Cogito Ergo Sum
Aku berpikir maka aku ada
Mungkin Descartes tidak pernah menyangka pada kali pertama kalimat ini ia ciptakan pada masa depan akan dikutip ratus ribuan kali oleh umat manusia seluruh penjuru dunia.
Bahkan kalimat ini dikaji lebih mendalam kemudian dimaknai secara dalam oleh banyak pemikir-pemikir dunia setelahnya. Bahkan sampai abad ini namanya masih ada di buku filsafat, sastra, dan pemikiran sosial lainnya.
Jika dimaknai lebih lanjut, kalimat ini sebenarnya dimaksudkan Descartes untuk membuktikan bahwa satu hal yang 'pasti' atau absolut di dunia ini adalah 'keberadaan' seseorang. Lebih lanjut ia berupaya mencari kebenaran dengan cara negasi, yakni meragukan hal itu demi menemukan kebenaran.
Descartes berpikir bahwa dengan cara meragukan semua hal termasuk dirinya sendiri tersebut, dia telah membersihkan dirinya dari segala prasangka yang mungkin menuntunnya ke jalan yang salah.
Sampai di sini, Descartes tiba-tiba sadar bahwa bagaimanapun pikiran mengarahkan dirinya kepada kesalahan, namun ia tetaplah berpikir. Inilah satu-satunya yang jelas. Inilah satu-satunya yang tidak mungkin salah. Maksudnya, tak mungkin kekuatan tadi membuat kalimat "ketika berpikir, sayalah yang berpikir" salah.
Dengan demikian, Descartes sampai pada kesimpulan bahwa ketika ia berpikir, maka ia ada.
Pemikiran Descartes kiranya sejalan dengan para pemuda yang membuat gempar beberapa bulan kebelakang. Bedanya kalau Descartes mengamini bahwa berpikir menekankan keberadaan dirinya, pemuda ini tidak berpikir (yang berarti juga berpikir dalam artian lain) saat melakukan klitih untuk menekankan keberadaan dirinya.Â
Para pemuda ini yang disebut sebagai klitih membuat gempar Yogyakarta. Bahkan sampai saat ini sesekali terdengar gaungnya. Bagaimana tidak, apa yang mereka lakukan sangat membahayakan karena melukai orang tanpa sebab yang jelas. Hal ini membuat masyarakat Yogyakarta resah, gundah, dan gulana.
Yang jelas kelakuan para peng-klitih ini meresahkan masyarakat. Tidak jelas apa motif yang diinginkan para pemuda ini. Mereka tidak merampas barang berharga, kendaraan, atau apa yang melekat di dalam para korbannya.
Fakta yang paling menyakitkan, yaitu para peng-klitih ini kebanyakan berusia belasan tahun. Sungguh ironi jika melihat umur yang seharusnya mengerjakan pekerjaan rumah, main futsal, atau main game online, malah main parang menebas sembarang orang.
Seperti yang dikatakan Descartes yang meragukan akan keberadaan dirinya, saya pikir ini sejalan dengan keraguan para pelajar ini memandang eksistensinya di tengah masyarakat ia tinggal. Kehadiran akan keberadaan atau eksistensinya membutuhkan pengakuan karena keraguannya akan 'keberadaan diri.'
Perasaan tidak diakui, tidak diperhatikan, atau tidak dianggap bisa jadi menjadi awal penyebab krisis eksistensi. Keraguan akan keberadaan dirinya, eksistensi dirinya melahirkan suatu pembuktian dengan cara melukai seseorang tanpa sebab, tanpa merampas, dan tanpa kenal siapa orang tersebut.
Keluarga sebagai lembaga paling intim pada individu seharusnya merangkul dengan bersahabat, hangat, pada para pemuda tersebut agar memberikan rasa hadir, rasa diakui, rasa percaya diri akan kehadiran dirinya. Kehadiran diri sebagai subjek yang nyata berpartisipasi dan memiliki andil di tempat ia tinggal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H