Mohon tunggu...
Frida Kurniawati
Frida Kurniawati Mohon Tunggu... Mahasiswa, penulis, book reviewer -

Seorang mahasiswi (menuju) semester akhir Jurusan Teknik Fisika UGM, yang lebih suka menulis (fiksi, review, apa aja, deh) daripada bikin sensor arah angin. Tapi, dia nggak merasa salah jurusan lho.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kora-kora Pertama

7 Januari 2015   01:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:40 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1419845517178143743

Coba tebak, perahu apa yang bisa bikin kamu mabuk darat? Ya, mabuk darat, bukan mabuk laut atau mabuk sungai—

Apa? Ya? Ada yang tahu? Ya, ya, kamu benar!

KORA-KORA.

Kora-kora sebenarnya nama sejenis kano tradisional dari Maluku. Namun, barangkali kamu malah lebih sering mendengarnya sebagai nama salah satu wahana permainan yang ada di taman-taman bermain. Barangkali kamu akan mencibir pada saya, yang selama lebih dari dua dekade hidup saya di dunia ini, inilah kali pertama saya mencicip kora-kora. Setiap ke taman bermain, paling banter saya hanya naik bianglala—yang lainnya apa, ya? Saya lupa. Hmm, kenapa bianglala? Karena menurut saya, itu wahana yang agak menantang, tapi juga yang paling tidak mengerikan (di antara wahana sejenis, yang mengangkat kamu ke udara, misalnya Tornado, Halilintar, roller coaster, kora-kora). Nah, anehnya, salah satu teman saya (sebaiknya kamu sebut dia A-, bukan A+), takut banget naik bianglala. Begitu turun, dia gemetaran hebat, berkeringat dingin, dan pias sedemikian rupa sampai kulit sawo matangnya berubah jadi putih.

Si A- ini memang suka menantang diri sendiri, atau memang agak nggak waras. Pada satu kesempatan di hari Senin malam, tanggal 22 Desember 2014, dia mengajak saya ke Sekaten di Alun-alun Utara Yogyakarta.

“Ayo!” ajaknya dengan mata berbinar, hingga saya curiga.

“Apa?”

“Ayo naik Kora-kora!”

Mata saya menyipit. “Yakin? Sama bianglala aja K.O.!”

Kedua tangannya saling meremas. “Nggak, berani, lah! Masa gitu doang aku nggak kuat....”

Saya mencibir, tapi akhirnya menurut saja. Memasuki arena permainan, kami berhenti di depan sang Kora-kora yang sedang berayun-ayun kencang. Saya tahu ayunan itu cukup ngeri dari suara teriakan  yang bersahutan dan nggak berhenti dari penumpangnya.

“Kamu udah pernah naik belum?”

“Belum, sih. Tapi kayaknya seru.”

Ayunan berhenti. Para penumpangnya turun. Salah seorang gadis melewati tempat saya berdiri, berceletuk pada temannya, “Sumpah, gue nggak bakal mau naik itu lagi!”

Pandangan saya beradu dengan si A-, yang tampaknya juga mendengarnya. Saya malah makin penasaran, semengerikan apakah, wahai dikau, Kora-kora?

“Gimana, jadi, nggak?” tanyaku pada A-.

“Kita lihat dulu—lagi, ya,” ujarnya dengan nada menggantung. Putaran kedua. Kami berkeliling dulu, menemukan beberapa wahana Kora-kora lainnya, hanya untuk kembali lagi ke Kora-kora pertama. Sekali lagi kami menonton, dan saya nyaris merasa muak. Mungkin saya akan muntah duluan sebelum naik Kora-kora. Putaran itu berhenti, dan akhirnya saya membeli dua tiket, seharga @ 8.000 rupiah. Mas-mas pawang Kora-kora menyuruh kami lekas naik, dan kami memilih bangku paling dekat dengan bagian tengah. Kalau di ujung, sepertinya bakal lebih menyakitkan karena ketika berada di titik tertinggi, energi potensialnya yang paling besar. Jadi ketika jatuh ke posisi terbawah, rasanya akan paling sakit.

Wush. Wush. Pelan. Pelan. Saya mulai berteriak. Si A- yang duduk di sebelah saya, paling pinggir, juga berteriak.

Agak kencang. Wush-wush. Adrenalin saya mulai terpacu ke seluruh tubuh. Teriakan saya makin membabi-buta. Saya bisa merasakan kaki kiri A- yang mepet dengan kaki saya, gemetaran. Saya menepuk-nepuk bahunya, seolah saya sendiri baik-baik saja.

WushwushwushWUSHHHHHH. Krieeeettt. Sangat KENCANG! Saat di ujung tertinggi, saya melihat ke para penumpang di sisi terbawah dan membayangkan bagaimana seandainya jika saya terjatuh ke sana. Imajinasi saya ini bukannya tak berdasar. Besi pengaman bangku kami benar-benar tidak aman. Saya merasa bisa terjatuh ke bawah kapan saja, jika saya tak mengusahakan tubuh saya menempel sedemikian erat ke bangku.

WUSH! Tubuh saya ditarik tiba-tiba ke bawah. GLEK! Isi perut saya ikut tertarik. Teriakan saya makin gila. “MAK’E! MAK’E!!!!!” Sambil tertawa ketakutan, air mata saya menggenangi sudut mata. Makin kencang teriakan saya, makin seru rasanya! Tibalah saya di momen ketika ketakutan saya tersudut di titik tertinggi. Kapankah ayunan mematikan ini akan berakhir? Rasanya kok nggak selesai-selesai, pikir saya, sembari memandangi daratan di bawah, dan saya bergidik ngeri tiap kali tubuh saya diseret ke bawah. Terempas. Setiap sentimeter persegi kulit saya terasa nyeri, oleh udara dingin, dan juga ketegangan saraf.

Lantas, sikap saya berbalik ketika memejamkan mata. Teriakan-teriakan saya tertelan, hanya menyisakan tubuh yang pasrah terhadap ayunan sang Kora-kora. Saya meresapi tiap rasa, bagaimana rambut saya terembus angin, kepala saya terayun ke depan-belakang seiring pergerakan Kora-kora, cengkeraman saya pada pegangan besi tak lagi seobsesif tadi.... Semenjak itulah, saya merasa menyatu dengan si Kora-kora. Ayunannya yang tadinya mengerikan, kini malah terasa membuai. Nyaris bikin ngantuk. Lantas, mata saya terbuka begitu kecepatan ayunan berkurang hampir berhenti. Saya mengerjap, menyingkirkan bekas air mengering tertiup angin di sudut mata. Dan... saya tersenyum.

Di tanah. Tubuh A- gemetaran, wajahnya pucat, tapi tidak sampai berkeringat dingin. Untuk berjalan, ia harus menyeret kaki-kakinya yang masih gemetaran—juga. Saya menemaninya, cukup lama rasanya, duduk, lalu jongkok di trotoar. Beberapa kali ia mencoba muntah, tapi tak ada wujudnya, kecuali mual yang masih bersisa di sudut lambungnya. Saya juga masih merasakan sekujur kulit saya yang terbuka berkedut-kedut, tapi mual absen pada saya.

Saya—dan A- sendiri—sudah tahu bahwa ia pasti akan begini setelah naik Kora-kora. Itulah risiko yang harus kami tanggung demi tercapainya suatu pengalaman baru. Dan pemahaman baru: ketika naik Kora-kora (mungkin juga permainan lainnya) yang bikin ngeri sebenarnya adalah teriakan-teriakan kita sendiri, yang memacu adrenalin. Kalau kita mencoba pasrah dan menyatu dengan ayunan Kora-kora, memejamkan mata, terdiam, maka ia nggak ngeri sama sekali. Well, tapi, kalau kayak begitu, jadinya nggak seru! Ya, ya, keseruan itu timbul dari kocokan adrenalin kita sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun