Gerimis turun pecah-pecah tak beraturan. Jaket Udin basah. Titik-titik air menempel di sana-sini jaketnya membentuk semacam pola acak. Udin baru tiba di stasiun Lempuyangan hendak menyambangi saudaranya yang genap bekerja enam bulan di Yogyakarta.
Tepat di gerbang jam menunjuk pukul empat sore, saudaranya, Gun telah menantinya dengan sepeda motor lengkap dengan satu helm lain.
Mereka menuju rumah si mbah karena Gun tinggal di rumah mbahnya. Jalanan penuh sesak padahal belum genap pukul lima, asap kendaraan mengepul menusuk hidung, anak sekolah menyebrang, mobil tidak kalah banyak menempeli motor bapak dengan masker hitam di atas motor pitung. Jogja tidak lagi asing dengan pemandangan padat merayap ini di tiap sore menjelang maghrib. Bahkan trotoar telah beralih fungsi sebagai lintasan motor. Otomatis pejalan kaki menyingkir tanpa banyak pikir.
Hampir enam puluh menit, akhirnya mereka tiba di rumah mbah. Dengan cekatan Gun meracik kopi dan membawa mendoan sisa dari simbah ke meja di pekarangan. Sigaret menyala, asap membumbung memenuhi langit-langit. Gun mengeluhkan gajinya yang tidak sepadan lagi dengan biaya hidup di Jogja yang kian hari kian menyekiknya. Gun berkata pada Udin bahwa ia tidak bisa menemaninya rekreasi di akhir pekan karena uangnya menipis untuk kebutuhan yang penting-penting saja. Gun lebih baik melihat youtube di hapenya dari pada jalan-jalan menghabiskan bensin ke pantai Indrajanti.
Biaya yang cocok untuk kalangan tertentu atau pendatang yang memiliki banyak uang kiriman.
Bagaimana tidak, pendapatan UMP DIY di bawah rata-rata UMP nasional, yakni sebesar Rp 2.260.225. Tahun ini, UMP DIY ditetapkan sebesar Rp 1.454.154 dan tidak tembus angka yang mendekati 2 juta. Angka tersebut merupakan angka UMP terendah dibanding 33 provinsi lainnya.
Dilansir dari laman Tirto.id, pemerintah menetapkan kenaikan UMP sebesar 8,03 persen pada tahun 2019. UMP DIY akan naik dari Rp 1.454.154 menjadi Rp 1.570.922. Akan tetapi, kenaikan itu tetap saja menempatkan UMP DIY terendah pada 2019 mendatang.
Menilik kehidupan Yogyakarta yang semakin gilang-gemilang, harga makanan yang menyerupai ibu kota, harga bahan bakar dipukul rata, pulsa listrik yang dimana-mana sama saja, dan sebagainya, semakin menyudutkan kehidupan para pekerja di DIY.
Kebutuhan harian yang semakin meninggi memaksa para pekerja ekstra berfikir untuk mengalokasikan dananya pada kebutuhan pokok dan mengenyampingkan kebutuhan tambahan.
Kebutuhan di luar kebutuhan pokok, seperti rekreasi untuk menghilangkan jenuh dari kerja seminggu penuh, berbelanja pakaian baru mengikuti mode, atau membeli buku bacaan bermutu terbitan Jakob oetama bukanlah milik pekerja DIY.
Apalagi di musim hujan seperti ini, perut mudah lapar, memaksa pekerja seperti Gun mengurangi hasrat makan berlebih demi menjaga kecukupan gajinya hingga akhir bulan tiba. Lebih baik makan dari pada beli baju baru atau buku bermutu, tapi ujung-ujungnya kasbon di warung kang Asep selepas tanggal 20.
Gun merupakan potret wong cilik, pekerja yang kurang sejahtera. Untuk membiayai hidupnya saja sudah pas-pasan, apalagi jika ditambah membiayai si mbahnya. Keprihatinan ini yang dilihat, dirasakan, dan diresapi oleh Bambang Soepijanto, calon DPD RI Dapil DIY yang sekarang menjabat sebagai ketua umum Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO).
Senada dengan salah satu konsep kepemimpinan Bambang, yakni ngayani alias menyejahterakan. Bambang terenyuh melihat UMP DIY yang rendah di bawah rata-rata UMP nasional. Harapan datang dari pekerja akan kesejahteraan yang harusnya didapatkan sesuai dengan kebutuhan yang meningkat, keringat yang dikeluarkan pekerja, dan layaknya standard kehidupan pekerja, khususnya di DIY.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H