Mohon tunggu...
Kiky Rifky
Kiky Rifky Mohon Tunggu... Freelancer - Writer

Menulis untuk hidup abadi.

Selanjutnya

Tutup

Love

Surat untuk Renny 2

12 Januari 2023   10:44 Diperbarui: 12 Januari 2023   10:58 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Love. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Prostooleh

Kliwonan itu rupanya Kliwon terakhir kita bersama?

Ren, Kliwon kemarin adalah Kliwon yang sangat kuharapkan bersamamu di akhir tahun, berharap berakhir pula masa kesendirian kita. Namun rupanya kau tak sendiri.

Kubayangkan abaya hitam itu duduk di samping mobil yang terparkir di seberang Indomaret dekat Kanzus, atau berjalan beriringan di antara kerumunan sambil mencari motor, dan kubawa jasad dalam abaya itu menuju kahyangan tempat favorit kita.

Mimpi tetaplah menjadi mimpi.

Bermula dari penolakan-penolakan setelah kalimat 'aku tak bisa menolak jika kau yang mengajak' sepertinya perlu seribu ahli tafsir sekelas Ibnu Katsir atau Jalaluddin sang mufassir. Jika hanya dipikir, aku bisa kenthir.

Apatah makna kerja keras demi mencicil mahar atau mas kawin jika untuk bertatap muka saja perlu sejuta drama tanpa skenario, apalah arti penantian di ujung titian kelulusan jika yang dituju adalah hati yang lain? Hati ini remuk menjadi puisi tanpa naskah, yang ada hanyalah noktah-noktah yang maknanya entah.

Kontrak satu kerjaan usai, mencari kerjaan lain yang bisa seprofesi denganmu pun sudah kuusahakan, sayangnya kau tak berminat. Mungkin sedang sibuk tugas akhir, batinku. Biarlah, aku mencari kerja di tempat lain yang lebih berkah agar niatku kian mantap sakinah mawaddah wa rahmah, nyatanya ... asudahlah.

Ren, aku rindu kau yang dulu. Hangat, ceria, aneh, cempreng, cerewet ... tiba-tiba dingin, hening, hilang. Aku sudah cukup dingin, jangan ditambah dingin. Takut jika komunikasi kita membeku dan kini benar-benar terjadi.

Kliwon akhir tahun kemarin, rupanya menyakitkan tanpamu. Aku tersiksa oleh kerinduan, setiap bayangan yang kulihat senyummu, setiap tubuh dengan abaya hitam dan pashmina, kuyakini dirimu. Setiap alunan mahallul qiyam, kudengar suaramu dengan tetes air mata menganak sungai di pipimu, terlampau bening hingga kuyakini ada Tuhan di wajahmu. Setiap langkah perempuan, kukira langkahmu yang menggandengku menuju surga-Nya.

Kau tau? Di seluruh doaku semenjak kita bermajelis bersama, namamu tak pernah luput kusebut dalam doa. Seperti Kliwon terakhir saat sholat Jum'at di Pantura, aku merasa kau istri yang menunggu suaminya. Karenanya, di setiap khatib duduk di antara dua khutbah, namamu dan pahlawanmu menjadi alasan tanganku menengadah. Semoga Allah mengijabah. Nyatanya ... entahlah.

Kehampaan menyelimuti hari-hariku. Kosong. Aku terlalu nekat melanggar pintamu agar jangan main hati, meski hati-hati tetap saja upahnya patah hati. Pada hati yang paling patah, pada takdir aku menyerah dan mengaku kalah.

Malam menjadi kawan paling pengertian, menawarkan kesejukan dan kedamaian, tapi aku tak tertarik. Aku hanya membutuhkanmu, Ren! Meski hal itu menjadi sesuatu yang paling mustahil saat ini. Keajaiban-keajaiban yang pernah kejadian di kisah kita hanya bakal jadi sampah sejarah.

Seusai Subuh tubuh berlabuh, roh menyelami impian yang lagi-lagi, lagi, dan lagi menghadirkan sosokmu dalam mimpi. Meski bunga tidur, aku selalu terbangun dalam keadaan sesak nafas. Kau tau artinya, Ren? Tak hanya hatiku yang tersakiti dengan sikap dinginmu, tapi juga tubuhku.

Tak mengapa jika itu membuatmu bahagia. Bahagiakan pula Az-Zahra beserta ayahnya, juga anak cucunya. Dulu aku memintamu bergandeng tangan denganku menuju surga, kini kau gandeng orang lain dan aku digandeng siapa?

Berkali-kali aku kehilangan, tapi tak sesakit ini. Berjuta kenangan, perjalanan, perbincangan, dan banyak hal di empat tahun ini mustahil tak membawa rasa, karenanya hati telah sampai di titik paling patah. Maaf tak bisa kubohongi rasaku.

Di bawah hujan bersamamu malam itu, Podomoro masih ada sampai saat ini, menjadi saksi Amang-Renny. Salak sepet hingga menjadi ciri khasmu di pondok. Juga malam sepulang dari Pinus melewati hutan belakang SMA, kau ketakutan sampai membentakku untuk diam, aku merasa menjadi lelaki sejati yang kehilangan rasa takut sebab spontanitas melindungimu.

Kini, untuk mie ayam saja selalu tertunda, entah untuk selamanya atau entah kapan waktunya. Tak lagi muluk berharap Ujungsenja atau langit Banjarnegara. Segala menjadi fatamorgana oase Sahara.

Biarlah kututup tahun dengan duka, membukanya dengan luka. Semoga kau berbahagia selamanya, Ren. Min Awwel Dekika, Tak akan ada cinta yang lain, Lirih. Dan lagu Zaujati yang sedang kuhafal untuk kulantunkan di hadapanmu kelak (tapi itu hanya mimpi), menjadi saksi bahwa aku mencintai apa yang kau cintai.

Mimpi yang paling sederhana dan kusederhanakan adalah menjadi sosok bayangan pahlawanmu yang menghapus air matamu menjadi panjatan doa bersama untuknya setiap sholat, setiap majelis, dan setiap hening malam menyapa.

Tapi, kini aku bukan siapa-siapa.

Selamat berbahagia di duaribu dua puluh tiga.

_________Bandar, 12 Januari 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun