Mohon tunggu...
Kikis Kirwono
Kikis Kirwono Mohon Tunggu... -

Senang berbagi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Audit Silang Perkuat Monitoring Berbasis Masyarakat

15 September 2014   15:05 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:39 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak dulu aku selalu terheran-heran jika ada berita soal penyelewangan dana oleh Unit Pengelola Kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (UPK PNPM MP). Terlebih penyelewangan dana itu sudah berlangsung lama. Padahal setahuku program ini sudah disusun sedemikian rupa mengantisipasi kebocoran-kebocoran dananya. Menghadirkan konsultan yang salah satunya bertugas mengawal dana tersebut, yang sumber pembiayaannya dari pemerintah merupakan cara yang dinilai efektif.

Selain itu, memunculkan pelaku-pelaku lain untuk menciptakan monitoring berbasis masyarakat pun telah dilakukan. Sebut saja ada Penanggungjawab Operasional Kegiatan ( PjOK), Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD), Badan Pemeriksa Unit Pengelola Kegiatan (BP-UPK), Tim Verifikasi Perguliran, Tim Verifikasi Program, Tim Pendanaan, dan Pendamping Lokal (PL) di tingkat kecamatan, kemudian ada Tim Pengelola Kegiatan (TPK), Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), Tim Penulis Usulan (TPU), Tim Monitoring di tingkat desa sejatinya dimaksudkan untuk itu. Agar pelaku program yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan dalam hal ini UPK, tak sembrono mengelolanya.

Mekanisme pengawasannya sebenarnya cukup ketat. Ada audit bulanan oleh BP-UPK, audit silang antar kecamatan, supervisi oleh Fasilitator Kabupaten (Faskab) dan bahkan Koordinator Provinsi (Korprov), Musyawarah Antar Desa Laporan  Pertanggungjawaban UPK (MAD LPJ UPK) tiap tahun, hingga menghadirkan auditor dari pemerintah dalam hal ini Bawasda atau BPKP, semestinya sulit bagi UPK menyelewangkan dana. Tentu dengan catatan jika kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan sesuai koridornya. Nah pertanyaannya, apakah semua itu dilakukan dengan benar?

[caption id="attachment_342759" align="aligncenter" width="300" caption="Perkenalan dulu"][/caption]

Dalam otakku yang tak cukup asupan protein hewani ini aku berpikir, apakah ketatnya pengawasan itu masih bisa jebol juga. Mungkin aku yang bodoh atau mereka yang tak jelas kerjanya. Terlebih kita ketahui bahwa yang namanya korupsi di negara ini tak mungkin dilakukan oleh satu dua pihak saja. Korupsi hanya bisa dilakukan secara bersama-sama, entah banyak atau sedikit bagiannya. Istilah kerennya: Korupsi Berjama’ah. Ahay….

Hari ini, Kamis (10/09/14) pelaku PNPM MP Kec. Kebasen kedatangan tamu dari Tim PNPM MP Kec. Patikraja. Kecamatan yang hanya dipisahkan oleh aliran Sungai Serayu. Tim yang berjumlah 7 orang ini terdiri dari BKAD, FK (Fasilitator Kecamatan), FT (Fasilitator Teknik), TPK, KPMD. Masing-masing dibagi tugas untuk saling mengkoreksi administrasi terlebih dahulu. Perwakilan BKAD memeriksa pembukuan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) UPK, TPK dan KPMD memeriksa pembukuan TPK di tiga desa, yakni Desa Adisana, Bangsa, dan Cindaga. Sedangkan Tim PNPM MP Kec. Kebasen berkunjung ke kecamatan Ajibarang.

[caption id="attachment_342761" align="aligncenter" width="300" caption="Pemeriksaan Administrasi BLM"]

14107415971749168096
14107415971749168096
[/caption]

Memeriksa pembukuan UPK dilakukan di ruang dalam kantor UPK, sedang pemeriksaan administrasi TPK dilakukan di ruang pertemuan. Wulan Apriastuti (FK) mendampingi pemeriksaan BLM, sedang Mas Eko(FT) memandu pemeriksaan administrasi TPK.

Sedianya rombongan akan datang lebih awal. Namun demikian karena menerima tamu terlebih dahulu, maka acara sedikit mundur. Komitmen untuk menjaga kualitas kerja antar kedua belah pihak diharapkan tak akan terlalu terpengaruh karena mundurnya jam kegiatan. Karena sejatinya audit silang ini dimaksudkan untuk belajar bersama antar pelaku, sehingga antar mereka akan saling bertukar pikiran, pendapat, dan pengalaman dalam menjalankan program ini.

[caption id="attachment_342762" align="aligncenter" width="300" caption="Pemeriksaan Administrasi TPK"]

14107417431942229151
14107417431942229151
[/caption]

Diskusi menarik di ruang dalam terjadi tatkala ada selisih sebesar 100 ribu di form pemeriksaan BLM. Selisih ini terjadi karena total transaksi yang ada mengutip nominal total kumulatif bulan berjalan dari buku kas BLM. Padahal di sana ada uang di rekening sebesar 100 ribu tersebut yang berasal dari dana pembukaan rekening. Selain itu, penjumlahan yang keliru pada saat total penerimaan ditambahkan dengan saldo awal yang kemudian dikurangi penerimaan, maka terjadi selisih yang sangat besar. Bukan saja karena tidak melihat rumus yang tercatat dibawah, akan tetapi keterangan di masing-masing baris pun multitafsir.

Misalkan pada baris saldo awal, tidak dijelaskan saldo awal bulan apa. Terus pada kolom Transfer KPPN (Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara) pun tak dituliskan apakah itu kumulatif atau kah hanya bulan berjalan. Semestinya ada keterangan tambahan. Jika saldo awal bulan ditentukan adalah bulan sebelumnya, maka Transfer KPPN disebutkan hanya pada bulan berjalan. Atau bisa dengan menentukan bahwa saldo awal adalah awal tahun, sedang Transfer KPPN merupakan kumulatif sejak awal tahun hingga bulan berjalan. Mungkin begitu.

[caption id="attachment_342763" align="aligncenter" width="300" caption="Mas Eko berdiskusi dengan tim"]

1410741916727037574
1410741916727037574
[/caption]

Akhirnya berdasarkan diskusi antara pengurus UPK dengan pemeriksa dan fasilitator (Wulan) disepakati bahwa keterangan saldo awal dimaksudkan adalah awal tahun. Maka disana tertulis Rp 0,-.

Saat aku mendengarkan diskusi antara Agus Hidayat, TPK Desa Bangsa, dengan Bangun, Tim Pemeriksa TPK, terjadi diskusi yang tak kalah seru. Ini terjadi karena perbedaan strategi pelaksanaan awal kegiatan fisik. Utamanya soal trial. Pak Bangun berpendapat bahwa penggunaan dana untuk trial yang diambil atas dasar swadaya harus direkeningkan. Ini salah satu syarat pencairan dana tahap pertama dari UPK. Sedangkan Agus tidak berpendapat demikian. Memang tidak ada ketentuan itu di Kebasen. Maka Mas Agus Hidayat memandang tidak perlu ada pembukaan rekening untuk menghimpun dana swadaya.

[caption id="attachment_342764" align="aligncenter" width="300" caption="Saling tukar ilmu dan pengalaman"]

14107420011323236830
14107420011323236830
[/caption]

Best practise yang dilakukan di kecamatan Patikraja seperti ini tentu bertujuan bagus. Yakni untuk meyakinkan pihak pengelola dana bahwa dana swadaya benar-benar terhimpun. Kalau aku tafsiri, ini bermula dari pengalaman pahit tidak cairnya dana swadaya dari masyarakat, maka pelaku PNPM di kecamatan Patikraja memandang perlu akan hal ini. Sedangkan di kecamatan Kebasen belum memandang perlu untuk itu. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Lain Koki lain rasa masakan juga. Begitu kan?

Tak perlu mendebatkan soal ini. Ini ajang bagus untuk saling berbagi best practise dalam mensikapi kondisi masyarakat di masing-masing wilayah. Siapa tahu kondisi di kecamatan Kebasen membutuhkan trik yang sudah dilakukan di kecamatan Patikraja. Atau mungkin pelaku di kecamatan Patikraja yang perlu belajar bagaimana mengkondisikan warga agar tetap berswadaya meski tanpa bukti pembukuan rekening tersebut. Ayo saling berbagi.

[caption id="attachment_342765" align="aligncenter" width="300" caption="Menyamakan persepsi"]

1410742071412474403
1410742071412474403
[/caption]

Saat aku mendekati dan mendengarkan diskusi antara Pak Suwito, TPK Desa Adisana, dengan Mas Eko yang dibahas tentang swadaya. Bedanya disini Mas Eko menyarankan untuk memunculkan dana swadaya di laporan. Sayang sekali jika swadaya yang sudah bisa dikumpulkan dari warga tidak dimunculkan. Dengan swadaya yang tak tercatat, secara kasat mata tingkat partisipasi masyarakat menjadi rendah. Padahal tidak demikian adanya. Menyadari kekeliruannya, Pak Kasimin yang didampingi oleh Pak Salim selaku bendahara, dan Pak Mistar selaku sekretaris TPK hanya manggut-manggut saja.

Nah, yang justru mengandalkan aliran kebatinan adalah Amin. Apa karena lawan diskusinya itu cewek atau bagaimana, tak jelas. Saat aku tegur dia bilang, grogi… hahaha…

Ternyata Amin punya trik sendiri. Dia tak secara langsung menyampaikan pemeriksanaannya. Rapi aku lihat dia mencatat semua yang dia anggap perlu perbaikan. Mungkin emoh menyuarakan secara langsung, karena diskusi di ruang pertemuan itu sudah heboh dengan suara Pak Bangun yang kelihatan berapi-api. Sori Pak Bangun, guyon.

[caption id="attachment_342766" align="aligncenter" width="300" caption="Semangat belajar bersama"]

14107421361594665626
14107421361594665626
[/caption]

Memasuki jam makan siang, diskusi menjadi lebih santai. Mungkin karena energi sudah habis. Diskusi tentang pemeriksanaan masih tetap berlanjut. Cuma guyonan-guyonan segar mewarnai materi. Sebentar ngobrol soal materi audit, agak lama guyonan. Begitu seterusnya. Suasana menjadi lebih cair. Aku pun demikian, lebih banyak duduk di depan komputer untuk menuliskan kegiatan hari ini. Sambil menunggu kiriman makan siang dari warung. Sik asik.

Makan siang masih belum juga datang saat jarum jam sudah menunjukkan pukul 12.25 WIB. Padahal kuli-kuli bangunan yang sedang membangun Puskesmas sudah mulai berdatangan. Mereka bisanya ikut istirahat di teras kantor. Lihat saja di luar sana. Halaman kantor UPK penuh dengan sepeda motor milik para kuli. Bagi kamu yang baru datang kemari, seolah kantor ini ada acara. Karena bisanya motor-motor kami parkir di belakang. Hanya motor milik Rosi dan Nur yang ada di depan.

Selepas shalat dhuhur, tim di bagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama terdiri dari Pak Bangun dan Pak Wardi ke Desa Cindaga, dengan ditemani oleh Om Slamet (OB) sebagai penunjuk jalan. Sedang kelompok kedua menuju Desa Bangsa dan Adisana. Aku bersama Yoga (PL UPK) bertugas mengawal rombongan yang ke Bangsa dan Adisana. Sedang Mba Wulan tetap di kantor menemani Nur. Rosi ijin pulang terlebih dulu karena ibunya mau berangkat ke Jakarta. Jadi harus membantu bersiap-siap terlebih dahulu.

Pak Wardi, Pak Bangun, dan Om Slamet mengendarai mobil ke Cindaga. Arahnya ke barat. Waktu tempuh ke lokasi paling 10 menit. Sedang tim kami menuju ke arah timur, butuh waktu sekitar 25-30 menit sampai ke sana. Sayangnya tak ada helm yang bisa dipinjamkan ke Tim Audit dari Patikraja yang berjumlah 4 orang itu. Rencana melalui jalan utama Buntu-Sampang harus dialihkan. Yah, jaga-jaga saja siapa tahu ada operasi lalu lintas. Padahal jika melalui jalan utama tersebut bisa lebih cepat. Jalan lebih lebar dan cenderung lurus.

[caption id="attachment_342767" align="aligncenter" width="300" caption="Mengukur lebar rabat (Bangsa)"]

14107422471625399661
14107422471625399661
[/caption]

Jalan yang kami ambil adalah jalan desa. Jalan dari kantor melewati perlintasan kereta api di Gambarsari, kemudian jalan aspal di Kalisalak, hingga perempatan Sawangan masih halus. Kerusakan jalan mulai terasa saat memasuki wilayah Desa Kaliwedi, Randegan, dan sebagian Karangsari. Jalan kembali mulus saat mendekati perbatasan Karangsari hingga Bangsa. Sampai di tugu Desa Bangsa, kami harus belok kanan ke lokasi pembangunan rabat beton dengan volume 880 x 2,5 meter.

Mungkin sudah biasa kalau jalan-jalan di desa selalu identik dengan kerusakan, lubang disana sini, berkelak kelok, sempit, dan banyak garis-garis kejut yang benar-benar membuat terkejut. Saat memasuki jalan rusak, sebenarnya aku sudah sangat berhati-hati. Simpang sana simpang sini demi menghindari lupang yang sering tiba-tiba muncul di depan. Kalau lubang itu kecil, aku terjang saja. Nah kalau lubang agak besar itu lah saatnya menarik tuas rem dengan kuat. Untung saja motor yang aku tumpaki jenis matik, maka tak perlu oper persneleng. Nyatanya tak jua menolong banyak. Beberapa kali aku harus terkejut kala menyadari garis kejut yang berwarna hitam seolah muncul tanpa permisi. Hadeuh….

[caption id="attachment_342768" align="aligncenter" width="300" caption="Mengukur tebal rabat (Bangsa)"]

1410742327760908691
1410742327760908691
[/caption]

Sesampainya di lokasi kegiatan, kami turun untuk mencocokkan gambar rencana yang dilampirkan dalam Surat Perjanjian Pemberian Bantuan (SPPB). Panasnya matahari yang menyengat membuat kami enggan menanggalkan helm. Aku ikut berjongkok mengukur lebar rabat di salah satu sisi. Mengukur bagian tengah yang nantinya akan diisi sirtu, dan ketebalan beton. Aku lihat pula plastik yang digelar dibawah rabat. Plastik ini digelar agar air semen tak lari kemana-mana saat pengecoran dulu.

Tim dari Patikraja juga mengukur lebar rabat di kedua sisi dan bagian tengahnya. Mungkin karena sudah sesuai kualifikasi, Mas Eko (FT) hanya menanyakan soal sirtu. Mas Agus selaku TPK menjawab bahwa sirtu akan menjadi tanggungan warga dengan model swadaya. Terlihat di beberapa titik di muka sudah ada lapisan rabat yang mengelupas atau rusak. Saat aku konfirmasikan, Mas Agus bilang ini dikarenakan pada saat membongkar bekisting cor terlalu cepat. Adukan cor belum kering benar, sudah keburu dibongkar. Hasilnya jadi tidak rapi.

Perjalanan dilanjutkan ke Desa Adisana. Dengan sebelumnya berhenti di titik nol rabat, yang bertempat di ujung timur. Kami mulai mengecek dari titik akhir tadi. Di titik nol ini pengukuran dilakukan juga. Termasuk pengambilan gambar prasasti dan papan proyek. Pembangunan rabat beton di Desa Bangsa ini memang belum selesai. Masih banyak pekerjaan finishing nantinya. Termasuk perbaikan-perbaikan di beberapa titik yang aku sampaikan tadi.

[caption id="attachment_342769" align="aligncenter" width="300" caption="Melihat kualitas rabat (Bangsa)"]

1410742458599141836
1410742458599141836
[/caption]

Jalan masuk ke Adisana juga melalui jalan yang belak belok lagi. Ada rabat beton hasil kegiatan PNPM tahun 2011 yang sudah mengelupas banyak di lapisan atasnya. Kurang perawatan. Terkadang masyarakat menilai bahwa kegiatan-kegiatan ini bernilai proyek. Mereka tak mudah menerima sosialisasi bahwa ini bukan proyek. Jika masyarakat memaknai ini sebuah proyek, maka sudah bisa ditebak hasilnya. Masyarakat enggan terlibat dan merasa tidak memiliki. Mereka berpikir bahwa pengurusnya pasti mendapatkan keuntungan yang besar. Tak ada keharusan bagi masyarakat membantu pengurus, dalam hal ini TPK. Walah, jan. Payah pisan.

Ternyata Pak Salim dan Pak Mistar sudah menunggu kami di depan gerbang balai desa. Kami berbalik lagi menuju lokasi. Kegiatannya sama dengan Desa Bangsa, yakni rabat beton. Volume rabat 821 x 2,5 meter. Tak jauh berbeda dengan volume di Bangsa. Hasil pekerjaan di sini terlihat lebih rapi. Sirtu sudah disebar dan tertata rapi diantara kedua rabat. Kondisi rabat pun masih terlihat bagus. Setelah ukur sana ukur sini, sambil sesekali narsis, kami beristirahat sejenak di mushola dekat titik akhir rabat.

[caption id="attachment_342770" align="aligncenter" width="300" caption="Mengukur lebar rabat (Adisana)"]

14107425681507956194
14107425681507956194
[/caption]

Obrolan tak lagi bermaterikan seputar kegiatan hari ini. Lebih fokus pada harga sapi yang sudah mulai membumbung menjelang lebaran haji. Pak Mistar mengatakan bahwa harga sapi yang layak untuk dijual guna kurban diatas 20 jutaan. Jika harga di bawah itu jelas tak pantas untuk dijadikan kurban. Dia mengatakan bahwa dia pun memelihara sapi dengan cara penggemukan. Jika dihitung dari pembelian sapi kecil hingga siap dijadikan kurban dia butuh waktu kurang lebih 8 bulan. Dengan asumsi harga jual sapi nantinya 20 juta, dia akan untung 6 juta. Dia bilang bahwa ini hanya sekedar sambilan saja. Asumsi perhitungan kasar seperti itu, jika benar-benar hanya mengandalkan dari sapi, maka akan rugi. Tak sepadan antara kerja keras mencari pakan dengan keuntungan yang didapat.

Pengalamannya, saat damen (batang padi) atau rumput susah dicari dia akan lari ke Purwokerto. Tempat yang dituju adalah kompleks perumahan. Menurutnya justru disana lah banyak rerumputan. Tapi sekarang, damen masih mudah dicari. Sepanjang sawah dari Cindaga sampai Adisana masih banyak. Jika kurang dia bisa lari ke arah selatan yakni ke Kroya atau ke arah timur, daerah Kemranjen.

[caption id="attachment_342771" align="aligncenter" width="300" caption="Mengukur lebar jeda rabat (Adisana)"]

1410742745816990700
1410742745816990700
[/caption]

Andai saja dia tak berkata akan mencari damen setelah acara ini, mungkin kami akan mampir ke rumahnya. Rumahnya dekat dengan lokasi kegiatan. Entah basa basi atau tidak, Pak Mistar sudah menawari kami kelapa muda (degan). Aku bilang terserah rombongan dari Patikraja. Nyatanya mereka lebih memilih untuk pulang.

Mungkin mereka belum terbiasa dengan medan di Kec. Kebasen. Beberapa kali mereka mengatakan kalau wilayah kecamatan Kebasen ternyata luas, dan banyak jalan yang rusak. Itu belum seberapa, aku tunjukkan stasiun relay televisi nasional diatas pegunungan. Di sana biasa kami naik. Aku sampaikan juga beruntung lokasi kegiatan fisik berada di bawah, lha kalau harus naik ke sana?

Kami pulang menyusuri jalan yang sama saat kami berangkat. Sesampainya di kantor, tim yang memeriksa lokasi fisik Desa Cindaga sudah pulang. Tentu saja, kan dekat.

[caption id="attachment_342772" align="aligncenter" width="300" caption="Diskusi Pak Suwito (TPK Adisana) dengan Mas Eko (FT Patikraja)"]

14107428191073052471
14107428191073052471
[/caption]

Sesi ditutup dengan acara ramah tamah. Perwakilan dari Patikraja menunjuk Pak Bangun yang selalu bersemangat itu sebagai juru bicara. Mengawali kalimat dia menyampaikan poin utama ke sini untuk belajar. Tapi dia melihat ada sedikit perbaikan yang mesti dilakukan. Dari sisi administrasi misalnya, penyusunan kuitansi atau bukti-bukti pembayaran lain hendaknya diberi nomor. Pun disusun berdasarkan pencatatan di Buku Kas Umum (BKU) agar mudah jika dilakukan pemeriksaan. Kemudian isi Map 7 pun masih kurang rapi. Saran lain yang disampaikan terkait masalah kualitas bangunan, dia ambil sampel, talud. Talud yang sudah dibangun masih terdapat perbedaan kualitas antara yang satu dengan yang lain. Oleh karenanya, dia memberikan masukan agar ke depan lebih dipertahankan kualitasnya.

Sepakat, Pak Bro.

[caption id="attachment_342773" align="aligncenter" width="300" caption="Pemaparan penutupan dari Pak Bangun"]

1410742992486489278
1410742992486489278
[/caption]

Masukan-masukan dari Tim Audit aku mintakan untuk dituangkan secara tertulis. Kami akan tindak lanjuti pada saat rakor TPK nanti. Bukan untuk 3 desa saja, tapi untuk semua. Karena waktu dan lain hal, maka rekomendasi dari Tim Audit akan dibahas di Patikraja. Aku siap jika harus mengambil hasil rekomendasi tertulis itu ke kantor UPK Kec. Patikraja.Sembari berseloroh aku katakan bahwa jarak tempuh ke kantor UPK Kec. Kebasen lebih jauh daripada jarak ke kantor UPK Kec. Patikraja. Butuh 10 menit sampai di sini, dan cukup 5 menit sampai di kantor UPK Patikraja… hehe….

Aku tak sampaikan apa-apa kepada mereka. Kecuali berbasa-basi. Mungkin kalimat bijak yang aku kutip: “tatkala kita tak mampu bercermin dengan baik, biarkan cermin itu yang berbicara”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun