Revolusi Industri 4.0 yang digemakan dalam acara Hannover Fair pada 2011 telah membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia yaitu dengan hadirnya transformasi digital. Tapi sebenarnya konsep teknologi informasi dan komunikasi sudah lebih jauh diperkenalkan pada 1998 dan didefinisikan oleh OECD (2002) sebagai kombinasi industri manufaktur dan jasa yang menangkap, mengirimkan dan menampilkan data dan informasi secara elektronik.Â
Lantas, apa saja sebenarnya perubahan yang terjadi dalam Revolusi Industri 4.0? Dalam era ini, kemajuan teknologi telah melahirkan berbagai produk cerdas nan disruptif seperti Internet of Things (IoT), Big Data, Artificial Intelligence (AI), Cloud Computing dan Additive Manufacturing.Â
Kemajuan yang berkembang pesat telah melahirkan banyak inovasi teknologi yang berdampak signifikan pada perubahan sosial, ekonomi dan budaya, termasuk dalam hubungan pribadi, perilaku konsumsi, sistem produksi, mekanisme pemasaran, distribusi dan tenaga kerja. Dari konsep inilah akhirnya lahir fenomena baru bernama ekonomi digital (Tapscott, 1995).Â
Don Tapscott dalam bukunya yang bertajuk The Digital Economy: Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence memaparkan jika ekonomi digital adalah kegiatan ekonomi yang berlandaskan pada teknologi digital internet. Ekonomi digital memiliki sebutan lain seperti ekonomi internet, ekonomi berbasis web, ekonomi berbasis digital, ekonomi baru berbasis pengatahun atau ekonomi baru.Â
Masih menurut Tapscott, ekonomi digital memiliki sejumlah karakteristik seperti adanya digitasi, virtualisasi, molekulerisasi, internetworking, disintermediasi, konvergensi, inovasi dan globalisasi yang merujuk pada perubahan dalam era digital.Â
Dari pernyataan tersebut, Marcus, Weinelt dan Goutrobe (2015) semakin menguatkan fakta  jika ekonomi digital adalah sebuah fenomena baru yang kehadirannya semakin penting karena pertumbuhannya meningkat di seluruh dunia. Menurut Gardin (2002), ekonomi digital terbentuk karena adanya konvergensi antara komunikasi, komputasi dan informasi yang menciptakan pasar, industri, bisnis dan praktik kerja.Â
Tulang punggung ekonomi digital adalah hiper-konektivitas yang menciptakan keterkaitan orang, organisasi dan mesin yang berbasis pada lima pilar penting yaitu Internet of Things (IoT), Big Data, Artificial Intelligence (AI), Cloud Computing dan Additive Manufacturing. Menurut Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi, disrupsi teknologi sangat penting dalam ekonomi digital.
Bayangkan saja, di Indonesia sendiri pertumbuhan ekonomi digital terus melesat setiap tahunnya. Menurut riset dari Google, Temasek, Bain & Company, ekonomi digital di Indonesia diramalkan akan mencapai US$44 miliar pada tahun ini dan akan terus tumbuh hingga US$124 Â miliar atau sekitar Rp 2.080 triliun pada 2025. Sedangkan jika dilihat dari kacamata produk domestik bruto (GDP), ekonomi Indonesia mencapai Rp15.400 triliun dan akan tumbuh mencapai Rp. 24.000 triliun gingga Rp. 30.000 triliun pada akhir 2030.
Sektor yang berkontribusi atas pertumbuhan ini adalah perdagangan elektronik atau e-commerce dengan 34 persen atau sekitar Rp1.908 triliun. Kemudian disusul sektor pendidikan sebesar 3 persen dengan nilai Rp160 triliun dan kesehatan sebesar 8 persen dengan nilai sekitar Rp. 476 triliun.
Di tengah peluang pertumbuhan ekonomi digital yang tinggi, ternyata masih banyak kendala yang saat ini dihadapi oleh Indonesia. Konsentrasi terbesarnya terletak pada sumber daya manusia (SDM). Dalam riset McKinsey dan Bank Dunia, Indonesia membutuhkan sekitar sembilan juta talenta digital selama 2015 hingga 2030 untuk memberikan kontribusi lebih dalam pertumbuhan ekonomi digital. Artinya, Indonesia harus melahirkan 600 ribu ekspertis di bidang digital setiap tahunnya.Â
Kondisi ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah karena Indonesia dihadapkan dengan fakta kalau pengembangan dan kesiatapan information and communication technology (ICT) yang masih rendah. Jika mengacu pada ICT Development Index (IDI) oleh International Technological Unit (ITU), Indonesia berada di peringkat 108 dari 167 negara. Peringkat ini dihitung dari berbagai aspek seperti kemampuan mengakses ICT, pemanfaat ICT dan keahlian dalam bidang ICT. Setelah dikalkulasikan, posisi Indonesia masih berada jauh di bawah Thailand, Malaysia dan Singapura.Â
Untuk menangani hal ini, pemerintah dan para pelaku digital pun tak berpangku tangan saja. Banyak program yang disiapkan agar target untuk melahirkan talenta digital tercapai. Salah satunya adalah Program Digital Talent Scholarship (DTS) yang disiapkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan memberikan beasiswa kepada generasi muda untuk mendapat pelatihan intensif tentang Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), Machine Learning, Big Data Analytics dan Cloud computing.
Ekonomi digital adalah fenomena baru yang tak terbantahkan lagi keberadaannya. Dengan segala potensi yang dimiliki Indonesia, negara kita berpeluang besar menjadi pemain utama dalam peta ekonomi digital dunia. Namun, hal tersebut dapat terealisasi jika pekerjaan rumah utama yaitu meningkatkan kualitas SDM melek digital dapat teratasi.Â
Rizky Kurniawan - Mahasiswa Manajemen Universitas Siber Asia 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H