Fakta yang paling menyakitkan, yaitu para peng-klitih ini kebanyakan berusia belasan tahun. Sungguh ironi jika melihat umur yang seharusnya mengerjakan pekerjaan rumah, main futsal, atau main game online, malah main parang menebas sembarang orang.
Seperti yang dikatakan Descartes yang meragukan akan keberadaan dirinya, saya pikir ini sejalan dengan keraguan para pelajar ini memandang eksistensinya di tengah masyarakat ia tinggal. Kehadiran akan keberadaan atau eksistensinya membutuhkan pengakuan karena keraguannya akan 'keberadaan diri.'
Perasaan tidak diakui, tidak diperhatikan, atau tidak dianggap bisa jadi menjadi awal penyebab krisis eksistensi. Keraguan akan keberadaan dirinya, eksistensi dirinya melahirkan suatu pembuktian dengan cara melukai seseorang tanpa sebab, tanpa merampas, dan tanpa kenal siapa orang tersebut.
Keluarga sebagai lembaga paling intim pada individu seharusnya merangkul dengan bersahabat, hangat, pada para pemuda tersebut agar memberikan rasa hadir, rasa diakui, rasa percaya diri akan kehadiran dirinya. Kehadiran diri sebagai subjek yang nyata berpartisipasi dan memiliki andil di tempat ia tinggal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H