Akan tetapi, pukul enam pada pengumuman itu sebenarnya adalah pukul 4 sore WIB. Pada masa pendudukan Jepang, mereka menggunakan aturan-aturan, seperti menerapkan waktu Tokyo sebagai acuan zona waktu, penggunaan sistem kalender, dan merubah arah kiblat sholat umat Muslim, bukan menghadap Makkah, tapi mengarah ke Tokyo.
Rapat raksasa yang semula akan diadakan pada 11 September, ditunda. Informasi ini juga diketahui dari surat kabar Soeara Asia. Namun, dua hari kemudian, surat kabar itu mengakhiri penerbitannya, sehingga tidak ada lagi pemberitaan tentang pelaksanaan rapat raksasa di Tambaksari.
Namun beruntungnya, surat kabar Soeara Merdeka dari Bandung memuat peristiwa rapat raksasa Tambaksari, berbarengan dengan laporan peristiwa rapat raksasa di Lapangan Ikada. Pemberitaan itu terbit pada 20 September 1945.
Dari dokumentasi Soeara Merdeka, rapat raksasa Tambaksari diadakan pada  13 September 1945, sedangkan rapat di Pasarturi diselenggarakan pada 17 September 1945. Dari dua peritiwa rapat tersebut, mampu mengobarkan keberanian dan semangat rakyat Surabaya.
Kibaran bendera Merah Putih segera menyebar di mana-mana. Dua hari kemudian, yaitu 19 September 1945 sekelompok orang Belanda yang dipimpin oleh Ploegman mengibarkan Merah Putih Biru di atas menara Hotel Yamato (kini Hotel Majapahit).Â
Keberanian  Ploegman ini, selanjutnya mendapatkan kehormatan sekaligus kerugian, dia menjadi orang Belanda yang pertama tewas selama periode perang mempertahankan kemerdekaan (1945-1949), antara Indonesia melawan Belanda.Â
Dari Kota Pahlawan, gelora semangat semakin membara dan mulai menjangkiti ke seluruh penjuru negeri. Kemudian, berakhir di meja perundingan empat tahun berselang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H