Dieng masih terbayang-bayang membuatku sering berkunjung ke kenangan kita di sana. Aku terus mengingat-ingat setiap jengkal perjalanan kita dari Kanzus sampai Batur, sesekali melirik jilbab hitam yang pasrah dihempas angin dari spion. Indah sekali.
Ren, biru langitKanzus-Dieng, bagiku inilah Tarimku. Menghadiri majelis maulid serta majelis ilmu, lalu berkunjung ke tempat bersejarah seperti Sapuro maupun Masjid Wakaf adalah seperti ziarah ke Zanbal maupun Huraidhah. Lalu ke Dieng sama halnya ke desa Tayyeb di Harraz, Sana'a, Yaman. Desa tertinggi yang tak pernah turun hujan sebab lokasi desa yang jauh lebih tinggi dari awan sehingga tak pernah dilalui hujan. Bedanya, Dieng tetap hujan yang selalu menjadi kenangan.
Hadirnya dirimu dengan abaya dan hijab hitam nan lebar melengkapi nuansa Tarim saat itu. Kita pernah bercita-cita ke sana dulu di awal kenal, tapi langit Dieng seolah bicara cukup di sini saja. Aku sendiri menyadari bahwa Tarim mungkin menolak pendosa sepertiku agar negeri seribu wali itu tetap suci. Cukup bagiku mencintai negeri itu dengan segala pesona dan penduduknya.
Sinar lembut mentari Batur dan dingin yang khas menjadikan obrolan kita selalu hangat, wajah teduhmu membuatku mencintai taman di atas Candi Arjuna yang sebelumnya taman itu hanya taman biasa. Sejak dudukmu di tempat itu, segala tentang taman itu menjadi sempurna dengan sinar matahari yang lembut, teduh, udara sepoi-sepoi, dan pemandangan menakjubkan yang sulit dilupa meski gratis.
Tumblr merah bertuliskan Bapenda kota Semarang yang berisi kopi tahil, dua gelas cangkir kecil, beberapa bungkus jajan menjadi saksi sekaligus teman yang turut mendengarkan obrolan demi obrolan yang memohonkan ampun tiap kesalahan kita dan menjadi saksi atas obrolan berfaedah dari lisan kita.
"Empat tahun kita bersama, Mang." Katamu, aku segera  pulang ke masa itu, masa di mana aku masih melihatmu sering bercelana, memakai kaos strip, keras kepala, mementingkan pekerjaan daripada kebersamaan, tidak menghargai waktu orang lain, hingga semua itu menjadi sesal oleh pengalaman tak menghadiri majelis Ummu Salim dan kebiasaan dosen sholih yang senantiasa meminta maaf telah meminta waktu mahasiswanya meski hanya beberapa menit.
Di taman itu sangat indah, bukan, Ren? Padahal masih banyak destinasi yang visualnya jauh lebih indah tapi mungkin sedikit yang menawarkan suasana romantis seromantis taman itu. Bahkan hal remeh seperti menguji kesehatan mata dengan melihat candi Arjuna yang jauh dan membaca angka di botol mineral dengan mata kiri pun meninggalkan kesan tersendiri.
Kita berbincang dengan pasokan udara sangat sejuk dan segar yang menyehatkan paru-paru kita, sudah lama paru-paru merindukan udara sesejuk itu dan kita lupa mensyukurinya. Kesejukan itu masih kalah sejuk dengan cerita-ceritamu tentang Tarim. Hanya saja hatiku tak selembut dulu yang sering kali kisah darimu membuat mataku berembun.
Bunga-bunga di taman itu menolak layu sebab hadirmu, padahal aku menyangsikannya ketika kita beranjak dari warung soto. Sepuluh hari sebelum kita duduk di taman itu, aku di sana bersama bunga-bunga bermekaran yang harusnya seminggu setelahnya layu. Tapi, bunga-bunga itu seperti atsar 'Aina yang mencemburui bidadari bumi yang bernama wanita.
Benar, Ren! Bunga-bunga itu penasaran dengan wujudmu yang mungkin sudah menjadi perbincangan penduduk langit sebab kau mencintai orang-orang yang disanjung di langit, bahkan sesekali kau bakar bukhur yang wanginya membelah langit. Karenanya, Aina turun menjelma bunga dan menyaksikan sendiri mengapa kau layak dicemburui.
Catatan Aina menyebutkan bahwa kilaumu bagai intan hitam, hijab panjangmu yang tersapu angin bagai kepak sayap gagak yang menjadi identitas wanita pengikut Sayyidah Fathimah, wajah teduhmu dengan sinar yang pancarannya tak menyilaukan seperti ufuk berpulangnya purnama Dzulhijjah. Tawamu yang sumbang dan tingkahmu yang aneh mendeskripsikan bahwa kau masih manusia.
Aku sendiri banyak berkhayal seandainya jasad yang ada di balik abaya dan hijab serba hitam itu istriku, kukatakan pada Aina dengan bangga bahwa ini istriku yang akan menjadi pemimpin bidadari. Tanpanya, Aina takkan turun ke bumi dan menumbuhkan bunga-bunga jelmaannya. Ya, artinya bunga-bunga itu tumbuh dan tetap mekar karenamu, Ren.
Itu sebabnya mengapa kamera ponselku menangkap perpaduan indah antara bunga-bunga biasa di taman dengan langit biru tanpa noktah, kau hadir menyempurnakannya hingga taman itu menjadi Tayyeb, sebongkah tanah kahyangan yang jatuh dan kau bidadari yang turut jatuh dan berkeliaran di bumi.
Dieng seperti menjadi tempatmu pulang, rumah yang selama ini kau rindukan. Segala penyakit dunia sirna hanya dengan suasana yang bernuansa kahyangan itu, kita pun menyepakati bahwa penyakit itu timbul dari pikiran dan kegiatan kita. Satu yang masih kusesali, kopi maulid kecintaan Habib Anies Al-Habsyi kau tolak karena alasan penyakit duniawi.
Tak apa, biarkan Aina tertawa sebab tawa Aina sendiri adalah keindahan, sebab tawanya ... bunga-bunga kian semerbak mewangi hingga ke ujung negeri. Aina menertawai kebodohanmu sebab menolak apa yang dicintai idola penduduk langit.
Turun ke lembah Sigembok melewati tol kahyangan yang keindahannya selaras dengan bahayanya, kanan kiri jurang maha dalam dengan cuaca sangat cerah. Tempat ini yang sudah lama kuidamkan bercengkerama denganmu menikmati sensasi kopi asli Tombo dengan syahdunya udara yang turun dari Sipandu, menikmati pemandangan tiga kota yang tampak kecil dari sana.
"Tidak berhenti sebentar untuk foto?" tanyamu di tengah cerahnya jalan Sigemplong yang seolah menyerupai tangga menuju surga. Kita dikejar waktu sholat yang mepet, kita pun lupa harusnya sudah boleh jama' ta'khir saking takutnya diinterogasi ibumu. Tak cukup waktu sehari, bukan?
Kita sholat di mushola yang teduh di bawah rimbunnya pinus Sigembok, air yang sejuk dan suasana damai terasa sangat biasa sebab keindahan taman di atas Candi Arjuna dan tangga surga Sigemplong memudarkan segala keindahan tempat lain. Aku ingin sekali tinggal di sana.
Lanjut turun berpacu dengan hujan, kita berhenti sejenak di mushola kecil sambil memeriksa penyebab kulit wajah dan sebagian tubuhmu bentol-bentol. Kupikir, ini bukan ulah ulat atau binatang lain, tapi perubahan suhu yang kita alami dari rumah yang dingin, ke Kanzus yang panas, kemudian kembali dingin. Kulitmu yang manja dan tak terbiasa dengan perjalanan semacam ini, pasti bermasalah.
Setelah dirasa reda, kita lanjut perjalanan pulang dengan mengamati bagaimana Tuhan membagi rezeki sebagaimana di Andongsili. Kita digiring menuju ke tempat mie ayam yang sepi, hanya ada kita berdua dan anak dari penjual mie ayam ... kita sampai tempat ini karena hujan yang juga membuat kita lapar.
Di sela makan, kita melihat hasil video yang membuatmu terkesima. Indahnya bunga-bunga, gunung, langit, dan bidadari dengan abaya dan gamis hitamnya yang begitu sempurna. Cukup menghilangkan suara asli video, sudah menjadi sesuatu yang paling estetik.
Ren, aku menulis ini dalam suasana hati yang hancur, jiwa yang sepi, hujan deras disertai petir di malam hari, ditemani 'Lirih'-nya Ari Lasso, lengkap sudah. Lalu mengingat delapan Juli lalu sedikit menenangkan hati, karenanya aku ingin mengulang ke sana dengan orang yang sama. Benar katamu, beda orang ... lain cerita.
Â
Pembaringan, 3 Agustus 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H