAHAL sekali, dan mengantri ambil obatnya juga LAMA, tapi setidaknya saya mendapat senyum ramah dan diagnosis yang meyakinkan. Selama minum obat itu, saya sama sekali tidak bersin-bersin.

Kemudian, masalah "ramah". Saya sama sekali tidak setuju, karena menurut pengalaman saya, mereka tidak pernah ramah. Bisa jadi para civitas akademik UGM lain setuju, karena mungkin itu pas nasib mereka baik, sehingga dapat dokter jaga yang ramah.

Tadi sore saya kembali ke klinik GMC untuk meminta surat rujukan untuk kontrol (lumayan sekali, dapat diskon 75% kalau pakai surat rujukan). Nah, untuk minta surat rujukan ini harus bertemu dengan dokter dulu, yang akan membuatkannya. Begitu masuk ke ruang periksa-1 yang pintunya terbuka, saya menjumpai seorang dokter perempuan yang raut mukanya dingin. Hmm, bukannya seharusnya dokter bersikap ramah pada setiap pasiennya? Saya lalu berpikir, mungkin Mbak dokternya lagi menstruasi, atau lemes lagi puasa. Hmm, tapi itu bukan alasan untuk jadi tidak profesional, menurut saya.

"Silakan duduk," katanya, lalu melihat layar komputer yang terbenam di meja, sebelum melihat saya dan bertanya, "keluhannya apa?"

"Rhinitis," jawab saya.

Si dokter melihat saya, masih dingin, benar-benar nggak ada senyum di mukanya. "Saya tanya, keluhannya apa?" tanyanya lagi dengan nada meninggi dan sangat MENYEBALKAN.

"Alergi debu, tiap hari bersin-bersin gitu," jawab saya, mulai sebal. "Saya cuma mau ngembaliin surat rujukan--"

Si dokter menyela dengan mengambil surat rujukan balik dari saya. "Ini dikasih ke depan (maksudnya front office)." Waktu berkata begitu, nadanya ketus. Maaf sebelumnya, saya tidak mengada-ada.

Saya jadi tidak sabar. Saya ke situ cuma mau minta surat rujukan lagi, bukan mau periksa. Apa mungkin saya dikira sok pintar karena waktu ditanya keluhan, saya jawabnya rhinitis? Mungkin salah saya juga, sih, soalnya saya enggan menjelaskan panjang lebar pada si dokter yang tidak ramah itu.

"Saya mau minta surat rujukan."

"Buat apa?"

"Kontrol."

Hening. Si dokter mengetik-ngetik di komputernya, lalu mengambil surat rujukan kosong dan mulai menulis di atasnya. Saya sudah bertekad akan mengucapkan "terima kasih" dengan ramah sebelum keluar nanti, meskipun dia tidak ramah pada saya. Eh, waktu memberikan surat rujukan itu, dia tetap dingin seperti tadi. Walhasil, saya nggak jadi bilang "terima kasih" karena sudah telanjur kesal sekali. Lantas saya berjalan keluar dengan langkah cepat dan wajah muram.

Untungnya, penyakit saya cuma di hidung. Coba kalau ada pasien yang sakitnya lebih parah daripada saya, sudah badannya sakit, harus menerima perlakuan yang tidak ramah dari si dokter. Kepercayaan pasien otomatis jadi berkurang drastis. Padahal, menurut saya, sugesti yang berawal dari rasa percaya juga berperan dalam kesembuhan si pasien itu, ya, nggak, sih? (Kalau salah mohon dikoreksi.) Mungkin ini pas sialnya saya saja, sehingga mendapatkan dokter yang sedang tidak ceria, karena menurut teman kos saya, layanan dokter di klinik GMC sekarang sudah lebih mending daripada dulu. (Teman kos saya ini dulu pernah periksa di GMC dan salah diagnosis. Ususnya radang cukup parah, tapi waktu periksa ke klinik GMC, cuma dianggap sakit perut biasa karena maag. Memang benar pesan dari artikel berikut, kalau periksa ke GMC sebaiknya untuk penyakit yang ringan-ringan saja. Tapi kategorisasi "ringan-berat" itu juga perlu didefinisikan dengan jelas. Penyakit yang terlihat ringan bisa jadi ternyata parah, kan?)

Pesan moral untuk diri sendiri: saya tidak akan mau periksa ke klinik GMC lagi, kecuali mengurus masalah surat rujukan. (Sebut saja saya menjilat ludah sendiri, tapi biarin. Lagi pula surat rujukan itu, kan, hak saya sebagai mahasiswa UGM.) Sekian, terima kasih.

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun